Friday 2 June 2017

TARI SANGEGO: ANTARA BUDAYA DAN PENDIDIKAN

TARI SANGEGO : ANTARA BUDAYA DAN PENDIDIKAN

Dimas Rangga Dynand
000 000 122 89

Tari Sangego



Ririn sudah siap dengan kostum dan riasan wajah yang dibentuk sedemikian rupa oleh pelatih tarinya. Baju gaun panjang berwarna kuning terang semata kaki dengan dua helai kain tambahan berwarna hitam dan biru tua, dibalut dengan kain putih di pinggulnya. Kain putih itu begitu panjang, bahkan bila direntangkan akan melebihi tinggi badannya yang mungil. Kakinya melangkah hati-hati, matanya terus mengawasi kain putih tadi agar tidak membuatnya tersandung kostum sendiri. Ririn tidak berjalan sendiri, bersama 4 teman lainnya yang sudah menjadi teman seperjuangan selama mengikuti ekstrakurikuler menari di sekolahnya, SMPN 6 Tangerang.


 Mereka berjalan perlahan-lahan, menjaga pergerakan seminimal mungkin sebelum tarian akhirnya akan dimulai. Hal ini dilakukan demi menjaga riasan wajah mereka tetap utuh, tidak terbasuh oleh keringat yang dari tadi sudah mengancam akan mengucur bila mereka terlalu banyak bergerak. Gaun, kain yang kelewat panjang tadi, serta mahkota khas penari sunda yang ukurannya juga tidak kecil melekat di kepala, tepat di atas rambut mereka yang bahkan sudah disanggul dari pagi tadi. Melihat mereka akan tampil di tengah lapangan, disinari matahari siang yang terik, wajar saja bila keringat menjadi ancaman tersendiri.
Diantara banyak siswi lain yang juga mengikuti ekstrakurikuler tersebut, kelima anak belasan tahun ini berhasil memantapkan posisinya sebagai 5 penari terbaik yang akan tampil di acara sekolah. Tulisan “Pentas Seni dan Olahraga SMPN 6 Tangerang” terpampang di spanduk panjang di belakang mereka. Mereka didapuk sebagai penampil puncak, untuk menutup rangkaian acara.
Kelima siswi itu akhirnya sampai di tengah lapangan. Mereka berdiri diagonal, dengan Ririn berdiri ditengah dikelilingi empat orang temannya yang sudah berlutut, meninggalkanya berdiri sendirian. Tepuk tangan meriah dari siswa dan siswi lain menjadi latar suara, sebelum akhirnya musik daerah khas sunda yang dimainkan teman-teman pemusik, berdengung keras melalui pengeras suara yang tersebar mengelilingi lapangan. Penonton pun diam, mata mereka tertuju penampil di tengah lapangan.
Ririn masih ingat ketika dia pertama kali menonton kakak kelasnya berlatih tari, saat dia masih duduk di kelas 1 SMP. Senior-seniornya itu dia nilai begitu mengesankan, begitu gemulai dan cantik, saat mereka menarikan tarian daerah ditemani lantunan lagu tradisional dari tim musik gamelan SMPN 6 Tangerang. Di kelasnya, saat mata pelajaran muatan lokal yang mengajarkan kearifan dan budaya daerah, dia memang sudah diajari menari. Namun, menari di kelas yang hanya sekali seminggu, tentu beda dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang. Ada perbedaan semangat, fokus dan konsistensi untuk berlatih setiap hari dalam kegiatan yang membuat dia memutuskan untuk bergabung dalam kegiatan tari tersebut. Siapa sangka, bakat anak sunda tulen ini terbuka dan terasah di sana. Setahun kemudian,dia dan 5 temannya yang memiliki kemampuan sama baiknya, dipanggil khusus untuk menghadap guru tari sekolah mereka, Pak Haji Unus. Pria berusia 50an yang memiliki gelar Keguruan Sastra dan Seni dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan itu memanggil 5 penari terbaiknya, khusus untuk berlatih satu tarian baru, tarian yang menjadi buah pengamatan dan pemikirannya, terhadap kondisi masyarakat daerah Tangerang. Saat itu, Ririn belum tahu bahwa dia akan menjadi bagian sejarah sekolahnya. Dia, dan kelima temannya akan menjadi lima orang pertama yang menarikan rutin tari yang nantinya akan menjadi ikon SMPN 6. Rutin tari yang begitu orisinilnya, hingga menjadi budaya baru Kota Tangerang. Disejajarkan dan disandingkan dengan budaya lainnya di kota Tangerang yang sudah lebih dulu memiliki sejarah panjang. Rutin tari yang pamornya akan bergema, hingga mengantar kelima penari tadi untuk tampil di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tari itu, dinamai Tari Sangego.
Masyarakat Tangerang, adalah persatuan dari beberapa budaya, etnis, dan kegiatan. Budaya Sunda, Jawa, Betawi, dan Tionghoa melebur menjadi satu. Semua masyarakat dari berbagai keturunan etnis ini berkegiatan dan bergantung, atau setidaknya selalu melewati sungai terbesar di Tangerang. Cisadane, yang sudah digunakan sejak Kerajaan Padjajaran berdiri tentu amat historis bagi kota ini. Ci yang dalam bahasa Sunda berarti sungai, dan Sadane yang dalam bahasa Sanskerta berarti kerajaan. Mengalir dari dari anak sungai lereng gunung Pangrango dan Salak, memalui wilayah yang dulunya menjadi pusat Kerajaan Padjajaran yang saat itu Berjaya di Jawa Barat, hingga sampai di Kota Tangerang dan akhirnya berakhir di Laut Jawa. Cisadane begitu berarti bagi warga sekitar dari masa ke masa. Selama berabad- abad menjadi jalur yang dilalui para pedagang. Lalu lalang mereka membawa berkah bagi warga sekitar sungai. Lalu lalang mereka juga menjadi akar penyebaran budaya, tradisi, dan etnis, tergantung akan kapal dari daerah mana yang melintas. Perlintasan kapal memang dari dulu menjadi sebab klise atas sebuah kota yang begitu majemuk. Hingga sekarang, Cisadane masih menjadi sesuatu yang begitu ikonik bagi Tangerang.
Sungai yang memecah daratan, harus disatui oleh jembatan. Dari banyaknya jembatan yang dibangun, Sangego adalah salah satunya. Sangego saat ini, menjadi salah satu jembatan yang paling penting dalam menyambung bumi Tangerang yang dibelah Sungai Cisadane tersebut. Atas filosofi ini, dibentuklah Tari Sangego, sebagai wujud dan gambaran majemuknya Kota Tangerang, namun tetap memiliki kepentingan dan akar yang sama. Tarian yang memuji jembatan Sangego sebagai penghubung daratan, penghubung etnis dan budaya, dan penunjang kegiatan masyarakat Tangerang. Gerakannya pun menggambarkan kegiatan sehari-hari. Contoh saja, gerakan mengambil dan menuang air,dari dan ke sungai. Kain putih panjang yang dipakai Ririn tadi bukan tanpa sebab, melambangkan Sungai Cisadane mengalir panjang, namun tidak bisa dilepaskan dari badan warga Tangerang. Gaun kuning, kain hitam dan kain biru tua, menjadi gambaran peleburan budaya.
Ririn dan teman-temannya kini melenggok-lenggokkan pinggang ke kiri dan ke kanan, diikuti tangan kanan yang mengayun atas ke bawah. Tangan kiri mereka, kini sibuk membawa selembar kain putih yang jauh lebih besar dari kain putih yang mereka pakai. Ririn perlahan mundur ke belakang, meninggalkan teman-temannya yang kini membentangkan kain tersebut ke tanah, kemudian menggoyang-goyangkannya hingga menyerupai air yang mengalir di sungai. Ririn kemudia naik ke tengah kain tersebut, sambil berkacak pinggang, kemudian menari sendirian, sebelum akhirnya mengundang empat penari lainnya untuk berdiri dan kembali mengikuti gerakannya. Dari situ, tempo tarian tiba-tiba berubah menjadi cepat. Gerakan khas Jaipong, kemudian diikuti gerakan khas Lenong Betawi, dilakukan dengan cepat namun tetap gemulai dan kompak. Setelah itu tempo diturunkan kembali. Kali ini, gerakan khas Jawa menjadi ornament utama dalam tarian mereka. Terkesan ayu, dan lembut. Begitu juga musiknya, mengiringi para penari dari tempo cepat hingga lambat, tanpa cela. Lantunan music terdengar begitu sempurna seakan-akan dimainkan langsung oleh pemusik-pemusik lama yang berpengalaman.
Bisa terlihat totalitas dari para penampil, serta individu-individu yang menopang dari belakang. Terpancar akar seni dari sebuah institusi, bukan hanya keinginan sesaat dari SMPN 6 untuk tiba-tiba menampilkan kesenian. SMPN 6, memang jagoan seni.
“Bisa ditanya ke alumni dari tahun 90an, sampai sekarang. Mereka pas udah lulus dari sini, harus bisa 3 tarian daerah minimal. Itu, yang di luar ekstrakurikuler tari, ya” Kata bu Ratna, salah satu guru kepala bidang kesenian, bersama dengan Pak Haji Unus pencipta Tari Sangego.
Ruang kerja mereka amat berantakan. Persis di sebelah meja Bu Ratna, tergeletak ratusan lembar kain di dalam plastik. Disampingnya, berkardus – kardus topeng dan selendang terlihat menyembul. Sepertinya, peralatan dalam kardus sudah selesai dipakai, yang masih di plastic masih menunggu untuk digunakan. Selain itu, kaca besar dikelilingi kain perca bekas ditaruh tanpa tertata hamper memenuhi semua ruas lantai ruangannya.
“Sekolah kami memang total kalau urusan seni. Jangankan lima orang kami hias habis-habisan, SMPN 6 pernah tampil seratus siswa di Taman Mini, kostum dan rias, kami bikin dan sediakan semua gak pake sewa-sewa” lanjutnya lagi menceritakan kegiatan seni di sekolahnya.
Kegiatan menari di SMPN 6, menurutnya dimulai dari kepala sekolah pertama yang amat menyukai seni. Awalnya, mata pelajaran muatan lokal diisi dengan mengajarkan tari tradisional Tangerang , seperti Tari Sirih Kuning, dan Tari Lenggang Cisadane. Namun, dengan banyaknya guru-guru yang ternyata juga menyukai seni, kegiatan seni lainnya seperti gamelan juga ikut berkembang. Hingga akhirnya, sekolah ini mulai terkenal karena kemampuannya memproduksi penari-penari yang pantas diundang ke acara-acara besar. SMPN 6 bahkan sempat dipanggil untuk menari di hadapan Menteri Pertanian, DPR, hingga Presiden RI ke tujuh, Joko Widodo.
Melihat fakta di atas, tepuk tangan berdiri pantas diberikan kepada institusi ini, yang telah mengelevasi muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Tidak hanya mengikuti anjuran pemerintah untuk memasukan unsur pendidikan budaya dalam muatan pengajarannya, SMPN 6 menciptakan suatu lingkungan yang akhirnya menanamkan modal budaya dan kemampuan seni dalam diri siswa-siswinya.
Sekolah, memang seharusnya bukan sebatas institusi yang mengajarkan apa yang ada di buku. Bukan hanya sebagai tempat terjadinya transfer pengetahuan eksakta dari pengajar ke siswa, namun juga memindahkan pengalaman, pengetahuan akan kehidupan, dan budaya ke anak-anak berseragam.
Mengunjungi langsung sekolah menengah pertama di Tangerang ini, layaknya menonton film barat berjudul “Freedom Writers”. Dalam film tersebut, Erin Gruwell, seorang guru yang amat menyukai sastra, pindah mengajar ke salah satu sekolah dengan persentase kejahatan tertinggi di Amerika Serikat. Disana, dia mulai mengajari anak-anaknya untuk menulis.  Tidak hanya mengajarkan tata kata dan kalimat, dia juga mengajarkan siswa – siswinya untuk memahami dirinya sendiri, lingkungan di sekitar mereka, apa yang mereka suka, dan juga benci, kemudian menuangkannya ke dalam tulisan. Siswa – siswi nakal yang awalnya bersikap melawan, akhirnya mulai menyukai sastra. Setiap masalah yang ada dalam tiap insan muda dalam film tersebut, akhirnya mendapatkan sarana untuk mengungkapkan keluh kesah mereka.
Pesan moral dalam film tersebut, juga rasanya bisa didapatkan dalam sekolah SMPN 6 ini. Dimana guru-guru bisa dianggap sebagai Erin Gruwell, yang amat menyukai seni, kemudian secara turun temurun mulai mengajarkan seni tari dan budaya kepada tiap angkatan hingga akhirnya SMPN 6 menjadi terkenal akan keseniannya. Memang naif rasanya bila menilai SMPN 6 bebas anak nakal. Namun, setidaknya usaha memajukan pelajaran seni dan menyamakan kepentingan pelajaran sejenis dengan pelajaran-pelajaran eksak, rasanya bisa mendorong minat siswa-siswi untuk dengan suka rela dating ke sekolah, lalu menemukan jati dirinya sendiri serta lingkungannya dalam proses belajar.
“Betul sih, dulu kalau angkatan gue belajar nari, bisa puluhan orang sekaligus. Latihan di lapangan pulang sekolah, tanpa harus disuruh atau dibimbing guru tari.” Kata Delin, salah satu alumni SMPN 6 yang kini sudah duduk di bangku SMA.
Terkait terkenalnya tari Sangego sekarang, sebagai ikon SMPN 6, para alumni yang berhasil saya temui mengaku bangga dengan pamor sekolahnya tersebut. Beberapa bahkan mengaku tidak kaget, karena kemampuan seni sekolah mereka memang sudah tersohor dari lama.
“Bangga banget. Pas liat Tari Sangego terkenal di media social, gue langsung like dan  repost juga” lanjutnya lagi dengan penuh semangat.
Ririn dan teman-temannya kini sudah selesai tampil. Kain super panjang putih tadi diangkat bersama-sama oleh kelima penari itu. Seraya mereka membungkuk memberi salut kepada penonton, yang kemudian dibalas tepuk tangan oleh siswa-siswi lain serta tamu undangan. Kelima penari cilik tersebut, baru saja menjadi bagian dari terbentuknya ikon sekolah mereka. Menjadi bagian sejarah tarian baru kota Tangerang, yang tentunya akan dipelajari dan diikuti oleh generasi-generasi di bawah mereka. Bukan tidak mungkin, bertahun-tahun dari sekarang. Saat Tari Sangego sudah sebesar nama Cisadane yang menjadi inspirasinya, saat tarian itu sudah dijadikan tarian wajib SMPN 6, atau bahkan saat puluhan siswa berlatih Sangego sepulang sekolah, tanpa disuruh guru tarinya, kelima siswi ini bisa berbangga hati. Mengetahui selama masa pendidikannya, mereka menjadi bagian sejarah budaya sebuah kota.

No comments:

Post a Comment