Oleh : Khenny Gracia (00000010608)
"Aku beruntung punya orangtua yang suportif," tutur Ignatia Jessica. Beruntung dirasakan karena ia tidak dituntut untuk bergelar sarjana, dan diberi kebebasan dalam memilih masa depannya.
Berawal di tahun kedua
semasa SMA, ketika banyak remaja tengah bingung mengambil keputusan untuk masa
depannya. Perempuan mungil yang terbiasa dipanggil Ije ini juga tak kalah
bingung dalam menentukan pilihan. Kala itu ada tiga jurusan yang membuatnya ragu:
akuntansi, pariwisata, dan fashion design.
Pada tahun ketiga, Ije
merasa tertinggal langkah dari teman-temannya. Saat yang lain sudah mendaftar
di berbagai perguruan tinggi, ia masih mandeg
di tempat. Setelah melalui berbagai pergulatan batin dan berkonsultasi dengan
orang tua,
akhirnya Ije membuat keputusan final. Dengan bulat tekad, ia memilih untuk
mengikuti kursus selama satu tahun di Bunka School of Fashion Jakarta.
"Waktu aku bilang
mau masuk fashion design, banyak yang
usul masuk ke Esmod atau LaSalle aja.
Tapi akhirnya milih masuk Bunka karena aku masih ngerasa kurang skil dasar," jelas Ije tentang keputusannya
untuk belajar di sana. Alasan lain adalah bila ia tidak jadi memperdalam fashion design, keterampilan yang
didapatkannya dari kursus tersebut dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Rasanya keputusan Ije
untuk menjadi murid di Bunka School of Fashion Jakarta terbilang tepat. Disana
ia bertemu dengan banyak murid dengan latar belakang yang berbeda-beda; mulai
dari lulusan-lulusan sekolah tinggi desain seperti Esmod dan LaSalle College,
ibu rumah tangga, hingga wanita karir. Ilmu yang didapat tidak hanya berasal
dari para pengajar di Bunka, namun juga melalui rekan-rekan sesama murid. Untuk
itu, Ije merasa bersyukur juga beruntung.
Mendekati penghujung
2013, akhir pendidikannya di Bunka, putri bungsu dari tiga bersaudara ini
mencari tempat belajar fashion design
tingkat lanjut. Ije yang memiliki ketertarikan khusus dengan gaun pesta, tidak
disarankan untuk melanjutkan ke beberapa sekolah tinggi yang ada di Jakarta.
Rekan-rekannya di tempat kursus menjelaskan bahwa pelajaran-pelajaran disana
lebih mengarah pada mendesain pakaian sehari-hari. Alih-alih sekolah tinggi, ia
dirujuk untuk melanjutkan pendidikannya di Abineri Ang Atelier et Créateur de
Mode.
Abineri Ang Atelier et
Créateur de Mode adalah sekolah fashion
design yang berdiri pada tahun 2000 silam. Sekolah ini fokus mengajarkan
desain berkaitan dengan gaun pesta. Cara pembelajaran dalam sekolah milik
desainer bernama Abineri Ang ini menggunakan konsep workshop. Setiap murid difokuskan pada bidang yang memerlukan
pelatihan lebih lanjut. Selain itu, murid-murid diposisikan sebagai desainer
dan terjun langsung ke lapangan.
Ije meneruskan
pelajaran desainnya di Abineri Ang Atelier et Créateur de Mode mulai tahun
2014. Empat bulan dihabiskannya untuk mempelajari teori secara intensif di
kursus milik desainer kondang tersebut. Setelahnya, ia dianggap alumnus dan
memasuki dunia industri desain secara riil. Namun belajar dengan Abineri Ang tidak
dibatasi dengan predikat lulus. Setiap alumnus yang ingin datang kembali untuk
bertanya selalu diterima dengan tangan terbuka. "Makanya kita
(murid-murid) sering bilang ke Abi supaya sehat-sehat, biar ada yang ngajarin kita terus," ujarnya
sambil tertawa.
Industri
Desain
Setelah melalui
pembelajaran selama empat bulan secara intensif, Ije mulai melakukan praktek
bebas di dunia nyata. Proyek pertamanya adalah merancang dan memproduksi gaun
untuk rangkaian acara pernikahan kakak sulungnya. Sejak itu, perlahan tapi
pasti berbagai pesanan gaun mulai diterimanya. Bermodalkan koneksi-koneksi
keluarga dan teman, ia merintis usahanya secara bertahap.
Perempuan kelahiran 18
Juli 1994 ini mulai terjun ke industri desain secara profesional ketika ia
mendapat kesempatan untuk unjuk gigi pada Jakarta Fashion Week 2016, Oktober
2015 silam. Lima pertunjukan diberi kepada Abineri Ang Atelier et Créateur de
Mode, yang setiap pertunjukannya diisi oleh enam murid pilihan sekolah. Seluruh
murid Abineri Ang yang menjadi peserta pada Jakarta Fashion Week 2016 wajib
mengikuti tema besar yang disiapkan sang guru, yaitu: Fashion, Music & Movie.
Namun sayang, Ije tidak
mengisi jatah satu murid sendirian pada pagelaran busana paling bepengaruh di Asia
Tenggara tersebut. Beberapa hal menjadi penghambat, salah satunya masalah
biaya. "Karena aku belum kerja, masih belum bisa ngehasilin uang sendiri. Nggak
enak sama orang tua," paparnya jujur. Untuk mengatasi hambatannya, Ije
memutuskan untuk berkolaborasi dengan temannya Ellen Ang. Selain mempermudah
dalam hal biaya, jumlah gaun yang akan ia hasilkan tentu lebih sedikit. Ini
menjadi keuntungan tersendiri dari segi waktu dan persiapan. Berdua mereka
mengambil film 'The Hunger Games II:
Catching Fire' sebagai topik utama.
Bertajuk 'Unleashed', hasil kolaborasinya dengan
Ellen Ang memakan waktu sekitar tiga bulan. Persiapan telah mereka lakukan
sejak bulan Juli 2015. Namun minimnya pengalaman serta kurangnya bantuan dari
tangan-tangan ahli, membuat mereka terdesak. Menurut Ije, ketiadaan penjahit
membuat proses pengerjaan gaun-gaun mereka menjadi lebih lambat. Hingga sehari
sebelum pertunjukan, keduanya masih bekerja keras untuk menyelesaikan seluruh
karya mereka tanpa tidur.
Pada menit-menit
terakhir menuju pertunjukan, kesulitan masih saja menghampiri. Ada sebuah
insiden ketika gaun yang dikenakan salah seorang model Ije tidak dapat
diresleting menutup. Kekacauan itu terjadi saat model tersebut hendak naik ke
atas panggung. Rasa panik melingkupi si desainer muda, yang kebetulan baru
pertama kali merasakan tekanan belakang panggung. "Sebenarnya sudah diingetin kalau technical error itu pasti ada dan kita nggak boleh panik. Tapi gimana ya, kan namanya juga baru pertama kali," kata Ije sambil tertawa
malu-malu.
Seluruh kepanikan dan
hari-hari tanpa tidur berhasil terbayar lunas, saat keduanya naik ke panggung
pada akhir pertunjukan. Karya-karya mereka diliput oleh berbagai media yang
hadir di pagelaran tersebut. Bahkan mereka mendapat apresiasi atas pencapaian
yang berhasil diraih sebagai desainer muda dibawah usia 25 tahun.
Seusainya rangkaian
acara Jakarta Fashion Week 2016, Ije kembali memperoleh kesempatan emas.
Abineri Ang Atelier et Créateur de Mode bekerja sama dengan Axioo untuk
mengadakan sesi photoshoot. Axioo
sendiri merupakan photography brand
berisikan talenta-talenta tanah air, yang karyanya telah dikenal hingga ke
mancanegara. Kerja sama di antara keduanya baru pertama kali terjadi. Ije
termasuk salah satu dari 60 murid yang terpilih untuk terlibat dalam proyek
gabungan ini.
Total enam gaun
dihasilkan untuk sesi photoshoot
bersama Axioo. Sesuai dengan kecintaanya pada warna monochrome, gaun-gaun yang dihasilkan Ije didominasi dengan nuansa
hitam dan putih. Ia berpendapat bahwa warna-warna tersebut cenderung aman dan
bersifat everlasting. Proyek kerja
sama ini baru usai awal Juni 2016 kemarin,
Bebas,
Namun Terhimpit
Serba bebas. Itulah
jawaban pertama Ije saat ditanya apa keuntungan menjadi seorang fashion designer seperti dirinya. Tiada
keterikatan ketat akan waktu belajar, layaknya mahasiswa kuliah kebanyakan.
Bertemu dan mengenal banyak klien juga menjadi keuntungan tersendiri baginya.
Dari berbagai pertemuan dengan banyak orang, ia mempelajari sejumlah
kepribadian yang berbeda.
Selain itu, Ije juga
menyukai tantangan yang muncul ketika berhadapan dengan klien. "Waktu itu
pernah dapat klien yang ngasih bahan jelek. Itu benar-benar jelek banget bahannya. Tapi kan tetap harus bikin hasil yang bagus, mau gimana
pun bahan mentahnya," ujarnya sambil mengingat-ingat kejadian tersebut.
Namun ia mengakui, setelah tantangan berhasil terlampaui, muncul kepuasan dan
rasa bangga tersendiri dalam batin.
Kesukaannya pada
hal-hal berbau praktikal menjadi salah satu faktor utama Ije dalam mengambil
bidang fashion design. Setiap karya
yang dihasilkan pasti berbeda, tidak akan persis satu dengan lainnya. Inilah
yang menjadi kunci utama, karena ia tidak akan merasa bosan dan jenuh dalam
berkreasi.
Tak dapat dipungkiri
bahwa nama besar adalah patokan kesuksesan dan bukti kualitas akan karya
seseorang. Begitu pula dalam dunia mode, nama besar seorang desainer memiliki
pengaruh yang signifikan. Masyarakat akan cenderung memilih hasil karya
desainer ternama dengan harga selangit, ketimbang karya desainer muda dengan
tarif yang lebih irit.
Efek dari nama besar
ini membuat posisi Ije menjadi serba tertekan. Meski beberapa pengalaman
bekerja secara profesional pernah dilalui, namun bagi klien itu semua belum
cukup. Statusnya sebagai desainer muda membuat klien menekan harga dengan
sesuka hati, bahkan terkadang melampaui batas. Tekanan ini menyebabkan Ije
harus bertanding 'adu kuat' dengan klien agar tarif karyanya tidak terjun
bebas.
Kurangnya koneksi yang
luas menjadi kesulitan tersendiri. Hingga kini, Ije masih bergantung pada
kenalan-kenalan dekat. Belum lagi merebaknya para desainer muda, yang jumlahnya
jauh berbeda dari ekspektasi saat ia masih duduk di bangku SMA. Singkat kata,
ia masih berjuang keras untuk memperluas nama dan karyanya.
Salah satu hambatan
personal yang paling mengganggu adalah komunikasi. Ije selalu merasa bahwa
kemampuan berkomunikasinya masih sangat kurang. Juga jiwa kepemimpinan, yang
diiyakan oleh teman-temannya, pula terasa kurang. Perawakannya yang mungil dan
wajahnya yang terlihat muda juga terkadang mempersulit dirinya. "Orang
kalau ketemu aku tuh sering
ngeremehin gitu, soalnya aku kan kayak anak kecil kelihatannya. Trus kalau ngomong suka berantakan juga. Jadi customer-nya kayak nggak percaya gitu," ungkapnya
jujur. Maka tujuan Ije saat ini adalah memperluas koneksi, memperbanyak
produksi, serta memperbaiki cara komunikasi.
Beruntung
Kesuksesan yang telah
didapuk Ije tidak terlepas dari dukungan kedua orangtuanya. Dengan terbuka dan
suportif, kedua orangtuanya menyetujui keputusan putri mereka yang mengambil
jalur anti-mainstream. Banyak
kejadian di sekitar yang menunjukkan bahwa, memaksakan kehendak orangtua pada
anak belum tentu memberi hasil yang baik.
"Teman-teman nyokap banyak yang anaknya dipaksa
kuliah jurusan ini-itu. Setelah lulus, mereka kasih ijazah dan minta untuk
dibiayain belajar hal lain yang mereka suka. Ujung-ujungnya orangtuanya nyesel karena sudah buang biaya banyak.
Katanya, kalau gitu mendingan
langsung dibiayain ke jurusan itu aja dari awal," begitu tuturnya.
Menyaksikan banyaknya kejadian tersebut, kedua orangtua Ije memilih untuk
meloloskan keinginan anaknya, selama dijalani dengan serius.
Dukungan yang diterima
tentulah membuat Ije merasa beruntung. Kedua orangtuanya tidak mempermasalahkan
gelar, dan men-support secara penuh
kegiatan yang dilakukan putri mereka. Tak cuma bantuan moril, sokongan dana
juga diberikan supaya dapat menimba ilmu secara maksimal. Hal ini yang
mendorong Ije untuk bekerja keras, agar apa yang telah diberi kedua orangtuanya
tidak terbuang sia-sia.
No comments:
Post a Comment