Friday 2 June 2017

Mengingat Kembali Sejarah Dibalik Klenteng Boen Tek Bio

Mengingat Kembali Sejarah Dibalik Klenteng Boen Tek Bio

Oleh: Cherish Editia Liharja / 00000009043


Bangunan utama Klenteng Boen Tek Bio disiang hari


Di pasar, yang terdengar adalah kata-kata ini: “Ayo Buk! Dibeli, ikannya masih boleh ini! Masih seger seger tuh!”, “cabenya seperapat berapa buk?” “lima belas ribu”, “plastik plastik! Buk, belanjaannya mau dipakein plastik?”. Begitu masuk ke halaman klenteng Boen Tek Bio, yang terdengar adalah: “…………..”

Selasa, suasana daerah Pasar Lama siang itu bagi saya sama seperti biasanya. Ramai dan macet oleh mobil dan motor yang hendak masuk. Dikawasan Pasar Lama, jalan raya terbagi menjadi tiga, patokannya itu jam yang berdiri kurang lebih tingginya 3-5 meter didepan jalan masuk Pasar Lama (yang punya tanda gerbang warna biru dengan lambang kota Tangerang ditengahnya). Jalan paling kanan kearah GOR Damyati, jalan yang tengah adalah jalan utama kawasan Pasar Lama−berupa deretan ruko ruko dengan desain tempo dulu−dan yang paling kanan, gang kecil yang becek dan basah yang dipenuhi orang, teriakan dari para pedagang, dan juga pertanyaan dari para pembeli. Sesekali motor juga becak menerobos masuk. Gang kecil nan becek inilah merupakan “pasar” yang sesungguhnya, sebuah pasar tradisional−benar benar tradisional.
Jika mengikuti terus jalan pasar ini, diujungnya jalan akan terbagi lagi. Kanan kearah jalan utama, dan kiri kearah rumah-rumah yang berada disamping kali Cisadane. Klenteng Boen Tek Bio berada dikiri pasar, di persimpangan jalan Bhakti dan jalan Cilame. Tepatnya di jalan Bhakti no.14 Kota Tangerang. Warna klentengnya mencolok, merah seperti warna kulit tomat. Tetapi dengan sedikit warna oranye pada merahnya, sehingga benar-benar mencolok dan terang. Klentengnya dipagari oleh pagar besi yang tidak terlalu tinggi, kira-kira tingginya se-dada untuk orang dengan tinggi 160cm. Di depan Klenteng ada semacam café, yang isinya sebagian anak-anak sekolahan (kira-kira SMP) dan beberapa ibu-ibu yang sepertinya sedang istirahat setelah cape berbelanja.
Klenteng Boen Tek Bio, yang diperkiran berdiri tahun 1684 merupakan satu dari 3 klenteng tertua di daerah Tangerang. Dua klenteng lainnya adalah Klenteng Boen San Bio (1689) di Pasar Baru, dan Klenteng Boen Hay Bio (1694) di Serpong. Uniknya, 3 Klenteng ini bila dilihat dari atas, membentuk sebuah garis lurus. Saat masuk ke halaman Klenteng Boen Tek Bio, entah kenapa rasanya sangat berbeda. Tidak peduli saat itu pagi, siang, sore, ataupun malam, entah kenapa, suara hiruk pikuk orang-orang di pasar tidak terlalu terdengar. Yang ada hanya suara yang tenang, dan sesekali terdengar doa yang sedang dipanjatkan. Selain itu, arsitekturnya yang kental dengan nuansa budaya Tiongkok juga menambah kemegahan Klenteng Boen Tek Bio.
Tapi pada hari itu, tujuan saya pergi ke Klenteng Boen Tek Bio bukan untuk mengagumi kemegahannya dan ketenangannya, melainkan untuk mencari seseorang yang mengetahui tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio ini. Kemudian saya dibawa oleh seseorang menemui Oey Tjin Eng, seorang sejarawan dan budayawan Tangerang yang sudah hafal diluar kepala tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio. Saya bertemu Engkong Tjin Eng−sapaan akrabnya−saat ia sedang berada di Toa Pekong Air (Prasasti Tangga Jamban), memakai baju kuning dan kacamata hitam. Ternyata engkong Tjin Eng menjadi bagian dari panitia acara Peh Cun kota Tangerang yang rutin diadakan setiap tahunnya.

***

            Keesokan harinya, Rabu, saya bertemu lagi dengan engkong Tjin Eng. Engkong Tjin Eng berkata “jika berbicara tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio, berarti tidak lepas juga dari sejarah kedatangan orang Tionghoa di Tangerang”. Kemudian engkong Tjin Eng bercerita, meskipun sebenarnya kedatangan orang Tionghoa di Tangerang belum diketahui secara pasti, tetapi kedatangan orang-orang Tionghoa ini disebut dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul “Tina Layang Parahyang” (Catatan dari Parahyangan). Dalam kitab tersebut diceritakan, rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) mendarat di daerah Teluk Naga yang merupakan muara dari sungai Cisadane pada tahun 1407. Pemerintahan pada waktu itu dipegang oleh Sanghyang Anggalarang, wakil dari Kerajaan Pajajaran.
            Perahu jung rombongan Halung saat itu rusak dan kehabisan perbekalan, sehingga mereka terdampar, sementara daerah tujuan rombongan Halung semula adalah Jayakarta. Dalam rombongan Halung terdapat 9 orang gadis yang cantik, yang kemudian disunting oleh para prajurit Sanghyang Anggalarang dengan kompensasi sebidang tanah. Dalam rombongan Halung juga terdapat laki-laki, yang kemudian para laki-laki ini menikahi gadis penduduk setempat. Hasil pernikahan inilah yang kemudian disebut sebagai peranakan Tionghoa.
            Setelah berkembang, Peranakan Tionghoa ini membuka lahan baru yang disebut sebagai Desa Pangkalan di daerah Teluk Naga juga. Peranakan ini kemudian mengaku sebagai Tang Lang atau Tang Ren (orang dinasti Tang). Setelah dua daerah ini berkembang, mereka mulai mencari lahan baru melalui jalur sungai, antara lain Pasar Lama, Pasar Baru, dan Serpong. Menurut Tom Pires juga, seorang pelaut berkebangsaan Portugis, tahun 1513 sudah ada komunitas Tionghoa di Tangerang.
            “Ini, kemudian komunitas Tionghoa ini kan jadi semakin membesar, kemudian mereka berpencar deh tuh, ada yang pergi ke daerah Pondok Cabe, ke Pondok Jagung, Pondok Aren, Pondok Pinang, ada juga yang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Nah di depan Klenteng itu tuh, namanya Petak Sembilan” ujar engkong Tjin Eng.

***

            Kembali lagi kita ke cerita sejarah klenteng, Klenteng Boen Tek Bio pada awalnya dibuat oleh tuan tanah (kapitan). Engkong Tjin Eng juga menceritakan, Klenteng pada awalnya, pada zaman dahulu, tidak bisa dibuat oleh warga umum, pembuatan Klenteng selalu dimulai oleh tuan tanah. Dibuat oleh pribadi terlebih dahulu. Nama Boen Tek Bio memiliki arti dari setiap katanya. Boen artinya Intelektual, Tek artinya kebajikan dan Bio yang berarti ibadah. Bila digabungkan maka Boen Tek Bio akan memiliki arti “suatu tempat bagi umat untuk menjadi insan yang penuh kebajikan dan intelektual”.
Jika jeli, ia mengatakan, nama 3 klenteng tertua di Tangerang semuanya diawali oleh kata “Boen”. Hal ini karena 3 klenteng ini dibuat oleh kelompok orang yang sama. Meskipun dibuat oleh kelompok orang yang sama, tidak jelas siapa pendiri Klenteng Boen Tek Bio. Pada tahun 1942, di Klenteng Boen Tek Bio terdapat 2 pendeta, saat tantara Jepang datang salah satu pendeta kemudian pergi untuk menyelamatkan (mengamankan) arsip-arsip yang terdapat di klenteng Boen Tek Bio, tetapi kemudian pendeta itu tidak terlihat lagi. Sehingga arsip-arsip tersebut ikut hilang Bersama pendetanya juga.
Sementara itu, bangunan Klenteng Boen Tek Bio yang sekarang ini sangat berbeda dari saat awal dibangun, “klenteng Boen Tek Bio sendiri sudah setidaknya mengalami 3 kali renovasi” ujarnya. Renovasi pertama mengubah bagian gedung yang berada ditengah yang terdapat altar utama pada tahun 1844, renovasi kedua mengubah sisi (bangunan bagian) kiri dan kanan klenteng pada tahun 1875, yang ketiga yaitu tiang naga (pilar dengan dekorasi naga) yang berada didepan altar utama dan pintu merah yang terdapat bagian belakang Klenteng pada tahun 1904. Selain itu, barang-barang yang terdapat di Klenteng Boen Tek Bio juga merupakan barang-barang yang didatangkan langsung dari Tiongkok.

***

            Dalam buku kenangan Prosesi 12 Tahunan YMS Kwan Im Hud Chou ke-14 2563/2012, yang dikeluarkan oleh Perkumpulan Keagamaan dan Sosial “Boen Tek Bio” Kota Tangerang, yang dipinjamkan kepada saya oleh Engkong Tjin Eng, klenteng dikatakan sebagai suatu khas yang hanya ada di Indonesia. Hal ini karena nama tempat yang sebenarnya bukanlah “klenteng” melainkan “kuil”. Kata “klenteng” tercipta berdasarkan 3 asumsi.
Yang pertama, dan merupakan hal yang paling mendekati kebenaran adalah kata “klenteng” berasal dari bunyi instrument sembahyang (lonceng genta) yang berbunyi “teng… teng…”. Sehingga kemudian masyarakat setempat menamakan bangunannya sebagai klenteng. Yang kedua, nama klenteng berasal dari nama Kwan Im Teng. Meskipun asumsi ini menjadi lemah karena nama “Kwan Im Teng” bila disamakan dengan “klenteng” tidak nyambung sama sekali. Selain itu, tidak semua klenteng mempunyai pendopo untuk Kwan Im Teng walau sebagian ada yang memilikinya. Asumsi yang ketiga dan terakhir adalah sangkaan bahwa klenteng dihubungkan dengan minyak biji kapok atau “kelenteng” (dengan e seperti dalam peletup). Asumsi ini juga menjadi lemah karena biji kapok bukan hanya satu-satunya jenis minyak yang dipakai, selain itu penggunaan minyak biji kapok juga umum tidak khusus. Meskipun begitu, kata “Klenteng” menjadi nama khas di Indonesia. Selain itu, klenteng juga mempunyai 3 nilai yaitu; agami, ibadah, dan kemasyarakatan.
Masih dari buku yang sama, mengenai sejarah, asal muasal kata “kuil”. Sejarah mencatat, kata “kuil” dalam bentuk awalannya adalah huruf Bio/Miao yang muncul dalam Kitab Suci Agama Khonghucu (muncul dalam kitab Ngo Keng/Wu Jing juga Su Si/Si Shu) sebagai tempat ibadah kehadiran Tuhan, kehadapan bumi/alam, kepada leluhur manusia. Dengan demikian, kuil sembahyang kehadirat Tuhan (Maha Leluhur Manusia), ucapan syukur kehadapan bumi, juga bakti hormat kepada leluhur yang telah mendahului, dan dalam perkembangannya berubah menjadi sarana ibadah agama.
Sesudah semua cerita dan hal-hal yang saya baca dari buku yang dipinjamkan, saya merasa mata saya terbuka. Saya tidak pernah tahu soal sejarah Klenteng Boen Tek Bio, ataupun sejarah daerah Pasar Lama, maupun sejarah keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang ini. Saya merasa, betapa beruntung bisa bertanya dan mengetahui cerita bagaimana komunitas Tionghoa bisa berada dan akhirnya berkembang di daerang Tangerang ini.

***

            Meskipun sudah selesai engkong Tjin Eng bercerita tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio, saya pun teringat satu hal. Kemudian saya kembali menanyakan sebuah pertanyaan “saya melihat di website klenteng Boen Tek Bio, bahwa klenteng Boen Tek Bio ini bisa digunakan untuk acara agama Buddha dan Konghucu, jadi, sebenarnya, Klenteng Boen Tek Bio ini untuk agama yang mana?” kemudian, engkong Tjin-Eng pun menjawab “Klenteng Boen Tek Bio ini untuk umat Buddha, Konghucu, dan Tao. Orang-orang yang ke Klenteng itu biasanya, umumnya, adalah orang-orang yang menganut Buddha Mahayana. Kalau untuk orang-orang yang menganut Buddha Theravada, mereka punya vihara sendiri”.

***

            Setelah Engkong Tjin Eng bercerita panjang lebar sambil membuka halaman-halaman buku yang dibawanya untuk membantu saya memahami tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio, dan menjawab pertanyaan yang saya ajukan, saya menyadari, bahwa bangunan Klenteng merah yang umurnya sudah sangat tua itu menyimpan banyak sekali cerita yang belum diketahui orang banyak. Dan bahwa bangunan, juga tradisi dan cerita tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio ini juga harus terus diturunkan kepada anak cucu, agar mereka semakin memahami tentang budaya Indonesia yang beragam warna ini.


No comments:

Post a Comment