Saturday 3 June 2017

Ritual Chiou Thaou dan Sangjit di Pasar Lama Tangerang


CHIOU THAOU DAN SANGJIT

Riska Andriani - 00000010785



“Jadi, ritual pernikahan yang mana yang akan anda lakukan nantinya?” “Yang sederhana dan mudah saja.” “Ritual Jawa, Tionghua, Sunda atau ritual lainnya?” “Ritual yang sesuai kesepakatan orang tua aja. Tapi, yang paling sederhana dan mudah aja.”



Mungkin itu merupakan pertanyaan yang akan ditemukan pada saat kita memilih untuk berumah tangga. Selain gaun pengantin, gedung mana yang akan kita gunakan, tamu mana yang akan kita undang dan berapa banyak, ritual pernikahan yang mana yang akan kita lakukan juga merupakan hal yang sangat harus kita perhatikan.

Ritual pernikahan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan karena ritual pernikahan itu sendiri akan menunjukkan identitas etnis dari kedua keluarga mempelai. Ritual Tionghua atau Chiou Thaou merupakan ritual yang dilakukan masyarakat cina dari dulu hingga sekarang. Di Kota Tangerang sendiri khususnya dalam kelenteng Boen Tek Bio yang terletak di tengah Pasar Lama, ritual ini masih dilakukan oleh masyarakat khususnya masyarakat Cina Benteng.

Oey Tjin Eng yang merupakan humas dari Kelenteng Boen Tek Bio mengatakan bahwa ritual Chiou Thaou sendiri merupakan salah satu hal yang wajib dilakukan masyarakat Cina jika ingin melakukan sebuah pernikahan. “Ritual ini sendiri dapat di istilahkan sebagai sebuah pintu. Kalau misalnya kita ingin masuk kerumah pasti kita harus melalui pintukan? Jadi, sama saja seperti halnya ritual ini.” Katanya sambil sedikit tertawa.

Sekilas tentang sejarah Cina Benteng, Cina Benteng sendiri merupakan sebutan untuk masyarakat cina yang berdiam diri di Kota Tangerang khususnya dikawasan Pasar Lama itu sendiri. Sebagai kawasan permukiman Cina, di Pasar Lama dibangun kelenteng tertua yaitu kelenteng Boen Tek Bio yang didirikan tahun 1684 dan merupakan bangunan paling tua di Tangerang. Setelah 5 tahun, barulah dibangun kelenteng kedua yaitu Kelenteng Boen San Bio. Kedua kelenteng ini menjadi saksi sejarah bahwa orang – orang Cina telah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad silam.

Menurut David Kwa, yang merupakan ahli sejarah Tionghua yang menjadi konsultan ritual pernikahan ini, Chiou Thaou disebut sebagai sebuah ritual pelintasan atau rite of passage yang harus dilakukan sebagai pemurnian dan inisiasi memasuki masa dewasa. Ritual ini dilakukan dalam bentuk upacara dan upacara tersebut akan dilakukan dengan sangat sakral dan hanya boleh dilakukan sekali seumur hidup sesaat menjelang pernikahan.

Rina dan David merupakan salah satu pasangan pengantin yang akan melakukan ritual ini. Ritual mulai dilakukan pada pukul enam pagi. Ritual tersebut sudah dimulai di rumah mempelai perempuan. Tata rias dan pemain musik turut ikut serta dalam ritual ini. Dengan keahlian yang tata rias miliki, pengantin wanita pun mulai didandani dengan sangat sederhana tanpa aksesoris yang berlebihan.
Pada ritual ini, pengantin wanita hanya menggunakan baju dan celana santin yang berwarna putih dan menggunakan jubah luaran berwarna hijau dan merah dengan sulaman dan terdapat hiasan dari logam warna perak bermotif kura – kura, bunga, kupu – kupu, dan sebagainya. Untuk riasan ramburt sendiri, diberi rambut palsu dan digulung menjadi bentuk bola kearah atas. Di atas rambut tersebut kemudian ditusukkan 25 tusuk konde yang bermotif floral dan burung hong atau phoenix.

Tusuk konde ini sendiri memiliki arti yaitu motif burung hong atau phoenix merupakan ratu dari semua unggas. Di sebut sebagai ratu karena, pengantin selalu dianggap sebagai raja dan ratu sehari. Untuk pengantin laki-laki sendiri, mereka menggunakan lambang naga yang diumpamakan sebagai raja.

Setelah itu, acara berlanjut ke santapan dengan 12 jenis lauk yang masing-masing diletakkan dalam mangkuk yang terbuat dari porselin. Rina berjalan menuju meja makan tersebut sambil didampingi dua orang saudara laki-laki yang belum menikah dan sebaiknya bershio macan dan naga. Terdapat berbagai jenis makanan dengan berbagai jenis rasa dan disajikan diatas meja kayu yang berbentuk bulat tersebut.

Rasa masakan yang terdiri dari rasa asin, manis, pahit, tawar, pedas, gurih, dan berlemak-lemak memiliki artian yaitu untuk menyiapkan pengantin bahwa tidak selamanya mereka menghadapi kondisi yang selalu menyenangkan atau membahagiakan sepanjang usia pernikahan mereka. Makanan dalam 12 mangkuk juga melambangkan kesinambungan rezeki dalam tiap-tiap bulan selama setahun.

Setelah itu, acara berpindah ke rumah pengantin laki-laki. Para tamu yang berada di rumah pengantin laki-laki dijamu dengan berbagai jenis kue tradisional yang masing-masing memiliki makna atau artian tertentu. Seperti misalnya terdapat kue lapis legit yang dapat diartikan sebagai pengharapan akan rezeki yang berlapis-lapis. Kue pepe yaitu kue lapis dari tepung beras yang memiliki artian agar pasangan pengantin dapat terus Bersama hingga tua nantinya dan terdapat beberapa kue lainnya yang tentunya memiliki artian-artian khusus.

Para tata rias pun mulai berpindah tempat dari rumah pengantin wanita ke rumah pengantin laki-laki. Walaupun laki-laki tidak perlu dirias wajahnya namun, para tata rias juga diperlukan untuk membantu mempelai laki-laki merapikan rambut dan memakai jubah yang digunakan sama seperti yang dikenakan oleh pengantin wanita. Pengantin laki-laki tidak perlu menggunakan tusuk konde yang digunakan oleh pengantin wanita karena di zaman sekarang, rambut laki-laki tidak panjang seperti rambut pada zaman dulu.

Setelah kedua belah pengantin telah bersiap di rumah mereka masing-masing, para kerabat pun mulai memberikan hadiah yang mereka bawa dari rumah berupa uang yang diharapkan akan menjadi modal awal untuk membangun keluarga tersebut. Setelah berbagai acara dilakukan, upacara makan 12 mangkuk pun mulai dilaksanakan di dua tempat yang berbeda yaitu di rumah pengantin wanita dengan keluarganya dan di rumah pengantin laki-laki dengan keluarganya.

Acara makan ini yang pada zaman dulu hanya dihadiri oleh beberapa tetua dari keluarga tersebut, sekarang menjadi sangat bebas. Semua orang dapat berkumpul untuk menikmati dan turut serta dalam upacara makan 12 mangkuk ini dan menurut penuturan dari salah satu kerabat dari Rina, Rita yang merupakan kakak dari mempelai wanita, acara ini menjadi salah satu alternatif untuk mengumpulkan kerabat-kerabat mereka yang berada jauh dari Indonesia.

Acara pun dilanjutkan dengan pengantin laki-laki yang kemudian datang ke rumah pengantin wanita untuk menjemput pengantin wanitanya. “Kalau dulu, pengantin laki-laki datang ke sini naik tandu, kalau sekarang mah naik mobil aja.” Tutur Sukawati yang merupakan ibu dari mempelai wanita. Kedatangan mempelai laki-laki disambut cukup meriah di rumah mempelai wanita, kalau pada zaman dulu dibunyikan petasan namun di zaman sekarang cukup dengan suara alat musik. Tradisi ini sedikit meniru tradisi pengantin dari Betawi.

Dalam tradisi pernikahan masyarakat cina benteng khususnya di daerah Pasar Lama, terdapat acara taburan beras kuning dan uang logam yang dapat dikatakan mirip dengan berbagai acara pernikahan dalam adat Nusantara. Oey Tjin Eng mengatakan ini juga menjadi salah satu bukti masuknya adat Sunda ke dalam tradisi Chiou Thau ini.

Para tamu yang hadir dalam upacara ini mulai berebut untuk mendapatkan uang logam yang ditaburkan. Taburan ini dipercaya sebagai lambang rezeki. Dari yang muda sampai anak kecil sibuk memungut beberapa uang logam yang ditaburkan oleh pengantin laki-laki. Setelah itu, kedua mempelai mulai berjalan masuk kedalam rumah mempelai wanita. Didalam rumah tersebut, mulai diadakan upacara memakan onde-onde. Upacara memakan onde-onde ini dilakukan dengan sangat tertutup dan hanya beberapa kerabat inti saja yang boleh ikut serta dalam upacara ini.

Upacara yang dilakukan selanjutnya adalah acara teh pai. Acara ini dimulai dengan pemberian hadiah dari orangtua dan kerabat dari kedua pengantin berupa uang pelita. Uang pelita ini berbeda dengan angpao, uang pelita ini dimasukkan ke dalam amplop putih bergaris merah sedangan angpao sendiri biasanya dimasukkan dalam amplop berwarna merah.

Pemberian ini pun tidak dilakukan dengan sembarang harus melalui beberapa cara yaitu, pemberian uang pelita sendiri lebih baik di lakukan oleh kerabat serta orang tua yang memiliki pasangan. Setiap pasangan yang memberikan uang pelita kepada kedua pengantin, pengantin perempuan akan memberikan teh yang disuguhkan didalam cangkir yang menyerupai mangkuk kepada pemberi amplop.

Sesudah menerima amplop, pasangan pengantin akan melakukan pai atau kowtow sebagai ucapan terimakasih. Pai atau Kowtow ini diartikan sebagai rasa hormat kepada mereka yang memberikan uang pelita dengan cara menyatukan kedua tangan di depan leher dan disatukan dengan saling menggenggam lalu kedua tangan tersebut digoyang-goyangkan di depan leher.   

Terdapat beberapa hidangan yang dapat dikatakan wajib disediakan untuk disantap oleh beberapa tamu salah satunya adalah Bakso Lohwa. Bakso Lohwa ini merupakan salah satu hidangan istimewa khas Tangerang dan biasanya terbuat dari daging babi. Namun, karena beberapa tamu beragama islam dan dilarang untuk memakan hal yang berasal dari daging babi maka, bakso ini pun diganti menjadi bakso yang berasal dari daging sapi ataupun daging ayam.

Setelah melewati beberapa upacara dan tradisi tersebut, tradisi sangjit merupakan tradisi yang selanjutnya harus dilakukan oleh kedua mempelai. Sangjit sendiri dapat dikatakan seperti proses seserahan yang merupakan lanjutan dari proses lamaran dari pihak pengantin laki-laki dengan membawa beberapa barang yang nantinya akan diberikan kepada pihak pengantian wanita.

“Tradisi Sangjit ini sebaiknya dilakukan pada saat siang hari dan dilakukan sebulan atau seminggu sebelum acara pernikahan secara resmi berlangsung.” Kata Oey Tjin Eng.
Dalam tradisi ini juga memiliki beberapa tata acara yang harus diikuti. Seperti, barang-barang yang umumnya harus dipersiapkan oleh pihak pengantin laki-laki yang nantinya akan diberikan kepada keluarga pengantin wanita. Mulai dari pakaian, uang angpao, nampan yang berisikan buah-buahan dan makanan (kue tradisional khususnya kue mangkuk), dua botol arak, dan 1 pasang lilin.

Tradisi Sangjit ini juga memiliki makna yaitu diharapkan agar nantinya kedua pengantin tersebut dapat menjadi suami istri yang saling berbagi suka dan duka hingga akhir hayatnya nanti.

“Sebenarnya terdapat banyak tradisi lagi yang harus dilakukan dan diperhatikan pada saat ingin menjalankan sebuah pernikahan tapi, karena semakin berkembangnya zaman maka beberapa tradisi pun mulai dihilangkan dan tidak dijalankan. Selain itu, tradisi sekarang juga tidak seribet zaman dulu karena mau bagaimanapun juga tradisi-tradisi ini tetap hanyalah sebuah tradisi yang turun temurun dilakukan orang dari zaman dahulu dan dipercaya untuk menjauhi segala mara bahaya. Jadi, mau dilakukan atau tidak itu merupakan kesepakatan dari dua keluarga.” Kata Oey Yjin Eng pada saat akhir acara.

“Walaupun banyak hal yang harus dipersiapkan dan dilakukan tapi, tetep aja kita cuma ngikutin apa kata yang tua-tua. Kalau kata orang-orang biar gak kualat aja.” Kata David sambil tertawa


“Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, tradisi-tradisi ini menarik kok buat dijalanin. Biar kita yang bisa dikatakan sebagai manusia modern bisa tau apa aja yang dilakukan orang zaman dulu pas mau menikah dan ini juga ngebuat aku secara pribadi lebih menghargai arti dari sebuah pernikahan.” Kata Rina sambil memandang David yang sedang menggenggam tangannya erat.

No comments:

Post a Comment