DAVID CAESSARRE
00000011014
*suasana di basecamp R2 Natasya Tech ketika
didatangi untuk wawancara. Lokasi bengkel ini disekitaran stasiun serpong .
Suara bising dari sirine itu dan kelap-kelip
lampu biru dari strobo, membuyarkan
pikiran setiap orang disana. Dua buah mobil dan sebuah bis bertuliskan POLISI
dengan ditemani tiga mobil bak terbuka bertuliskan patroli, mendekat kearah
kerumunan yang dalam sekejap kehilangan fokus dan membuat mereka bergerak tanpa
berpikir. Entah berapa gelas kopi panas yang akhirnya tercecer di aspal karena
kepanikan itu. Aromanya naik seperti halnya kepanikan sang pembuat kopi, yang
mengandalkan sepeda motor dengan gerobak minuman dibelakangnya. Motor-motor
banyak yang terlihat sendiri tanpa kehadiran sang pemilik, karena ternyata
sudah ikut lari dengan orang yang belum tentu dikenalnya. Pemandangan itu
disaksikan jalan tol Jakarta-Merak, dan membangunkan pusat perbelanjaan seluas
7.8 hektare dengan tulisan @mallalamsutera yang mungkin sudah terlelap. Maklum
sudah pukul 01.09 WIB kala itu.
TMC Polda Metro Jaya memang sedang giat dalam
memberantas gangguan-gangguan Kamtibnas ( tawuran, geng motor, terorisme,
narkoba, ormas anarkis, begal, balapan liar) akhir-akhir ini. Penangkapan-penangkapan
pihak yang diduga menganggu kemanan masyarakat sedang kerap terjadi. Pasukan
demi pasukan diturunkan untuk mengawasi dan mengamankan masyarakat. Salah satu
pasukannya, telah membuat panik banyak orang di jalur Sogo ( belakang mall alam
sutera) yang telah menjadi sirkuit pembalap amatir untuk tunjuk gigi.
Banyak pembalap yang kebanyakan masih berusia antara lima belas hingga dua
puluh tiga tahun, mengatakan bahwa jalur Sogo memiliki banyak kelebihan dari spot
lain. Jalur yang panjang, mulus, dan belom dipasangi speed trap menjadi
penarik perhatian mereka. Memang masih ada jalur lain yang menjadi primadona
seperti halnya jalur BSD (didepan mall Q-Big) dan di dekat perumahan
Wonderland, tapi pemandangan lampu mobil yang melintas dijalan tol tidak akan
didapatkan di jalur lain.
Hal inilah juga yang membuat Indra, pria dua
puluh tahun dengan darah Jawa-Padang ini senang berkunjung kejalur Sogo.
Sesekali, ia datang bersama perempuan yang ia kenal dari facebook,
kadang juga ia datang dengan teman-teman sepermainan. Ia sering bernostalgia
bagaimana jalur ini mengangkatnya menjadi pembalap yang satu level diatas, dibandingkan mereka-mereka yang masih balapan
di Sogo. Asap rokoknya kali itu, membawanya terbang kemasa awal Indra sang
perantauan memacu motornya di kawasan Jabodetabek.
“ Kalau naik motor bobokan, udah mulai dari
smp,” tutur dia sambal menghisap rokok tak berfilter dengan dorongan kopi
hitam. Selama masa sekolah di Padang, ia telah mengenal motor-motor dengan
mesin yang tidak seharusnya, yang dapat menghasilkan tenaga yang tidak wajar.
Hal-hal seperti itu membuat pria ini jatuh hati dengan ganasnya adrenalin yang
terpacu dari kencangnya laju motor.
Semakin bertambah umur, sensasi yang ia
dapatkan lebih meningkat. Menggunakan motor orang lain untuk balapan dan
dibayar ketika menang membuat ia menekuni hal kesukaannya ini. “ Ketika ada
keinginan, jalanin dulu aje, jangan ditahan,” ungkapnya. Dia mengaku bahwa
kekalahan yang menyebabkan uangnya terkuras membuatnya semakin ketagihan untuk
terus balapan di jalur-jalur tertentu di Padang.
Beranjak dewasa, ia memutuskan untuk pergi ke
Jakarta, mencoba menjalani hidupnya jauh dari kenyamanan keluarga dan keramahan
daerah asal. Sempat luntang-lantung di jalanan Ibu Kota layaknya perantau tanpa
perencanaan di kota yang ditujunya, ia pun bekerja menjadi operator disalah
satu warung internet di Tangerang. Ia sadar bahwa relasi degan warga lokal
sangat dibutuhkan oleh perantau sepertinya. Ia berusaha menjadi orang yang
ramah dan membuka diri dengan sekitarnya agar hubungan dapat terjalin dengan
sekitarnya.
*indra dengan motor tunggangannya
Hasil tidak akan mengingkari proses ucapnya.
Setelah berusaha membuka diri dengan sekitar, dia mendapatkan seorang kenalan
yang tanpa sengaja bertemu di warnet dan kebetulan memiliki bengkel khusus
untuk motor yang akan digunakan untuk balapan liar. Merasa memiliki ketertaikan
yang sama, merekapun membangun hubungan kerja sama dengan asas hobi yang
dimilikinya. Indra pun memiliki aktivitas lain selain menjaga warnet setelah
pertemuannya dengan Lali ( bukan nama sebenarnya), yang ternyata salah satu
anggota dari Kepolisian Tangerang.
*bengkel R2 Natasya Tech
Lali memiliki
rumah tipe 36 didaerah Stasiun Serpong yang ia kontrak dari salah satu
haji di lingkungannya, dan rumah itu sengaja ia jadikan bengkel sekaligus basecamp
bagi kelompoknya. Tulisan berwarna hitam yang kelihatannnya menggunakan pilox
bertuliskan R2 Natasya Tech terpampang diatas rolling door yang
sudah lumayan rapuh. Nama itu diangkat
entah dari mana. “ Soalnya waktu itu gw lagi deket sama bocah namanya
Natasya. Jadi biar keliatan romantis gw buat jadi nama bengkel dah,” ujar Lali
sambil menggaruk rambutnya yang cepak khas anggota kepolisian itu.
Petualangan awal Indra dimulai ketika
kehadirannya diterima di bangkel itu. Indra yang tidak tahu apa-apa, dimana
posisinya sekrang, dan siapa saja yang ada dihadapannya, hanya bisa diam .
Mulailah perbincangan ringan masalah motor-motor khusus balapan di jalanan.
Dilain hari, kemampuan Indra di uji untuk memacu motor yang entah gabungan dari
berapa jenis. Nampak jelas rangkanya berbentuk motor-motor transmisi matic,
namun mesinnya sudah menggunakan mesin motor kelas 150 cc atau mungkin lebih.
Tanpa pengaman kepala, ia pacu motor itu hingga bara dari rokok dimulutnya
seakan membuat lintasannya sendiri. Pengalamannya membuktikan bahwa ia
berkualitas dalam hal-hal yang memang menjadi kesenangannya.
Hubungan yang terjalin dengan rekan-rekan
bengkel, Lali dan Indra bukan hanya sekedar hubungan di jalur ketika harus
bertaruh di lintasan, namun kemudian berkembang menjadi hubungan persaudaraan
diantara mereka. Indra pun akhirnya tinggal bersama-sama mereka di sebuah
kontrakan yang tidak bisa dikatakan luas, namun kehangatan antar penghuni
membuatnya selalu nyaman. Belasan asbak terlihat disudut-sudut ruangan, dan
entah berapa banyak bungkus rokok yang sudah menumpuk di sela-sela diatas pintu
utama. Dibeberapa sudut rumah, cat mulai kelihatan hitam, mungkin karena kotor
terkena abu rokok.
*motor-motor
yang biasa dipajang oleh bengkel R2 Natasya Tech
Hampir setiap malam, Indra dan yang lainnya
sering sekedar menjajar motor-motor hasil kreatifitas mereka disepanjang jalur
Sogo yang selalu penuh dengan ambisi para pembalap remaja tanggung itu. Hal
serupa juga dilakukan oleh kelomok dari bengkel-bgnkel lain dengan menjejerkan
karya mereka dan ditambah tegas dengan banner nama bengkel mereka.
Terlihat seorang remaja mendatangi barisan motor karya Indra dan teman-teman.
Dengan sopan ia berkata “ misi bang, mau maen motornya nggak?” Indra dan
teman-temannya meng iyakan ajakan remaja tersebut. Sembari memanaskan mesin
motor itu, iya menuntunnya ke garis start secara perlahan. Langkah demi
langkahnya menarik perhatian orang. Geraman motor itu membuat orang yang sedang
minum dan merokok menghentikan aktifitasnya. Empat motor yang sudah berbaris di
garis start kala itu, dan mereka siap untuk menabrak angin dan ketakutan
yang ada didepannya. Geraman kelima motor termasuk motor milik Indra dan
teman-teman semakin menambah getaran aspal. Seorang pemuda berkulit hitam
dengan kaos hitam polos bolong-bolong yang entah datang darimana kemudian
mengambil posisi disebelah motor paling kanan. Tanpa ada persiapan, kemudian ia
berteriak 1…..2……3….. Motor Indra dan ke empat motor lainnya melesat diikuti
asap yang keluar dari hasil pembakaran bensin dalam mesin. Garis finish menjadi
saksi bagimana galaknya motor yang dinaiki oleh Indra. Ketika ban motor
menginjak garis itu, Indra dan teman-teman senang bukan kebayang karena
setidaknya ada lima ratus ribu rupiah yang akan masuk kedalam kantung celana
mereka.
Memang demikianlah bagaimana proses balapan
liar terjadi. Dengan sopan dan bukan arogansi, penantang mendatangi orang-orang
disekitarnya untuk menguji motor mereka. Tapi masa-masa itu sudah berlalu dari
kehidupan Indra dan kawan-kawan. “ Sekarang kalo dipikir-pikir buat apa
ngumpulin recehan tapi resiko sama,” ujar Indra di bengkel menjelang sahur saat
itu.
Indra dan teman-teman sudah mulai memasuki
level yang lebih tinggi daripada anak-anak yang sekarang ada dijalur-jalur itu.
Dia mengatakan bahwa setidaknya ada tiga level dalam balapan liar. “ tahap
pertama tuh kayak gw dulu awal awal di Sogo, cuma dapet recehan,” ucapnya. Saat
ini Indra memang sudah tidak balapan seperti yang lainnya. Namun level Indra
dan teman-teman saat ini pada tingkatan “balapan ketika dipanggil”. Sekarang
mereka sudah tidak mau pergi beramai-ramai dan kemudian memajang motornya.
Mereka akan balapan apabila ada perjanjian terlebih dahulu dengan pihak lawan.
“lumayan bang, kalo gini sekali balap bisa dapetnya dua ribu sampe tiga ribu”
(ribu= juta). Hal inilah yang kemudian membuatnya keluar dari pekerjaannya di
warnet dan mulai fokus kepada bengkel dan balapan. Ketika mereka balapan by
appointment, segala sesuatu di persiakan dengan baik. Rekan-rekan dari
kedua bengkel akan sama-sama bekerja sama untuk menutup jalan demi kemanan
balapan. Namun bagaikan haram hukumnya untuk safety, mereka meninggalkan
helm dan baju yang aman untuk berkendara. “biasanya kalau balapan gitu sistem home
away bang. Jadi ibarat musuh di Taman mini, berarti kita balapan di Serpong
sekali, di Taman Mini sekali. Kalo seri kita cari tempat lain, biasanya di
Lebak Bulus,” ujar Lali yang pada saat itu berada di sebelah Indra. Balapan
paling tinggi menurut mereka adalah balapan drag race dengan berbagai
alat keamanan dan di jalur yang sudah dikhususkan. “ Kendalanya sponsor bang
kalo begitu, soalnya mahal daftar dan lain-lainnya,” namun memang hadiah yang
ditawawkan besar dan juga keamanan terjamin karena juga mereka menggunakan jasa
asuransi untuk balapan resmi.
*motor tunggangan Indra didorong oleh Lali dan diikuti oleh salah satu
rekan bengkel dan wanita kenalan Lali
Perbincangan itupun berlanjut hingga kurang
lebih pukul setengah tiga pagi. Salah satu rekan bengkel tiba-tiba memanaskan
motor tunggangan Indra, dan yang lain bersiap. Malam itu akan menjadi malam
dimana motor tunggangan Indra akan di atur ulang untuk jalur yang lebih
panjang. Segala peralatan dimasukan dalam tas hitam lusush namun berbahan
tebal. Sekarang, Indra bagaikan presenter dan reporter di TV ketika hendak
bertugas. Biasanya reporter TV akan keluar dari mobil SNG apabila persiapan
kamera sudah selesai dengan tujuan agar terlihat menawan dihadapan kamera dan
jutaan orang yang menonton. Sama dengan halnya Indra, ia tinggal duduk di motor
Vario 150 cc yang dikendarai temannya menuju jalur dimana mereka akan memulai
pengaturan. Semua peralatan sudah dibawa dan dipersiapkan. Tapi kemudian, motor
tunggangan itu bukannya berlari sendiri, tapi mesin dimatikan dan didorong oleh
motor lain dibelakangnya. Pemandangan ini sering kita jumpai dan ternyata
memang motor seperti itu tidal bisa untuk jalan santai dan jarak lebih dari
satu kilometer.
*Indra menjajal motornya setelah
di setting ulang oleh rekan bengkel. Foto diambil oleh Umair Rizaludin
Ketika mencobanya kelincahan motor itu di
jalan, semua orang terlihat sangat terburu-buru. Ketergesaan itu terlihat
seperti seorang yang baru bangun sesaat sebelum imsak. Ketakutan mereka muncul
bukan dari bayangan apabila Indra jatuh atau terluka, namun ketika mereka harus
lagi-lagi berurusan dengan polisi atau patroli. Mereka sering tertangkap,
begitu juga dengan pembalap jalanan lainnya. “ Bohong bang kalo gw dan yang
lain belom pernah urusan begitu,” suara Indra kecil karena termakan suara
berisik pembuangan motor itu. Mereka tidak jera karena hal itu, terbukti sudah
lebih dari lima kali Indra harus berusuran dengan pihak-pihak terkait. Ibarat
mudah datang dan mudah pergi, Indra mengibaratkannya bagaikan mudah ketangap
mudah lepasnya. “ Tinggal kasi rokok atau uang paling tiga ratus juga kelar mas,
apalagi kan ada itu si Lali” tambah Indra dengan suaranya yang masih kalah
dengan suara knalpot motor itu.
Meski sudah bisa dibilang satu level diatas
pembalap-pembalap lain di jalanan sana, ia mengaku kebanggannya ini tidak ia
ceritakan ke orangtuanya. Disatu sisi Indra merasa berdosa apabila ingat akan
harapan ibunya di Padang. “Dia minta untuk saya jaga diri dan tunjukan ke
orangtua kalau ia mampu hidup sendiri,”ucapnya ketika air mata nya sudah mau
melewati batas hidungnya. Memang lebih besar pendapatannya daripada harus duduk
diam didepan komputer menjaga setiap anak yang menggunakan jasa warnet entah
unutk tugas atau bahkan menonton hal-hal yang tidak wajar, namun hal itu malah
menjadi ketakutan untuk mengaku kepada ibunya ketika di telepon dan ditanya
“kerja apa sekarang? Sudah tidak balapan kan?”
.
No comments:
Post a Comment