RUMAH BELAJAR IBU
SRIYATMO
Oleh : Angela Monica Harmanto
NIM : 00000010294
Tepat di seberang
rumah sakit rehabilitas kusta, di kompleks Sitanala, Kampung Kusta, Tangerang.
Terdapat lorong kecil lurus memanjang. Dekat dengan kali yang airnya kering. Di
ujung jalan, ada sebuah rumah mungil berukuran 13,5 x 12 m2. Tiang-tiang kayu
yang berdiri di setiap sudut membuatnya terlihat kokoh. Tembok dan pintunya berbahan
dari kayu, bukan semen. Lantai ubin yang bewarna putih mengkilap, membuatnya
terkesan rapih dan bersih.
‘Pos Belajar
Dutasia’ tulisan ini tertera pada papan putih tua terpampang di dalam ruang
tamu. Ruangan yang berisi dengan buku-buku, papan tulis, dan sebuah tikar kecil
sebagai alas untuk duduk. Di sudut ruangan terdapat sebuah warung kecil, jejeran
makanan ringan dan minuman sachet tergantung diseutas tali rafia, serta ada sebuah
kotak uang yang bertuliskan ‘bayar disini’.
Ibu Sriyatmo, seorang
ibu rumah tangga yang berumur 53 tahun, dengan tubuh mungilnya dan raut wajahnya
yang sedikit lelah, namun tidak menggubrisnya. Ia memang sengaja membuka warung
dalam rumahnya, untuk anak-anak dapat jajan disela waktu mereka belajar. Dengan
konsep warung membayar sendiri, ia ingin agar anak-anak menjadi sosok yang
memiliki kejujuran. Warung ini didirikan juga untuk menjadi salah satu penambah
rejekinya.
Pendidikan
menjadi amat mahal bagi mereka yang tak mampu. Sekolah
yang utama saja kadang tak terjangkau. Padahal bila melihat dari kurikulum
pendidikan negeri ini, tentu bagi sebagian anak, belajar di sekolah saja
tak cukup membuatnya paham dan menguasai materi pelajaran. Diperlukan les
tambahan yang mendukungnya. Namun, lagi-lagi biaya yang mahal untuk mengikuti
pelajaran tambahan di sebuah bimbel, membuat tempat itu hanya dipenuhi mereka
yang mampu secara finansial.
“Ibu, aku pingin
ikut les tambahan seperti teman-teman yang lain” ujar Aji
“Maaf nak, Ibu
tidak sanggup untuk membayarnya”
“Bagaimana kalau
Ibu yang ajarkan kamu saja?” tambahnya.
Awal dari permintaan
anaknya, karna biaya les tambahan cukup mahal, akhirnya belajar di rumah sendiri
menjadi alternatif terakhir. Hasil dari mengajar pun berbuah, anaknya meraih
prestasi di kelas. Hingga teman-teman sekolahnya ingin ikut belajar bersama di
rumahnya.
Sebelas tahun,
hampir setiap hari rumahnya diramaikan dengan anak-anak yang belajar setelah
pulang sekolah. Secara sukarela tanpa memungut biaya sedikit pun Ibu Sriyatmo
mengajar anak-anak dengan disiplin dan bertanggung jawab.
Menurut Ibu
Sriyatmo mendapat pendidikan yang layak adalah hak setiap anak. Namun, banyak
anak-anak yang tidak beruntung untuk memperolehnya. Mereka yang terlahir dalam
keluarga tak mampu dan harus mewarisi kemiskinan yang diturunkan oleh orang
tuanya.
“Pak, minta pak,
belom makan” ujar Farhan berkeliling di lampu merah.
Farhan yang duduk di bangku
kelas lima sekolah dasar, setiap pulang sekolah, ia harus menyusul orang tuanya
ke jalanan untuk mengemis.
Aji mengajak Farhan
ke rumahnya untuk belajar bersama dengan teman-teman yang lain. Hari pertama
Farhan ikut belajar, ibunya bingung, kenapa anaknya tidak menyusul ke lampu
merah. Siang hari berikutnya orang tuanya mencarinya kemana-mana.
“Oh jadi selama
ini lu disini”
“Emang kalo lu disini
dapet apaan? Hah?”
“Dapet ilmu bu” sahut
Farhan
“Mending lu kerja,
dapet duit, bisa jajan” teriaknya.
Hanya bisa diam, tidak
ingin ikut campur urusan keluarga orang lain, itu hal yang dilakukan Ibu.
Ketika melihat Farhan dibawa orang tuanya pulang. Seminggu setelah kejadian
itu, Farhan datang lagi. Ibunya tidak bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah
dari sekolah katanya. Teman-temannya juga membujuknya untuk belajar lagi
bersama. Tapi kalau dia mau belajar lagi di tempat saya, ibunya harus anterin
kesini. Nanti dimarahin lagi sama orang tuanya.
“Bu Sri, maafkan
saya” sambil menyalim tangan.
“Waktu itu saya
dan suami saya udah marah-marah”
“Saya titip anak
saya untuk belajar di rumah ibu ya”
“Kalau nakal,
marahin saja bu” tambahnya.
Meski gratis
tanpa bayar sepersepun, tetapi ada satu syarat yang harus dilakukan. Anak-anak
harus rajin, niat, dan juga disiplin kalau ingin belajar. Setiap mereka datang
untuk belajar, harus mengisi absen terlebih dahulu, jadi bisa dilihat siapa
yang paling malas untuk datang, nanti dikeluarin, tidak usah belajar disini
lagi.
Bila ada orang
yang berkelebihan peduli pada mereka yang kekurangan, tentu itu hal yang
lumrah. Namun, bila ada orang kekurangan yang peduli, tentu saja itu luar
biasa. Tentunya kebaikan pasti mendapat banyak sekali pujian dari orang-orang.
Tapi beda kasus dengan apa yang telah dilakukan oleh Ibu Sriyatmo untuk
mengajar anak-anak. Perbuatan tulus dan mulianya ini tidak berakhir dengan banjiran
pujian.
“Alah, rumah
belajar dia itu cuma buat jual nama anak-anak doang”
“Iya, bener tuh
biar dia dapet uang”
“Nak, jangan
belajar disana, nanti nama kamu dijual!”
Fitnah, cacian,
dan iri hati, yang diterima Ibu Sriyatmo. Semua hal itu membuatnya menjadi putus
asa untuk melanjutkan kegiata belajar di rumahnya. Anak-anak yang ingin belajar
pun, disuruh pulang dulu ke rumah masing-masing. Tidak usah datang dulu untuk
sementara waktu. Rumah itu menjadi sepi. Tidak terdengar lagi suara-suara
berisik yang mengisi kecerian. Begitu banyak pertimbangan hingga membuat
kondisi fisik Ibu menjadi tidak baik.
“Bu, ayo mulai
mengajar lagi”
“Kasihan kalau mereka
tidak belajar disini”
Pak yatmo memandangi
istrinya sedih “nanti mereka disuruh ngemis lagi”
Semula Pak Yatmo
tidak suka, suara berisik telah mengganggu waktu tidur siangnya. Seiring
berjalannya waktu, tanpa harus Ibu membujuk Bapak, hatinya ikut tergerak
sendiri. Suami yang memiliki kemiripan paras dengan istrinya, kata orang jodoh.
Pekerjaan yang serabutan dan tidak jelas, yang hanya menjadi seorang supir.
Menambah pikiran tetangga semakin negatif. Uang dari mana mereka bisa makan
sehari-hari, pasti dari jual nama anak-anak ke orang kaya.
Semangat dari
keluarga dan orang-orang sekitarnya yang mendukung, membuat hati Ibu Sriyatmo
kembali bersemangat. Memikirkan bagaimana nasib anak-anak nantinya, kalau tidak
ada tempat untuk belajar lagi. Pasti sehabis pulang sekolah anak-anak kerjanya
cuma main atau membantu orang tuanya cari uang di jalanan.
Semua tetangga pun
dikumpulkan di rumah Ibu RW. Berjam-jam berdiskusi, akhirnya diputuskan agar
kegiatan belajar dipindahkan ke pos yandu. Hanya bertahan satu tahun, Ibu
Sriyatmo mendapatkan kembali komplain dari tetangga yang tinggal di sekitarnya.
Menggunakan fasilitas dengan secara gratis, seharusnya bayar sewa, enak dong
kalau gratis, keluhan ibu-ibu disana. Serba salah solusi yang diberikan,
akhirnya rumah belajar kembali ke tempat awal.
“Saya cuma bisa
sabar aja, ikutin aja maunya apa”
“Lagian enakan,
belajar di rumah saya”
“Kalau di pos
yandu, jauh, saya harus bolak balik”
“Tapi saya
bangga, pos yandu yang temboknya rusak-rusak, di perbaikin sama anak-anak dari
Binus” senyum lebar Ibu Sriyatmo terlihat.
Terbantu dengan
mahasiswa dari Binus, membuatnya tidak kewalahan. Kenal dengan rektor dari
Binus yang sering datang, lalu mengajukan agar mendapatkan bantuan untuk
mengajar, dan telah disetujui. Anak-anak yang belajar disini cukup banyak
hampir 40 orang. Mulai dari anak SD hingga SMP. Biasanya waktu jam belajar
dibagi menjadi dua. Ada yang pagi dan siang hari. Kalau yang pagi itu untuk
anak-anak yang masuk sekolahnya pada siang hari, dan sebaliknya. Tapi kadang
malam hari sehabis magrib anak-anak juga ada yang belajar.
Ibu Sriyatmo,
senang jika dibantu. Anak-anak bisa dapat ilmu yang baru dari kakak-kakak
sukarelawan. Ia tidak ingin pendidikan yang diberikan hanya dapat dari dirinya
saja, yang memiliki ilmu terbatas. Anak-anak juga dapat belajar bersosialisasi
dengan orang-orang baru. Tidak hanya mencari ilmu, tapi bisa mendapatkan teman
baru tentunya.
Tidak hanya
kegiatan belajar, tiap tahun di hari kemerdekaan, tanggal 17 Agustus, pasti Ibu
dan Bapak selalu membuat kegiatan lomba untuk anak-anak. Meski hanya lomba di
kampung dengan hadiah yang sederhana. Namun, Ibu Sriyatmo senang bisa membuat
lomba-lomba dengan permainan yang seru dan menyenangkan untuk anak-anak.
Selain itu ada
juga ada kegiatan dari mahasiswa UPH dan Garuda Indones Airlines yang menjadi relawan. Mahasiswa UMN juga pernah memberikan
sepatu kepada anak-anak, Ibu pun juga kebagian. Anak-anak dapat nasi kotak
untuk makan siang, saya juga diberikan. Menurutnya rejeki berbuat baik itu
pasti ada dan akan diberikan oleh Tuhan.
Ibu Sriyatmo
memiliki pandangan hidup, bahwa apa yang di tanam itu yang akan di tuainya.
Dirinya percaya bahwa kebaikannya kepada anak-anak akan menghasilkan kebaikan
juga buat dirinya dan keluarganya. Hal itu pun terbukti, anak sulungnya
mendapatkan tawaran beasiswa dari Binus untuk kuliah. Demi mencapai cita-cita
anaknya untuk menginjak jenjang pendidikan yang lebih tinggi, Ibu Sriyatmo rela
berangkat jauh-jauh ke Binus, Jakarta. Mengisi data-data dan persyaratan
beasiswa. Hatinya senang jika kebaikannya yang tulus itu bisa membuat anaknya
mendapatkan pendidikan tinggi.
Tak lepas dari
kebaikan ada saja iri hati, yang menimbulkan kejahatan. Di Sitanala, banyak
warga yang ingin mendapatkan rejeki dengan mudah. Memajang papan nama “Yayasan
Belajar” dan sejenisnya di depan rumah. Namun nyatanya tidak ada kegiatan yang
sebenarnya terjadi. Hanya ingin mendapatkan donasi dari orang-orang
berkelebihan yang ingin berbagi. Ketika menjelang bulan puasa, langsung mereka
semua mencari banyak objek seakan-akan terjadi sebuah kegiatan belajar bersama.
“Kalo disini kan
memang benar ada kegiatan belajar”
“Saya tidak
pernah pajang papan nama di depan rumah, karena memang tempat ini bukan untuk
mendapatkan uang, tapi untuk mendapatkan ilmu” ujarnya.
Selama masih
mampu, rumah belajar ini akan terus didirikannya. Ibu Sriyatmo, yang juga
merupakan anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, PKK, memang senang
melakukan kegiatan sosial. Ia mengaku bahwa dia adalah orang yang sangat suka
berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain. Ia sangat bersyukur diberi
kesempatan masih bisa memberikan kontribusi ke orang lain. Meski kadang apa
yang dilakukannya sering di fitnah, tapi ia selalu bilang ke orang-orang “kalau
mau tau tentang saya, jangan tanya ke orang lain, Tanya ke saya langsung” ujarnya.
Karena jika tau dari orang lain, pasti ceritanya akan berbeda-beda dari
faktanya.
“Saya gak pernah
tuh berharap dapat imbalan, tapi banyak orang-orang yang suudzon” ujarnya.
Meski banyak cobaan untuk berbuat baik, tapi panggilan jiwa Ibu Sriyatmo untuk
memberikan ilmu kepada anak-anak membuatnya senang. Walau hidup pas-pasan, ia
lebih memilih memberikan pendidikan daripada uang yang jangka waktunya hanya
sebentar akan habis. Ia percaya bahwa segala sesuatu yang dilakukannya itu kelak
dapat berguna bagi anak-anak nantinya.
No comments:
Post a Comment