CHIOU THAOU DAN SANGJIT
Riska
Andriani - 00000010785
“Jadi,
ritual pernikahan yang mana yang akan anda lakukan nantinya?” “Yang sederhana dan
mudah saja.” “Ritual Jawa, Tionghua, Sunda atau ritual lainnya?” “Ritual yang
sesuai kesepakatan orang tua aja. Tapi, yang paling sederhana dan mudah aja.”
Mungkin itu merupakan pertanyaan yang akan ditemukan
pada saat kita memilih untuk berumah tangga. Selain gaun pengantin, gedung mana
yang akan kita gunakan, tamu mana yang akan kita undang dan berapa banyak,
ritual pernikahan yang mana yang akan kita lakukan juga merupakan hal yang
sangat harus kita perhatikan.
Ritual pernikahan merupakan hal yang penting untuk
diperhatikan karena ritual pernikahan itu sendiri akan menunjukkan identitas
etnis dari kedua keluarga mempelai. Ritual Tionghua atau Chiou Thaou merupakan
ritual yang dilakukan masyarakat cina dari dulu hingga sekarang. Di Kota
Tangerang sendiri khususnya dalam kelenteng Boen Tek Bio yang terletak di
tengah Pasar Lama, ritual ini masih dilakukan oleh masyarakat khususnya masyarakat
Cina Benteng.
Oey Tjin Eng yang merupakan humas dari Kelenteng Boen
Tek Bio mengatakan bahwa ritual Chiou Thaou sendiri merupakan salah satu hal
yang wajib dilakukan masyarakat Cina jika ingin melakukan sebuah pernikahan.
“Ritual ini sendiri dapat di istilahkan sebagai sebuah pintu. Kalau misalnya
kita ingin masuk kerumah pasti kita harus melalui pintukan? Jadi, sama saja
seperti halnya ritual ini.” Katanya sambil sedikit tertawa.
Sekilas tentang sejarah Cina Benteng, Cina Benteng
sendiri merupakan sebutan untuk masyarakat cina yang berdiam diri di Kota
Tangerang khususnya dikawasan Pasar Lama itu sendiri. Sebagai kawasan
permukiman Cina, di Pasar Lama dibangun kelenteng tertua yaitu kelenteng Boen
Tek Bio yang didirikan tahun 1684 dan merupakan bangunan paling tua di
Tangerang. Setelah 5 tahun, barulah dibangun kelenteng kedua yaitu Kelenteng
Boen San Bio. Kedua kelenteng ini menjadi saksi sejarah bahwa orang – orang
Cina telah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad silam.
Menurut David Kwa, yang merupakan ahli sejarah
Tionghua yang menjadi konsultan ritual pernikahan ini, Chiou Thaou disebut
sebagai sebuah ritual pelintasan atau rite
of passage yang harus dilakukan sebagai pemurnian dan inisiasi memasuki
masa dewasa. Ritual ini dilakukan dalam bentuk upacara dan upacara tersebut
akan dilakukan dengan sangat sakral dan hanya boleh dilakukan sekali seumur
hidup sesaat menjelang pernikahan.
Rina dan David merupakan salah satu pasangan pengantin
yang akan melakukan ritual ini. Ritual mulai dilakukan pada pukul enam pagi.
Ritual tersebut sudah dimulai di rumah mempelai perempuan. Tata rias dan pemain
musik turut ikut serta dalam ritual ini. Dengan keahlian yang tata rias miliki,
pengantin wanita pun mulai didandani dengan sangat sederhana tanpa aksesoris
yang berlebihan.
Pada ritual ini, pengantin wanita hanya menggunakan
baju dan celana santin yang berwarna putih dan menggunakan jubah luaran
berwarna hijau dan merah dengan sulaman dan terdapat hiasan dari logam warna
perak bermotif kura – kura, bunga, kupu – kupu, dan sebagainya. Untuk riasan
ramburt sendiri, diberi rambut palsu dan digulung menjadi bentuk bola kearah
atas. Di atas rambut tersebut kemudian ditusukkan 25 tusuk konde yang bermotif
floral dan burung hong atau phoenix.
Tusuk konde ini sendiri memiliki arti yaitu motif
burung hong atau phoenix merupakan ratu dari semua unggas. Di sebut sebagai
ratu karena, pengantin selalu dianggap sebagai raja dan ratu sehari. Untuk
pengantin laki-laki sendiri, mereka menggunakan lambang naga yang diumpamakan
sebagai raja.
Setelah itu, acara berlanjut ke santapan dengan 12
jenis lauk yang masing-masing diletakkan dalam mangkuk yang terbuat dari
porselin. Rina berjalan menuju meja makan tersebut sambil didampingi dua orang
saudara laki-laki yang belum menikah dan sebaiknya bershio macan dan naga.
Terdapat berbagai jenis makanan dengan berbagai jenis rasa dan disajikan diatas
meja kayu yang berbentuk bulat tersebut.
Rasa masakan yang terdiri dari rasa asin, manis,
pahit, tawar, pedas, gurih, dan berlemak-lemak memiliki artian yaitu untuk
menyiapkan pengantin bahwa tidak selamanya mereka menghadapi kondisi yang
selalu menyenangkan atau membahagiakan sepanjang usia pernikahan mereka.
Makanan dalam 12 mangkuk juga melambangkan kesinambungan rezeki dalam tiap-tiap
bulan selama setahun.
Setelah itu, acara berpindah ke rumah pengantin
laki-laki. Para tamu yang berada di rumah pengantin laki-laki dijamu dengan berbagai
jenis kue tradisional yang masing-masing memiliki makna atau artian tertentu.
Seperti misalnya terdapat kue lapis legit yang dapat diartikan sebagai
pengharapan akan rezeki yang berlapis-lapis. Kue pepe yaitu kue lapis dari
tepung beras yang memiliki artian agar pasangan pengantin dapat terus Bersama
hingga tua nantinya dan terdapat beberapa kue lainnya yang tentunya memiliki
artian-artian khusus.
Para tata rias pun mulai berpindah tempat dari rumah
pengantin wanita ke rumah pengantin laki-laki. Walaupun laki-laki tidak perlu
dirias wajahnya namun, para tata rias juga diperlukan untuk membantu mempelai
laki-laki merapikan rambut dan memakai jubah yang digunakan sama seperti yang
dikenakan oleh pengantin wanita. Pengantin laki-laki tidak perlu menggunakan tusuk
konde yang digunakan oleh pengantin wanita karena di zaman sekarang, rambut
laki-laki tidak panjang seperti rambut pada zaman dulu.
Setelah kedua belah pengantin telah bersiap di rumah
mereka masing-masing, para kerabat pun mulai memberikan hadiah yang mereka bawa
dari rumah berupa uang yang diharapkan akan menjadi modal awal untuk membangun
keluarga tersebut. Setelah berbagai acara dilakukan, upacara makan 12 mangkuk
pun mulai dilaksanakan di dua tempat yang berbeda yaitu di rumah pengantin
wanita dengan keluarganya dan di rumah pengantin laki-laki dengan keluarganya.
Acara makan ini yang pada zaman dulu hanya dihadiri
oleh beberapa tetua dari keluarga tersebut, sekarang menjadi sangat bebas.
Semua orang dapat berkumpul untuk menikmati dan turut serta dalam upacara makan
12 mangkuk ini dan menurut penuturan dari salah satu kerabat dari Rina, Rita
yang merupakan kakak dari mempelai wanita, acara ini menjadi salah satu
alternatif untuk mengumpulkan kerabat-kerabat mereka yang berada jauh dari
Indonesia.
Acara pun dilanjutkan dengan pengantin laki-laki yang
kemudian datang ke rumah pengantin wanita untuk menjemput pengantin wanitanya.
“Kalau dulu, pengantin laki-laki datang ke sini naik tandu, kalau sekarang mah
naik mobil aja.” Tutur Sukawati yang merupakan ibu dari mempelai wanita.
Kedatangan mempelai laki-laki disambut cukup meriah di rumah mempelai wanita,
kalau pada zaman dulu dibunyikan petasan namun di zaman sekarang cukup dengan
suara alat musik. Tradisi ini sedikit meniru tradisi pengantin dari Betawi.
Dalam tradisi pernikahan masyarakat cina benteng
khususnya di daerah Pasar Lama, terdapat acara taburan beras kuning dan uang
logam yang dapat dikatakan mirip dengan berbagai acara pernikahan dalam adat
Nusantara. Oey Tjin Eng mengatakan ini juga menjadi salah satu bukti masuknya
adat Sunda ke dalam tradisi Chiou Thau ini.
Para tamu yang hadir dalam upacara ini mulai berebut
untuk mendapatkan uang logam yang ditaburkan. Taburan ini dipercaya sebagai
lambang rezeki. Dari yang muda sampai anak kecil sibuk memungut beberapa uang
logam yang ditaburkan oleh pengantin laki-laki. Setelah itu, kedua mempelai
mulai berjalan masuk kedalam rumah mempelai wanita. Didalam rumah tersebut,
mulai diadakan upacara memakan onde-onde. Upacara memakan onde-onde ini
dilakukan dengan sangat tertutup dan hanya beberapa kerabat inti saja yang boleh
ikut serta dalam upacara ini.
Upacara yang dilakukan selanjutnya adalah acara teh pai.
Acara ini dimulai dengan pemberian hadiah dari orangtua dan kerabat dari kedua
pengantin berupa uang pelita. Uang pelita ini berbeda dengan angpao, uang
pelita ini dimasukkan ke dalam amplop putih bergaris merah sedangan angpao
sendiri biasanya dimasukkan dalam amplop berwarna merah.
Pemberian ini pun tidak dilakukan dengan sembarang
harus melalui beberapa cara yaitu, pemberian uang pelita sendiri lebih baik di
lakukan oleh kerabat serta orang tua yang memiliki pasangan. Setiap pasangan
yang memberikan uang pelita kepada kedua pengantin, pengantin perempuan akan
memberikan teh yang disuguhkan didalam cangkir yang menyerupai mangkuk kepada
pemberi amplop.
Sesudah menerima amplop, pasangan pengantin akan melakukan
pai atau kowtow sebagai ucapan terimakasih. Pai atau Kowtow ini diartikan
sebagai rasa hormat kepada mereka yang memberikan uang pelita dengan cara
menyatukan kedua tangan di depan leher dan disatukan dengan saling menggenggam
lalu kedua tangan tersebut digoyang-goyangkan di depan leher.
Terdapat beberapa hidangan yang dapat dikatakan wajib
disediakan untuk disantap oleh beberapa tamu salah satunya adalah Bakso Lohwa.
Bakso Lohwa ini merupakan salah satu hidangan istimewa khas Tangerang dan biasanya
terbuat dari daging babi. Namun, karena beberapa tamu beragama islam dan
dilarang untuk memakan hal yang berasal dari daging babi maka, bakso ini pun
diganti menjadi bakso yang berasal dari daging sapi ataupun daging ayam.
Setelah melewati beberapa upacara dan tradisi
tersebut, tradisi sangjit merupakan tradisi yang selanjutnya harus dilakukan
oleh kedua mempelai. Sangjit sendiri dapat dikatakan seperti proses seserahan
yang merupakan lanjutan dari proses lamaran dari pihak pengantin laki-laki
dengan membawa beberapa barang yang nantinya akan diberikan kepada pihak
pengantian wanita.
“Tradisi Sangjit ini sebaiknya dilakukan pada saat
siang hari dan dilakukan sebulan atau seminggu sebelum acara pernikahan secara
resmi berlangsung.” Kata Oey Tjin Eng.
Dalam tradisi ini juga memiliki beberapa tata acara
yang harus diikuti. Seperti, barang-barang yang umumnya harus dipersiapkan oleh
pihak pengantin laki-laki yang nantinya akan diberikan kepada keluarga
pengantin wanita. Mulai dari pakaian, uang angpao, nampan yang berisikan
buah-buahan dan makanan (kue tradisional khususnya kue mangkuk), dua botol
arak, dan 1 pasang lilin.
Tradisi Sangjit ini juga memiliki makna yaitu
diharapkan agar nantinya kedua pengantin tersebut dapat menjadi suami istri
yang saling berbagi suka dan duka hingga akhir hayatnya nanti.
“Sebenarnya terdapat banyak tradisi lagi yang harus
dilakukan dan diperhatikan pada saat ingin menjalankan sebuah pernikahan tapi,
karena semakin berkembangnya zaman maka beberapa tradisi pun mulai dihilangkan
dan tidak dijalankan. Selain itu, tradisi sekarang juga tidak seribet zaman
dulu karena mau bagaimanapun juga tradisi-tradisi ini tetap hanyalah sebuah
tradisi yang turun temurun dilakukan orang dari zaman dahulu dan dipercaya
untuk menjauhi segala mara bahaya. Jadi, mau dilakukan atau tidak itu merupakan
kesepakatan dari dua keluarga.” Kata Oey Yjin Eng pada saat akhir acara.
“Walaupun banyak hal yang harus dipersiapkan dan
dilakukan tapi, tetep aja kita cuma ngikutin apa kata yang tua-tua. Kalau kata orang-orang
biar gak kualat aja.” Kata David sambil tertawa
“Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, tradisi-tradisi ini
menarik kok buat dijalanin. Biar kita yang bisa dikatakan sebagai manusia
modern bisa tau apa aja yang dilakukan orang zaman dulu pas mau menikah dan ini
juga ngebuat aku secara pribadi lebih menghargai arti dari sebuah pernikahan.”
Kata Rina sambil memandang David yang sedang menggenggam tangannya erat.
No comments:
Post a Comment