TARI SANGEGO : ANTARA BUDAYA DAN PENDIDIKAN
Dimas Rangga Dynand
000 000 122 89
Tari Sangego
Ririn
sudah siap dengan kostum dan riasan wajah yang dibentuk sedemikian rupa oleh
pelatih tarinya. Baju gaun panjang berwarna kuning terang semata kaki dengan
dua helai kain tambahan berwarna hitam dan biru tua, dibalut dengan kain putih
di pinggulnya. Kain putih itu begitu panjang, bahkan bila direntangkan akan
melebihi tinggi badannya yang mungil. Kakinya melangkah hati-hati, matanya terus
mengawasi kain putih tadi agar tidak membuatnya tersandung kostum sendiri.
Ririn tidak berjalan sendiri, bersama 4 teman lainnya yang sudah menjadi teman
seperjuangan selama mengikuti ekstrakurikuler menari di sekolahnya, SMPN 6
Tangerang.
Mereka berjalan perlahan-lahan, menjaga pergerakan seminimal mungkin
sebelum tarian akhirnya akan dimulai. Hal ini dilakukan demi menjaga riasan
wajah mereka tetap utuh, tidak terbasuh oleh keringat yang dari tadi sudah
mengancam akan mengucur bila mereka terlalu banyak bergerak. Gaun, kain yang
kelewat panjang tadi, serta mahkota khas penari sunda yang ukurannya juga tidak
kecil melekat di kepala, tepat di atas rambut mereka yang bahkan sudah
disanggul dari pagi tadi. Melihat mereka akan tampil di tengah lapangan,
disinari matahari siang yang terik, wajar saja bila keringat menjadi ancaman
tersendiri.
Diantara
banyak siswi lain yang juga mengikuti ekstrakurikuler tersebut, kelima anak
belasan tahun ini berhasil memantapkan posisinya sebagai 5 penari terbaik yang
akan tampil di acara sekolah. Tulisan “Pentas Seni dan Olahraga SMPN 6 Tangerang”
terpampang di spanduk panjang di belakang mereka. Mereka didapuk sebagai
penampil puncak, untuk menutup rangkaian acara.
Kelima
siswi itu akhirnya sampai di tengah lapangan. Mereka berdiri diagonal, dengan
Ririn berdiri ditengah dikelilingi empat orang temannya yang sudah berlutut,
meninggalkanya berdiri sendirian. Tepuk tangan meriah dari siswa dan siswi lain
menjadi latar suara, sebelum akhirnya musik daerah khas sunda yang dimainkan
teman-teman pemusik, berdengung keras melalui pengeras suara yang tersebar
mengelilingi lapangan. Penonton pun diam, mata mereka tertuju penampil di
tengah lapangan.
Ririn
masih ingat ketika dia pertama kali menonton kakak kelasnya berlatih tari, saat
dia masih duduk di kelas 1 SMP. Senior-seniornya itu dia nilai begitu
mengesankan, begitu gemulai dan cantik, saat mereka menarikan tarian daerah
ditemani lantunan lagu tradisional dari tim musik gamelan SMPN 6 Tangerang. Di
kelasnya, saat mata pelajaran muatan lokal yang mengajarkan kearifan dan budaya
daerah, dia memang sudah diajari menari. Namun, menari di kelas yang hanya
sekali seminggu, tentu beda dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang. Ada
perbedaan semangat, fokus dan konsistensi untuk berlatih setiap hari dalam
kegiatan yang membuat dia memutuskan untuk bergabung dalam kegiatan tari
tersebut. Siapa sangka, bakat anak sunda tulen ini terbuka dan terasah di sana.
Setahun kemudian,dia dan 5 temannya yang memiliki kemampuan sama baiknya,
dipanggil khusus untuk menghadap guru tari sekolah mereka, Pak Haji Unus. Pria
berusia 50an yang memiliki gelar Keguruan Sastra dan Seni dari Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan itu memanggil 5 penari terbaiknya, khusus untuk
berlatih satu tarian baru, tarian yang menjadi buah pengamatan dan
pemikirannya, terhadap kondisi masyarakat daerah Tangerang. Saat itu, Ririn
belum tahu bahwa dia akan menjadi bagian sejarah sekolahnya. Dia, dan kelima
temannya akan menjadi lima orang pertama yang menarikan rutin tari yang nantinya
akan menjadi ikon SMPN 6. Rutin tari yang begitu orisinilnya, hingga menjadi
budaya baru Kota Tangerang. Disejajarkan dan disandingkan dengan budaya lainnya
di kota Tangerang yang sudah lebih dulu memiliki sejarah panjang. Rutin tari
yang pamornya akan bergema, hingga mengantar kelima penari tadi untuk tampil di
depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tari itu, dinamai Tari Sangego.
Masyarakat
Tangerang, adalah persatuan dari beberapa budaya, etnis, dan kegiatan. Budaya
Sunda, Jawa, Betawi, dan Tionghoa melebur menjadi satu. Semua masyarakat dari
berbagai keturunan etnis ini berkegiatan dan bergantung, atau setidaknya selalu
melewati sungai terbesar di Tangerang. Cisadane, yang sudah digunakan sejak
Kerajaan Padjajaran berdiri tentu amat historis bagi kota ini. Ci yang dalam
bahasa Sunda berarti sungai, dan Sadane yang dalam bahasa Sanskerta berarti
kerajaan. Mengalir dari dari anak sungai lereng gunung Pangrango dan Salak,
memalui wilayah yang dulunya menjadi pusat Kerajaan Padjajaran yang saat itu Berjaya
di Jawa Barat, hingga sampai di Kota Tangerang dan akhirnya berakhir di Laut
Jawa. Cisadane begitu berarti bagi warga sekitar dari masa ke masa. Selama
berabad- abad menjadi jalur yang dilalui para pedagang. Lalu lalang mereka
membawa berkah bagi warga sekitar sungai. Lalu lalang mereka juga menjadi akar
penyebaran budaya, tradisi, dan etnis, tergantung akan kapal dari daerah mana
yang melintas. Perlintasan kapal memang dari dulu menjadi sebab klise atas
sebuah kota yang begitu majemuk. Hingga sekarang, Cisadane masih menjadi
sesuatu yang begitu ikonik bagi Tangerang.
Sungai
yang memecah daratan, harus disatui oleh jembatan. Dari banyaknya jembatan yang
dibangun, Sangego adalah salah satunya. Sangego saat ini, menjadi salah satu
jembatan yang paling penting dalam menyambung bumi Tangerang yang dibelah Sungai
Cisadane tersebut. Atas filosofi ini, dibentuklah Tari Sangego, sebagai wujud
dan gambaran majemuknya Kota Tangerang, namun tetap memiliki kepentingan dan
akar yang sama. Tarian yang memuji jembatan Sangego sebagai penghubung daratan,
penghubung etnis dan budaya, dan penunjang kegiatan masyarakat Tangerang.
Gerakannya pun menggambarkan kegiatan sehari-hari. Contoh saja, gerakan
mengambil dan menuang air,dari dan ke sungai. Kain putih panjang yang dipakai
Ririn tadi bukan tanpa sebab, melambangkan Sungai Cisadane mengalir panjang,
namun tidak bisa dilepaskan dari badan warga Tangerang. Gaun kuning, kain hitam
dan kain biru tua, menjadi gambaran peleburan budaya.
Ririn
dan teman-temannya kini melenggok-lenggokkan pinggang ke kiri dan ke kanan,
diikuti tangan kanan yang mengayun atas ke bawah. Tangan kiri mereka, kini
sibuk membawa selembar kain putih yang jauh lebih besar dari kain putih yang
mereka pakai. Ririn perlahan mundur ke belakang, meninggalkan teman-temannya
yang kini membentangkan kain tersebut ke tanah, kemudian
menggoyang-goyangkannya hingga menyerupai air yang mengalir di sungai. Ririn
kemudia naik ke tengah kain tersebut, sambil berkacak pinggang, kemudian menari
sendirian, sebelum akhirnya mengundang empat penari lainnya untuk berdiri dan
kembali mengikuti gerakannya. Dari situ, tempo tarian tiba-tiba berubah menjadi
cepat. Gerakan khas Jaipong, kemudian diikuti gerakan khas Lenong Betawi,
dilakukan dengan cepat namun tetap gemulai dan kompak. Setelah itu tempo
diturunkan kembali. Kali ini, gerakan khas Jawa menjadi ornament utama dalam
tarian mereka. Terkesan ayu, dan lembut. Begitu juga musiknya, mengiringi para
penari dari tempo cepat hingga lambat, tanpa cela. Lantunan music terdengar
begitu sempurna seakan-akan dimainkan langsung oleh pemusik-pemusik lama yang
berpengalaman.
Bisa
terlihat totalitas dari para penampil, serta individu-individu yang menopang
dari belakang. Terpancar akar seni dari sebuah institusi, bukan hanya keinginan
sesaat dari SMPN 6 untuk tiba-tiba menampilkan kesenian. SMPN 6, memang jagoan
seni.
“Bisa
ditanya ke alumni dari tahun 90an, sampai sekarang. Mereka pas udah lulus dari
sini, harus bisa 3 tarian daerah minimal. Itu, yang di luar ekstrakurikuler
tari, ya” Kata bu Ratna, salah satu guru kepala bidang kesenian, bersama dengan
Pak Haji Unus pencipta Tari Sangego.
Ruang
kerja mereka amat berantakan. Persis di sebelah meja Bu Ratna, tergeletak
ratusan lembar kain di dalam plastik. Disampingnya, berkardus – kardus topeng
dan selendang terlihat menyembul. Sepertinya, peralatan dalam kardus sudah
selesai dipakai, yang masih di plastic masih menunggu untuk digunakan. Selain
itu, kaca besar dikelilingi kain perca bekas ditaruh tanpa tertata hamper memenuhi
semua ruas lantai ruangannya.
“Sekolah
kami memang total kalau urusan seni. Jangankan lima orang kami hias
habis-habisan, SMPN 6 pernah tampil seratus siswa di Taman Mini, kostum dan
rias, kami bikin dan sediakan semua gak
pake sewa-sewa” lanjutnya lagi menceritakan kegiatan seni di sekolahnya.
Kegiatan
menari di SMPN 6, menurutnya dimulai dari kepala sekolah pertama yang amat
menyukai seni. Awalnya, mata pelajaran muatan lokal diisi dengan mengajarkan
tari tradisional Tangerang , seperti Tari Sirih Kuning, dan Tari Lenggang
Cisadane. Namun, dengan banyaknya guru-guru yang ternyata juga menyukai seni,
kegiatan seni lainnya seperti gamelan juga ikut berkembang. Hingga akhirnya,
sekolah ini mulai terkenal karena kemampuannya memproduksi penari-penari yang
pantas diundang ke acara-acara besar. SMPN 6 bahkan sempat dipanggil untuk
menari di hadapan Menteri Pertanian, DPR, hingga Presiden RI ke tujuh, Joko
Widodo.
Melihat
fakta di atas, tepuk tangan berdiri pantas diberikan kepada institusi ini, yang
telah mengelevasi muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Tidak hanya mengikuti anjuran pemerintah untuk memasukan
unsur pendidikan budaya dalam muatan pengajarannya, SMPN 6 menciptakan suatu
lingkungan yang akhirnya menanamkan modal budaya dan kemampuan seni dalam diri
siswa-siswinya.
Sekolah,
memang seharusnya bukan sebatas institusi yang mengajarkan apa yang ada di
buku. Bukan hanya sebagai tempat terjadinya transfer pengetahuan eksakta dari
pengajar ke siswa, namun juga memindahkan pengalaman, pengetahuan akan
kehidupan, dan budaya ke anak-anak berseragam.
Mengunjungi
langsung sekolah menengah pertama di Tangerang ini, layaknya menonton film
barat berjudul “Freedom Writers”. Dalam film tersebut, Erin Gruwell, seorang
guru yang amat menyukai sastra, pindah mengajar ke salah satu sekolah dengan
persentase kejahatan tertinggi di Amerika Serikat. Disana, dia mulai mengajari
anak-anaknya untuk menulis. Tidak hanya
mengajarkan tata kata dan kalimat, dia juga mengajarkan siswa – siswinya untuk
memahami dirinya sendiri, lingkungan di sekitar mereka, apa yang mereka suka,
dan juga benci, kemudian menuangkannya ke dalam tulisan. Siswa – siswi nakal
yang awalnya bersikap melawan, akhirnya mulai menyukai sastra. Setiap masalah
yang ada dalam tiap insan muda dalam film tersebut, akhirnya mendapatkan sarana
untuk mengungkapkan keluh kesah mereka.
Pesan
moral dalam film tersebut, juga rasanya bisa didapatkan dalam sekolah SMPN 6
ini. Dimana guru-guru bisa dianggap sebagai Erin Gruwell, yang amat menyukai
seni, kemudian secara turun temurun mulai mengajarkan seni tari dan budaya
kepada tiap angkatan hingga akhirnya SMPN 6 menjadi terkenal akan keseniannya.
Memang naif rasanya bila menilai SMPN 6 bebas anak nakal. Namun, setidaknya
usaha memajukan pelajaran seni dan menyamakan kepentingan pelajaran sejenis
dengan pelajaran-pelajaran eksak, rasanya bisa mendorong minat siswa-siswi
untuk dengan suka rela dating ke sekolah, lalu menemukan jati dirinya sendiri
serta lingkungannya dalam proses belajar.
“Betul
sih, dulu kalau angkatan gue belajar
nari, bisa puluhan orang sekaligus. Latihan di lapangan pulang sekolah, tanpa
harus disuruh atau dibimbing guru tari.” Kata Delin, salah satu alumni SMPN 6
yang kini sudah duduk di bangku SMA.
Terkait
terkenalnya tari Sangego sekarang, sebagai ikon SMPN 6, para alumni yang
berhasil saya temui mengaku bangga dengan pamor sekolahnya tersebut. Beberapa
bahkan mengaku tidak kaget, karena kemampuan seni sekolah mereka memang sudah
tersohor dari lama.
“Bangga
banget. Pas liat Tari Sangego
terkenal di media social, gue langsung
like dan repost juga” lanjutnya lagi
dengan penuh semangat.
Ririn
dan teman-temannya kini sudah selesai tampil. Kain super panjang putih tadi
diangkat bersama-sama oleh kelima penari itu. Seraya mereka membungkuk memberi
salut kepada penonton, yang kemudian dibalas tepuk tangan oleh siswa-siswi lain
serta tamu undangan. Kelima penari cilik tersebut, baru saja menjadi bagian
dari terbentuknya ikon sekolah mereka. Menjadi bagian sejarah tarian baru kota
Tangerang, yang tentunya akan dipelajari dan diikuti oleh generasi-generasi di
bawah mereka. Bukan tidak mungkin, bertahun-tahun dari sekarang. Saat Tari
Sangego sudah sebesar nama Cisadane yang menjadi inspirasinya, saat tarian itu
sudah dijadikan tarian wajib SMPN 6, atau bahkan saat puluhan siswa berlatih
Sangego sepulang sekolah, tanpa disuruh guru tarinya, kelima siswi ini bisa
berbangga hati. Mengetahui selama masa pendidikannya, mereka menjadi bagian
sejarah budaya sebuah kota.
No comments:
Post a Comment