Saturday 3 June 2017

Usia Belia Go International

Usia Belia Go International


Oleh : Khenny Gracia (00000010608)



behind the scene photoshoot bersama Axioo

"Aku beruntung punya orangtua yang suportif," tutur Ignatia Jessica. Beruntung dirasakan karena ia tidak dituntut untuk bergelar sarjana, dan diberi kebebasan dalam memilih masa depannya.


Berawal di tahun kedua semasa SMA, ketika banyak remaja tengah bingung mengambil keputusan untuk masa depannya. Perempuan mungil yang terbiasa dipanggil Ije ini juga tak kalah bingung dalam menentukan pilihan. Kala itu ada tiga jurusan yang membuatnya ragu: akuntansi, pariwisata, dan fashion design.
Pada tahun ketiga, Ije merasa tertinggal langkah dari teman-temannya. Saat yang lain sudah mendaftar di berbagai perguruan tinggi, ia masih mandeg di tempat. Setelah melalui berbagai pergulatan batin dan berkonsultasi dengan orang tua, akhirnya Ije membuat keputusan final. Dengan bulat tekad, ia memilih untuk mengikuti kursus selama satu tahun di Bunka School of Fashion Jakarta.

"Waktu aku bilang mau masuk fashion design, banyak yang usul masuk ke Esmod atau LaSalle aja. Tapi akhirnya milih masuk Bunka karena aku masih ngerasa kurang skil dasar," jelas Ije tentang keputusannya untuk belajar di sana. Alasan lain adalah bila ia tidak jadi memperdalam fashion design, keterampilan yang didapatkannya dari kursus tersebut dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Rasanya keputusan Ije untuk menjadi murid di Bunka School of Fashion Jakarta terbilang tepat. Disana ia bertemu dengan banyak murid dengan latar belakang yang berbeda-beda; mulai dari lulusan-lulusan sekolah tinggi desain seperti Esmod dan LaSalle College, ibu rumah tangga, hingga wanita karir. Ilmu yang didapat tidak hanya berasal dari para pengajar di Bunka, namun juga melalui rekan-rekan sesama murid. Untuk itu, Ije merasa bersyukur juga beruntung.
Mendekati penghujung 2013, akhir pendidikannya di Bunka, putri bungsu dari tiga bersaudara ini mencari tempat belajar fashion design tingkat lanjut. Ije yang memiliki ketertarikan khusus dengan gaun pesta, tidak disarankan untuk melanjutkan ke beberapa sekolah tinggi yang ada di Jakarta. Rekan-rekannya di tempat kursus menjelaskan bahwa pelajaran-pelajaran disana lebih mengarah pada mendesain pakaian sehari-hari. Alih-alih sekolah tinggi, ia dirujuk untuk melanjutkan pendidikannya di Abineri Ang Atelier et Créateur de Mode.
Abineri Ang Atelier et Créateur de Mode adalah sekolah fashion design yang berdiri pada tahun 2000 silam. Sekolah ini fokus mengajarkan desain berkaitan dengan gaun pesta. Cara pembelajaran dalam sekolah milik desainer bernama Abineri Ang ini menggunakan konsep workshop. Setiap murid difokuskan pada bidang yang memerlukan pelatihan lebih lanjut. Selain itu, murid-murid diposisikan sebagai desainer dan terjun langsung ke lapangan.
Ije meneruskan pelajaran desainnya di Abineri Ang Atelier et Créateur de Mode mulai tahun 2014. Empat bulan dihabiskannya untuk mempelajari teori secara intensif di kursus milik desainer kondang tersebut. Setelahnya, ia dianggap alumnus dan memasuki dunia industri desain secara riil. Namun belajar dengan Abineri Ang tidak dibatasi dengan predikat lulus. Setiap alumnus yang ingin datang kembali untuk bertanya selalu diterima dengan tangan terbuka. "Makanya kita (murid-murid) sering bilang ke Abi supaya sehat-sehat, biar ada yang ngajarin kita terus," ujarnya sambil tertawa.

Industri Desain
Setelah melalui pembelajaran selama empat bulan secara intensif, Ije mulai melakukan praktek bebas di dunia nyata. Proyek pertamanya adalah merancang dan memproduksi gaun untuk rangkaian acara pernikahan kakak sulungnya. Sejak itu, perlahan tapi pasti berbagai pesanan gaun mulai diterimanya. Bermodalkan koneksi-koneksi keluarga dan teman, ia merintis usahanya secara bertahap.
Perempuan kelahiran 18 Juli 1994 ini mulai terjun ke industri desain secara profesional ketika ia mendapat kesempatan untuk unjuk gigi pada Jakarta Fashion Week 2016, Oktober 2015 silam. Lima pertunjukan diberi kepada Abineri Ang Atelier et Créateur de Mode, yang setiap pertunjukannya diisi oleh enam murid pilihan sekolah. Seluruh murid Abineri Ang yang menjadi peserta pada Jakarta Fashion Week 2016 wajib mengikuti tema besar yang disiapkan sang guru, yaitu: Fashion, Music & Movie.
Namun sayang, Ije tidak mengisi jatah satu murid sendirian pada pagelaran busana paling bepengaruh di Asia Tenggara tersebut. Beberapa hal menjadi penghambat, salah satunya masalah biaya. "Karena aku belum kerja, masih belum bisa ngehasilin uang sendiri. Nggak enak sama orang tua," paparnya jujur. Untuk mengatasi hambatannya, Ije memutuskan untuk berkolaborasi dengan temannya Ellen Ang. Selain mempermudah dalam hal biaya, jumlah gaun yang akan ia hasilkan tentu lebih sedikit. Ini menjadi keuntungan tersendiri dari segi waktu dan persiapan. Berdua mereka mengambil film 'The Hunger Games II: Catching Fire' sebagai topik utama.
Bertajuk 'Unleashed', hasil kolaborasinya dengan Ellen Ang memakan waktu sekitar tiga bulan. Persiapan telah mereka lakukan sejak bulan Juli 2015. Namun minimnya pengalaman serta kurangnya bantuan dari tangan-tangan ahli, membuat mereka terdesak. Menurut Ije, ketiadaan penjahit membuat proses pengerjaan gaun-gaun mereka menjadi lebih lambat. Hingga sehari sebelum pertunjukan, keduanya masih bekerja keras untuk menyelesaikan seluruh karya mereka tanpa tidur.
Pada menit-menit terakhir menuju pertunjukan, kesulitan masih saja menghampiri. Ada sebuah insiden ketika gaun yang dikenakan salah seorang model Ije tidak dapat diresleting menutup. Kekacauan itu terjadi saat model tersebut hendak naik ke atas panggung. Rasa panik melingkupi si desainer muda, yang kebetulan baru pertama kali merasakan tekanan belakang panggung. "Sebenarnya sudah diingetin kalau technical error itu pasti ada dan kita nggak boleh panik. Tapi gimana ya, kan namanya juga baru pertama kali," kata Ije sambil tertawa malu-malu.
Seluruh kepanikan dan hari-hari tanpa tidur berhasil terbayar lunas, saat keduanya naik ke panggung pada akhir pertunjukan. Karya-karya mereka diliput oleh berbagai media yang hadir di pagelaran tersebut. Bahkan mereka mendapat apresiasi atas pencapaian yang berhasil diraih sebagai desainer muda dibawah usia 25 tahun.
Seusainya rangkaian acara Jakarta Fashion Week 2016, Ije kembali memperoleh kesempatan emas. Abineri Ang Atelier et Créateur de Mode bekerja sama dengan Axioo untuk mengadakan sesi photoshoot. Axioo sendiri merupakan photography brand berisikan talenta-talenta tanah air, yang karyanya telah dikenal hingga ke mancanegara. Kerja sama di antara keduanya baru pertama kali terjadi. Ije termasuk salah satu dari 60 murid yang terpilih untuk terlibat dalam proyek gabungan ini.
Total enam gaun dihasilkan untuk sesi photoshoot bersama Axioo. Sesuai dengan kecintaanya pada warna monochrome, gaun-gaun yang dihasilkan Ije didominasi dengan nuansa hitam dan putih. Ia berpendapat bahwa warna-warna tersebut cenderung aman dan bersifat everlasting. Proyek kerja sama ini baru usai awal Juni 2016 kemarin,

Bebas, Namun Terhimpit
Serba bebas. Itulah jawaban pertama Ije saat ditanya apa keuntungan menjadi seorang fashion designer seperti dirinya. Tiada keterikatan ketat akan waktu belajar, layaknya mahasiswa kuliah kebanyakan. Bertemu dan mengenal banyak klien juga menjadi keuntungan tersendiri baginya. Dari berbagai pertemuan dengan banyak orang, ia mempelajari sejumlah kepribadian yang berbeda.
Selain itu, Ije juga menyukai tantangan yang muncul ketika berhadapan dengan klien. "Waktu itu pernah dapat klien yang ngasih bahan jelek. Itu benar-benar jelek banget bahannya. Tapi kan tetap harus bikin hasil yang bagus, mau gimana pun bahan mentahnya," ujarnya sambil mengingat-ingat kejadian tersebut. Namun ia mengakui, setelah tantangan berhasil terlampaui, muncul kepuasan dan rasa bangga tersendiri dalam batin.
Kesukaannya pada hal-hal berbau praktikal menjadi salah satu faktor utama Ije dalam mengambil bidang fashion design. Setiap karya yang dihasilkan pasti berbeda, tidak akan persis satu dengan lainnya. Inilah yang menjadi kunci utama, karena ia tidak akan merasa bosan dan jenuh dalam berkreasi.
Tak dapat dipungkiri bahwa nama besar adalah patokan kesuksesan dan bukti kualitas akan karya seseorang. Begitu pula dalam dunia mode, nama besar seorang desainer memiliki pengaruh yang signifikan. Masyarakat akan cenderung memilih hasil karya desainer ternama dengan harga selangit, ketimbang karya desainer muda dengan tarif yang lebih irit.
Efek dari nama besar ini membuat posisi Ije menjadi serba tertekan. Meski beberapa pengalaman bekerja secara profesional pernah dilalui, namun bagi klien itu semua belum cukup. Statusnya sebagai desainer muda membuat klien menekan harga dengan sesuka hati, bahkan terkadang melampaui batas. Tekanan ini menyebabkan Ije harus bertanding 'adu kuat' dengan klien agar tarif karyanya tidak terjun bebas.
Kurangnya koneksi yang luas menjadi kesulitan tersendiri. Hingga kini, Ije masih bergantung pada kenalan-kenalan dekat. Belum lagi merebaknya para desainer muda, yang jumlahnya jauh berbeda dari ekspektasi saat ia masih duduk di bangku SMA. Singkat kata, ia masih berjuang keras untuk memperluas nama dan karyanya.
Salah satu hambatan personal yang paling mengganggu adalah komunikasi. Ije selalu merasa bahwa kemampuan berkomunikasinya masih sangat kurang. Juga jiwa kepemimpinan, yang diiyakan oleh teman-temannya, pula terasa kurang. Perawakannya yang mungil dan wajahnya yang terlihat muda juga terkadang mempersulit dirinya. "Orang kalau ketemu aku tuh sering ngeremehin gitu, soalnya aku kan kayak anak kecil kelihatannya. Trus kalau ngomong suka berantakan juga. Jadi customer-nya kayak nggak percaya gitu," ungkapnya jujur. Maka tujuan Ije saat ini adalah memperluas koneksi, memperbanyak produksi, serta memperbaiki cara komunikasi.

Beruntung
Kesuksesan yang telah didapuk Ije tidak terlepas dari dukungan kedua orangtuanya. Dengan terbuka dan suportif, kedua orangtuanya menyetujui keputusan putri mereka yang mengambil jalur anti-mainstream. Banyak kejadian di sekitar yang menunjukkan bahwa, memaksakan kehendak orangtua pada anak belum tentu memberi hasil yang baik.
"Teman-teman nyokap banyak yang anaknya dipaksa kuliah jurusan ini-itu. Setelah lulus, mereka kasih ijazah dan minta untuk dibiayain belajar hal lain yang mereka suka. Ujung-ujungnya orangtuanya nyesel karena sudah buang biaya banyak. Katanya, kalau gitu mendingan langsung dibiayain ke jurusan itu aja dari awal," begitu tuturnya. Menyaksikan banyaknya kejadian tersebut, kedua orangtua Ije memilih untuk meloloskan keinginan anaknya, selama dijalani dengan serius.
Dukungan yang diterima tentulah membuat Ije merasa beruntung. Kedua orangtuanya tidak mempermasalahkan gelar, dan men-support secara penuh kegiatan yang dilakukan putri mereka. Tak cuma bantuan moril, sokongan dana juga diberikan supaya dapat menimba ilmu secara maksimal. Hal ini yang mendorong Ije untuk bekerja keras, agar apa yang telah diberi kedua orangtuanya tidak terbuang sia-sia.

No comments:

Post a Comment