Betapa
Pentingnya Pendidikan
Rizma Audina Oktariyanti
00000012107
Berdiri
tepat di atas sebuah gapura, bangunan itu sudah terlihat. Jalan itu lurus dan beraspal,
mengarah ke bangunan tersebut. Di pinggiran jalan sebelah kanan dan kiri
dibatasi oleh trotoar kecil berwarna hitam dan putih, sebagai pembatas antara
jalanan beraspal dengan hamparan rerumputan hijau yang luas di halaman depan. Kendaraan
mobil dan motor berjajar rapi di parkiran depan bangunan itu. Tepat di bagian
depan sisi kanan, beberapa orang terlihat sedang berlalu-lalang dari sebuah
ruangan yang bertuliskan Pusat Layanan Pengaduan, Informasi, dan Pendaftaran
Kunjungan. Mereka berjalan menuju ke pintu masuk yang berada di bangunan itu. Sebagian
dari mereka menggenggam sebuah kantong plastik hitam yang berisi cukup penuh di
tangan kanan dan kirinya, berisi makanan dan pakaian untuk salah satu
kerabatnya di dalam.
Dilihat
dari luar, bangunan itu bercat biru muda dan tua. Masing-masing jendela yang
berbentuk persegi panjang, diberikan teralis besi yang dibuat dua lapis
berwarna oranye. Terpampang plang berwarna putih bertuliskan Lembaga Pembinaan
Khusus Anak Kelas I Tangerang, yang beralamat di Jalan Daan Mogot Nomor 29 C
Tangerang.
Terdapat
dua pintu masuk yang tertutup rapat. Pintu itu berupa gerbang yang terbuat dari
besi. Ukurannya cukup tinggi, lebar, dan tebal. Pintu tersebut dipenuhi dengan
lukisan yang membentuk sebuah pola. Terlihat berwarna-warni dengan adanya warna
hitam, putih, biru, hijau, dan oranye. Jendela berbentuk persegi empat berteralis
besi dan berkaca buram terdapat di masing-masing pintu. Pada salah satu
jendelanya, terdapat satu kotak kecil berukuran sekitar 15 x 20 centimeter yang
terbuka. Gunanya untuk para pengunjung yang ingin bertanya kepada penjaga di
dalam. Siapapun yang hendak masuk ke area tersebut, wajib lapor kepada petugas
dan akan dilakukan pengecekan terlebih dahulu.
“Selamat
pagi, Pak. Ada keperluan apa?” tanya petugas kepada salah satu pengunjung.
“Pagi.
Saya ingin menjenguk anak saya di dalam.” jawab pengunjung itu kepada petugas.
“Silahkan
masuk. Lewat bagian sini ya, saya liat dulu barang bawaannya.” tambah petugas
sambil membukakan pintu.
Sekumpulan
orang-orang berjalan menuju arah gazebo-gazebo yang memang diperuntukkan bagi
para pengunjung yang ingin menjenguk sanak saudara atau kerabat dekatnya yang
berada di dalam LPKA Tangerang. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang biasa
saja, hari ini hampir setiap gazebo dipenuhi oleh pengunjung. Pada masing-masing
gazebo, terdapat satu orang yang mengenakan rompi berwarnya oranye bertuliskan
Andikpas di bagian punggungnya. Andikpas merupakan singkatan dari Anak Didik
Lapas, yaitu sebutan bagi para narapidana anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Pria Tangerang (LPKA). Seluruh Andikpas yang ingin bertemu dengan tamu kunjungan
seperti keluarga dan teman, mereka harus mengenakan rompi tersebut.
Di
salah satu gazebo, tampak seorang wanita yang sedang duduk sendirian. Dengan
mengenakan kerudung panjang dengan setelan gamis yang bercorak bunga. Namanya
Maryamah. Beliau rela berangkat dari Cilegon seorang diri hanya untuk bertemu
anak semata wayangnya di LPKA. Anaknya masih berumur 14 tahun. Akibat terjerat
kasus tindakan asusila dengan hukuman empat tahun penjara, membuat anaknya
harus terpisah dengan dirinya.
Ibu
Maryamah mengatakan bahwa, dirinya selalu merasa khawatir dan rindu terhadap
anaknya. Maka dari itu, hampir seminggu sekali ia selalu menyempatkan untuk
berkunjung.
“Pas
tau anak saya harus masuk penjara. Saya tuh sedih. Takut banget. Pokoknya
perasaan udah campur aduk dah. Awalnya saya mikir… Aduh kasian, gak tega banget,
nanti anak gua bakal dipukulin gak ya…” ungkap Bu Maryamah cemas.
“Eh
tapi setelah anak saya bilang kalo di sini orangnya ramah-ramah, saya agak
tenang. Yang bikin senengnya lagi nih, ternyata anak saya masih bisa
ngelanjutin sekolah di dalem sini, jadinya dia nggak putus sekolah.” tambahnya.
***
Pagi
itu, Senin, 15 Mei 2017, sekitar pukul delapan pagi, seluruh Andikpas yang
duduk di kelas 3 SMK akan melaksanakan Ujian Nasional (UN) Paket C Gelombang I.
Mereka terlihat rapi mengenakan seragam sekolah berwarna putih abu-abu, lengkap
dengan atributnya seperti dasi, ikat pinggang hitam, kaos kaki putih, dan
sepatu hitam bertali. Mereka duduk dengan tertib di dalam kelas, menanti soal
ujian dibagikan. Siswa yang mengikuti UN juga tidak banyak. Seangkatan hanya
terdiri dari 12 siswa. Saat ujian, mereka dibagi lagi menjadi dua kelas, yakni enam
orang per kelasnya.
Setelah
keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012, tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang berisi bahwa, anak tidak boleh disatukan dengan orang
dewasa. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sudah
merencanakan mengenai perubahan seluruh LP Anak di Indonesia menjadi LPKA sejak
tahun 2015 lalu. Salah satunya Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang yang
sudah resmi diubah menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak Pria Tangerang pada
tahun 2016 lalu. Hal tersebut sejalan dengan berubahnya perlakuan hukum
terhadap anak-anak dalam sistem peradilan. Anak-anak di bawah umur 14 tahun
tidak boleh disidang dan dipidanakan, karena dianggap belum dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sementara, bagi anak-anak yang berumur 14
sampai 18 tahun, dapat disidang dan dipidanakan, tetapi tidak boleh disatukan
dengan penjara orang dewasa (19 tahun ke atas).
“Kalo
rencana berubahnya sih udah dari tahun 2015. Tapi kalo resminya baru tahun 2016
lalu. Sampai saat ini, jadinya baru satu tahun.” ucap Herti Hartati, selaku
Kepala Seksi Pembinaan di LPKA.
Semenjak
berubah nama menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak Tangerang (LPKA), terdapat
juga beberapa perubahan di dalamnya. Apabila dilihat dari bangunannya, saat ini
menjadi lebih berwarna dengan cat tembok bangunan warna biru, abu-abu, kuning, dan
hijau. Dilengkapi dengan lukisan bermotif bunga yang memanjang di bagian tengah
tembok. Teralis besi jendela yang berwarna oranye. Pagar berteralis besi, serta
jalan yang ada di dalam area LPKA, kini sudah dicat berwarna-warni. Ditambah
lagi, sekarang sudah tidak ada lagi pagar yang menjulang tinggi semacam jeruji
besi di dalam sana. Tidak terlalu banyak yang berubah, hanya saja yang lebih ditekankan
kepada para narapidana anak di sini yaitu pembinaan, bimbingan dan pengembangan
anak yang berbasis budi pekerti. Seluruh Andikpas diajarkan untuk berpendidikan,
berperilaku sopan dan disiplin. Mereka wajib mengikuti kegiatan-kegiatan yang
ada di LPKA, seperti mengikuti pendidikan formal dan informal, bahkan sampai kegiatan
kerohanian.
“Kalo
dari bentuk bangunannya sih nggak ada yang diubah, dari dulu ya gini-gini aja. Tapi
kalo dari warna bangunan, memang ada sedikit perubahan, jadi dibuat lebih
berwarna. Sama palingan pagar-pagar jeruji besi yang tinggi udah pada
dilepasin. Udah sih itu aja, selebihnya masih sama aja kayak dulu, soalnya dari
dulu di sini memang udah lapas untuk anak. Setelah berubah nama, yang lebih
ditekankan di sini ya pembinaan untuk anak yang berbasis budi pekerti. Jadi
bukan hanya pendidikan yang diberikan di sini, tapi mereka juga diajarkan untuk
berperilaku baik.” jelas Bu Herti.
Dirinya
juga menambahkan bahwa, “Secara keseluruhan, peraturan yang ada di sini (LPKA)
sama saja seperti LP Pemuda dan Dewasa. Hanya saja, petugas di sini lebih ramah
kepada Andikpas.”
Melewati
koridor demi koridor yang lantainya berkeramik putih. Serta jajaran tiang-tiang
tembok bangunan yang berjajar di sepanjang koridor. Hingga papan peraturan yang
terpasang di dinding-dinding seperti layaknya sekolahan. Sesekali terlihat Andikpas
yang berlalu-lalang di koridor, berpapasan dengan seorang petugas LPKA yang mengenakan
seragam berwarna biru dan berdasi, lengkap dengan atribut-atribut yang menempel
di kemeja berwarna biru muda itu. Setiap kali Andikpas berpapasan, mereka selalu
berhenti, hanya untuk sekadar menyapa atau mencium tangan para petugas.
Saat
sedang berkeliling bersama Bu Herti, langkah pun terhenti tepat di depan sekumpulan
Andikpas yang sedang melanjutkan salah satu PKBM-nya yaitu pengelasan. Sebanyak
lima Andikpas mengenakan seragam pengelasan. Kemeja pendek berwarna biru,
dengan garis merah di lengan kanan dan kiri. Mereka sedang mengelas sebuah
kerangka besi berwarna merah yang ukuran tingginya sekitar 2,5 meter berbentuk
kerucut di bagian atas dan persegi empat di bagian bawah.
“Kegiatan
pengelasan ini sudah mereka lakukan selama sepuluh hari. Hari ini terakhir,
makanya harus diselesaikan sebelum memasuki Bulan Ramadhan.” jelas Bu Herti
sambil menunjuk ke arah kerangka besi.
Saat
melanjutkan berkeliling melewati koridor, di sisi kiri terdapat ruang
pencukuran rambut. Di dalamnya, terlihat seorang pria sedang berdiri di depan
cermin. Dengan seluruh bagian lengan hingga pergelangan tangan kanan yang
dipenuhi tato-tato. Ia memakai kaos pendek berwarna oranye yang di punggungnya
bertuliskan LPKA Bersahabat, Bersih, Santun, Harmonis, dan Bermartabat. Di
tangan kanannya, ia memegang sebuah alat pencukur rambut, sambil memegang
rambut teman sesama Andikpas dengan tangan kirinya.
“Nah,
kalo ini, tempat Andikpas yang ingin mencukur rambut mereka. Pencukur di sini
juga teman sesama Andikpas.” jelas Bu Herti sambil menunjuk ke arah ruang
pencukuran rambut.
***
Pakaian-pakaian
basah menggantung di sebuah untaian tali-tali jemuran yang terpasang memanjang
di depan kamar-kamar Andikpas. Begitulah pemandangan yang terlihat di sepuluh
Paviliun yang ada di LPKA setiap harinya. Paviliun merupakan sebutan untuk blok
kamar-kamar mereka. Satu paviliun terdapat delapan kamar, yang satu kamarnya
berisikan tiga sampai empat orang.
Di
Paviliun Fathul Rohman, terlihat seorang pria sedang duduk termenung di sebuah
bangku yang terbuat dari semen di pelataran kamarnya. Kaos pendek berwarna
oranye bertuliskan LPKA Tangerang di bagian depan sisi tengah atas. Pria bernama
Ibnu (18) ini menceritakan pelajaran hidupnya selama berada di LPKA. Dirinya
tertangkap akibat kasus pelecehan seksual terhadap seorang teman wanitanya.
Atas perbuatan khilafnya tersebut, dirinya harus menerima hukuman empat tahun
penjara.
“Kalo
dibilang menyesal, ya menyesal banget. Tapi gimana ya, namanya juga anak muda
jaman sekarang, ya pasti pada suka gitu deh. Tapi gua jadiin ini semua sebagai
pelajaran hidup gua sih. Allah udah menentukan jalan hidup gua seperti ini. Jadi…
Ya… Mau gak mau, suka gak suka, ya gua tetep harus jalanin. ” ujar Ibnu dengan
nada suaranya yang tegas tapi santai.
Setelah
satu tahun lamanya ia berada di dalam LPKA. Pria yang hobi bernyanyi ini
mengatakan bahwa, ia merasakan ada perubahan sikap dari dalam dirinya selama
dibina di sana. Masa lalunya yang kelam, ia jadikan pelajaran hidup.
“Dari
kemarin-kemarin, saya bener-bener kurang bersyukur. Jadi, kalo sekarang, lebih
banyak bersyukurnya. Lebih banyak mengerti dan belajar artinya kehidupan di
dalam sini. Gua gak mau jadi orang baik, tapi gua mau jadi orang yang lebih
baik lagi dari sebelumnya.” pungkasnya sambil tersenyum.
***
Sejumlah
90 Andikpas yang rata-rata berusia 12 hingga 18 tahun, mereka harus melanjutkan
pendidikannya di dalam sana. Terdapat pendidikan formal mulai dari kelas 5 dan
6 SD, SMP, sampai SMK jurusan Teknik Otomotif Sepeda Motor. Sedangkan, pendidikan
informalnya berupa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) seperti pesantren,
mengelas, menyablon, bermusik (angklung, rampak gendang, band), dan
keterampilan lainnya.
Berbagai
fasilitas seperti kegiatan beserta ruangannya memang tersedia di sini. Tidak
hanya ruangan kantor para petugas LPKA dan kelas-kelas sekolahan saja,
melainkan juga ada aula untuk keperluan acara, ruang komputer, ruang pesantren,
ruang pengelasan, ruang penyablonan, ruang perbengkelan, ruang koperasi, ruang
pencukuran rambut, ruang makan beserta dapurnya, ruang hasil karya keterampilan
Andikpas, ruang perpustakaan yang diberi nama Rupin alias Rumah Pintar, sampai
ruang kesehatan yang biasa disebut Poliklinik. Untuk kegiatan kerohanian, di
dalam sana terdapat gereja dan masjid. Apabila ada kegiatan perlombaan dan
olahraga, biasanya dilakukan di lapangan bola basket dan futsal yang sudah
tersedia.
Mulai
dari kegiatan keseharian hingga menu makanan beserta jamnya sudah terjadwal.
Segala hal benar-benar dilakukan tepat waktu sesuai jadwal yang telah
ditentukan. Setiap harinya, Andikpas dikeluarkan dari kamar pada pukul setengah
lima pagi, tepatnya pada saat azan subuh. Kemudian mereka dimasukkan ke dalam
kamar pada pukul setengah delapan malam, tepatnya setelah selesai salat isya
berjamaah di masjid. Selama mereka berada di luar kamar, seluruh kamar langsung
dikunci kembali oleh petugas yang berjaga. Tidak ada Andikpas yang diperbolehkan
berada di dalam kamar, sehingga mereka harus melakukan berbagai macam kegiatan
yang ada di LPKA.
LPKA
Tangerang memberikan pendidikan sebagai bentuk pembinaan terhadap Andikpas.
Dalam menjalani masa hukumannya, mereka para Andikpas tetap bisa melanjutkan
pendidikannya, bersekolah dan berprestasi. Tidak sedikit juga Andikpas yang
telah meraih prestasi, salah satunya pria bernama Putra (18). Pada bulan April
lalu, ia baru saja meraih peringkat IV dalam Technical Contest for Technical High School 2017. Ia berhasil mengalahkan
sekitar 52 lawannya di sekitar Jakarta dan Tangerang. Berkat prestasinya, ia
dihadiahi piagam, sertifikat, baju, dan sepatu.
Mengenakan
kemeja berlengan pendek berwarna oranye yang terdapat tulisan LPKA Tangerang di
bagian depan sisi kiri atas. Dengan gelang berwarna hitam bertuliskan Adidas di
pergelangan tangan kanannya. Tingginya sekitar 170 cm. Pria yang baru saja
meraih prestasi ini duduk di kursi salah satu gazebo, sambil menceritakan pengalaman
hidupnya selama berada di LPKA. Putra mengatakan bahwa, dirinya tertangkap
bersama dengan kakak laki-lakinya pada tahun 2015 lalu di rumahnya. Ia
kedapatan menyimpan sebanyak lima kilogram narkoba. Atas perbuatannya sendiri
sebagai pengedar narkoba yang berada di Golongan I, ia harus menerima hukuman selama
lima tahun penjara.
Saat
ditangkap, umurnya masih 16 tahun dan duduk di kelas 2 SMA. Awalnya ia dibawa
ke LP Salemba, namun hanya sekitar satu bulan saja, kemudian dipindahkan ke
Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang, yang kini namanya sudah ganti
menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak Pria Tangerang. Hingga saat ini, sudah
dua tahun lamanya ia berada di LPKA.
“Saya
benar-benar menyesal sama perbuatan yang udah saya lakukan. Saya sangat
bersyukur masih bisa melanjutkan sekolah di sini sampai lulus. Setelah keluar
dari sini, saya berencana ingin kuliah.” tutur Putra dengan sopan.
Pria
yang ingin berkuliah jurusan hukum ini mengatakan bahwa pendidikan adalah modal
dasar untuk masa depan. Baginya, pendidikan dapat dilaksanakan kapanpun dan di
manapun.
“Saya
di sini nggak cuma bisa sekolah. Tapi di sini saya bener-bener ngelakuin banyak
kegiatan yang belum pernah saya lakuin sebelumnya. Salah satunya mengikuti PKBM
bermusik, saya pilih bermain gitar. Tadinya saya gak bisa main gitar, tapi
sekarang udah bisa. Terus awalnya saya bener-bener gak bisa baca Iqra, apalagi
Al-Qur’an. Tapi di sini saya banyak belajar mengaji. Kasian ya, orang lain mah
belajar ngaji di pengajian, saya mah belajar ngajinya di LPKA. Hehehe…” tambahnya
sambil bersenda gurau.
No comments:
Post a Comment