Thursday 1 June 2017

RUMAH BELAJAR IBU SRIYATMO

RUMAH BELAJAR IBU SRIYATMO

Oleh : Angela Monica Harmanto
NIM : 00000010294

 

Tepat di seberang rumah sakit rehabilitas kusta, di kompleks Sitanala, Kampung Kusta, Tangerang. Terdapat lorong kecil lurus memanjang. Dekat dengan kali yang airnya kering. Di ujung jalan, ada sebuah rumah mungil berukuran 13,5 x 12 m2. Tiang-tiang kayu yang berdiri di setiap sudut membuatnya terlihat kokoh. Tembok dan pintunya berbahan dari kayu, bukan semen. Lantai ubin yang bewarna putih mengkilap, membuatnya terkesan rapih dan bersih.


‘Pos Belajar Dutasia’ tulisan ini tertera pada papan putih tua terpampang di dalam ruang tamu. Ruangan yang berisi dengan buku-buku, papan tulis, dan sebuah tikar kecil sebagai alas untuk duduk. Di sudut ruangan terdapat sebuah warung kecil, jejeran makanan ringan dan minuman sachet tergantung diseutas tali rafia, serta ada sebuah kotak uang yang bertuliskan ‘bayar disini’.

Ibu Sriyatmo, seorang ibu rumah tangga yang berumur 53 tahun, dengan tubuh mungilnya dan raut wajahnya yang sedikit lelah, namun tidak menggubrisnya. Ia memang sengaja membuka warung dalam rumahnya, untuk anak-anak dapat jajan disela waktu mereka belajar. Dengan konsep warung membayar sendiri, ia ingin agar anak-anak menjadi sosok yang memiliki kejujuran. Warung ini didirikan juga untuk menjadi salah satu penambah rejekinya.

Pendidikan menjadi amat mahal bagi mereka yang tak mampu. Sekolah yang utama saja kadang tak terjangkau. Padahal bila melihat dari kurikulum pendidikan negeri ini, tentu bagi sebagian anak, belajar  di sekolah saja tak cukup membuatnya paham dan menguasai materi pelajaran. Diperlukan les tambahan yang mendukungnya. Namun, lagi-lagi biaya yang mahal untuk mengikuti pelajaran tambahan di sebuah bimbel, membuat tempat itu hanya dipenuhi mereka yang mampu secara finansial.

“Ibu, aku pingin ikut les tambahan seperti teman-teman yang lain” ujar Aji
“Maaf nak, Ibu tidak sanggup untuk membayarnya”
“Bagaimana kalau Ibu yang ajarkan kamu saja?” tambahnya.

Awal dari permintaan anaknya, karna biaya les tambahan cukup mahal, akhirnya belajar di rumah sendiri menjadi alternatif terakhir. Hasil dari mengajar pun berbuah, anaknya meraih prestasi di kelas. Hingga teman-teman sekolahnya ingin ikut belajar bersama di rumahnya.

Sebelas tahun, hampir setiap hari rumahnya diramaikan dengan anak-anak yang belajar setelah pulang sekolah. Secara sukarela tanpa memungut biaya sedikit pun Ibu Sriyatmo mengajar anak-anak dengan disiplin dan bertanggung jawab.

Menurut Ibu Sriyatmo mendapat pendidikan yang layak adalah hak setiap anak. Namun, banyak anak-anak yang tidak beruntung untuk memperolehnya. Mereka yang terlahir dalam keluarga tak mampu dan harus mewarisi kemiskinan yang diturunkan oleh orang tuanya.

“Pak, minta pak, belom makan” ujar Farhan berkeliling di lampu merah.
Farhan yang duduk di bangku kelas lima sekolah dasar, setiap pulang sekolah, ia harus menyusul orang tuanya ke jalanan untuk mengemis.

Aji mengajak Farhan ke rumahnya untuk belajar bersama dengan teman-teman yang lain. Hari pertama Farhan ikut belajar, ibunya bingung, kenapa anaknya tidak menyusul ke lampu merah. Siang hari berikutnya orang tuanya mencarinya kemana-mana.

“Oh jadi selama ini lu disini”
“Emang kalo lu disini dapet apaan? Hah?”
“Dapet ilmu bu” sahut Farhan
“Mending lu kerja, dapet duit, bisa jajan” teriaknya.

Hanya bisa diam, tidak ingin ikut campur urusan keluarga orang lain, itu hal yang dilakukan Ibu. Ketika melihat Farhan dibawa orang tuanya pulang. Seminggu setelah kejadian itu, Farhan datang lagi. Ibunya tidak bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah katanya. Teman-temannya juga membujuknya untuk belajar lagi bersama. Tapi kalau dia mau belajar lagi di tempat saya, ibunya harus anterin kesini. Nanti dimarahin lagi sama orang tuanya.

“Bu Sri, maafkan saya” sambil menyalim tangan.
“Waktu itu saya dan suami saya udah marah-marah”
“Saya titip anak saya untuk belajar di rumah ibu ya”
“Kalau nakal, marahin saja bu” tambahnya.

Meski gratis tanpa bayar sepersepun, tetapi ada satu syarat yang harus dilakukan. Anak-anak harus rajin, niat, dan juga disiplin kalau ingin belajar. Setiap mereka datang untuk belajar, harus mengisi absen terlebih dahulu, jadi bisa dilihat siapa yang paling malas untuk datang, nanti dikeluarin, tidak usah belajar disini lagi.

Bila ada orang yang berkelebihan peduli pada mereka yang kekurangan, tentu itu hal yang lumrah. Namun, bila ada orang kekurangan yang peduli, tentu saja itu luar biasa. Tentunya kebaikan pasti mendapat banyak sekali pujian dari orang-orang. Tapi beda kasus dengan apa yang telah dilakukan oleh Ibu Sriyatmo untuk mengajar anak-anak. Perbuatan tulus dan mulianya ini tidak berakhir dengan banjiran pujian.

“Alah, rumah belajar dia itu cuma buat jual nama anak-anak doang”
“Iya, bener tuh biar dia dapet uang”
“Nak, jangan belajar disana, nanti nama kamu dijual!”

Fitnah, cacian, dan iri hati, yang diterima Ibu Sriyatmo. Semua hal itu membuatnya menjadi putus asa untuk melanjutkan kegiata belajar di rumahnya. Anak-anak yang ingin belajar pun, disuruh pulang dulu ke rumah masing-masing. Tidak usah datang dulu untuk sementara waktu. Rumah itu menjadi sepi. Tidak terdengar lagi suara-suara berisik yang mengisi kecerian. Begitu banyak pertimbangan hingga membuat kondisi fisik Ibu menjadi tidak baik.

“Bu, ayo mulai mengajar lagi”
“Kasihan kalau mereka tidak belajar disini”
Pak yatmo memandangi istrinya sedih “nanti mereka disuruh ngemis lagi”

Semula Pak Yatmo tidak suka, suara berisik telah mengganggu waktu tidur siangnya. Seiring berjalannya waktu, tanpa harus Ibu membujuk Bapak, hatinya ikut tergerak sendiri. Suami yang memiliki kemiripan paras dengan istrinya, kata orang jodoh. Pekerjaan yang serabutan dan tidak jelas, yang hanya menjadi seorang supir. Menambah pikiran tetangga semakin negatif. Uang dari mana mereka bisa makan sehari-hari, pasti dari jual nama anak-anak ke orang kaya.

Semangat dari keluarga dan orang-orang sekitarnya yang mendukung, membuat hati Ibu Sriyatmo kembali bersemangat. Memikirkan bagaimana nasib anak-anak nantinya, kalau tidak ada tempat untuk belajar lagi. Pasti sehabis pulang sekolah anak-anak kerjanya cuma main atau membantu orang tuanya cari uang di jalanan.

Semua tetangga pun dikumpulkan di rumah Ibu RW. Berjam-jam berdiskusi, akhirnya diputuskan agar kegiatan belajar dipindahkan ke pos yandu. Hanya bertahan satu tahun, Ibu Sriyatmo mendapatkan kembali komplain dari tetangga yang tinggal di sekitarnya. Menggunakan fasilitas dengan secara gratis, seharusnya bayar sewa, enak dong kalau gratis, keluhan ibu-ibu disana. Serba salah solusi yang diberikan, akhirnya rumah belajar kembali ke tempat awal.

“Saya cuma bisa sabar aja, ikutin aja maunya apa”
“Lagian enakan, belajar di rumah saya”
“Kalau di pos yandu, jauh, saya harus bolak balik”
“Tapi saya bangga, pos yandu yang temboknya rusak-rusak, di perbaikin sama anak-anak dari Binus” senyum lebar Ibu Sriyatmo terlihat.

Terbantu dengan mahasiswa dari Binus, membuatnya tidak kewalahan. Kenal dengan rektor dari Binus yang sering datang, lalu mengajukan agar mendapatkan bantuan untuk mengajar, dan telah disetujui. Anak-anak yang belajar disini cukup banyak hampir 40 orang. Mulai dari anak SD hingga SMP. Biasanya waktu jam belajar dibagi menjadi dua. Ada yang pagi dan siang hari. Kalau yang pagi itu untuk anak-anak yang masuk sekolahnya pada siang hari, dan sebaliknya. Tapi kadang malam hari sehabis magrib anak-anak juga ada yang belajar.

Ibu Sriyatmo, senang jika dibantu. Anak-anak bisa dapat ilmu yang baru dari kakak-kakak sukarelawan. Ia tidak ingin pendidikan yang diberikan hanya dapat dari dirinya saja, yang memiliki ilmu terbatas. Anak-anak juga dapat belajar bersosialisasi dengan orang-orang baru. Tidak hanya mencari ilmu, tapi bisa mendapatkan teman baru tentunya.

Tidak hanya kegiatan belajar, tiap tahun di hari kemerdekaan, tanggal 17 Agustus, pasti Ibu dan Bapak selalu membuat kegiatan lomba untuk anak-anak. Meski hanya lomba di kampung dengan hadiah yang sederhana. Namun, Ibu Sriyatmo senang bisa membuat lomba-lomba dengan permainan yang seru dan menyenangkan untuk anak-anak.

Selain itu ada juga ada kegiatan dari mahasiswa UPH dan Garuda Indones Airlines yang menjadi relawan. Mahasiswa UMN juga pernah memberikan sepatu kepada anak-anak, Ibu pun juga kebagian. Anak-anak dapat nasi kotak untuk makan siang, saya juga diberikan. Menurutnya rejeki berbuat baik itu pasti ada dan akan diberikan oleh Tuhan.

Ibu Sriyatmo memiliki pandangan hidup, bahwa apa yang di tanam itu yang akan di tuainya. Dirinya percaya bahwa kebaikannya kepada anak-anak akan menghasilkan kebaikan juga buat dirinya dan keluarganya. Hal itu pun terbukti, anak sulungnya mendapatkan tawaran beasiswa dari Binus untuk kuliah. Demi mencapai cita-cita anaknya untuk menginjak jenjang pendidikan yang lebih tinggi, Ibu Sriyatmo rela berangkat jauh-jauh ke Binus, Jakarta. Mengisi data-data dan persyaratan beasiswa. Hatinya senang jika kebaikannya yang tulus itu bisa membuat anaknya mendapatkan pendidikan tinggi.

Tak lepas dari kebaikan ada saja iri hati, yang menimbulkan kejahatan. Di Sitanala, banyak warga yang ingin mendapatkan rejeki dengan mudah. Memajang papan nama “Yayasan Belajar” dan sejenisnya di depan rumah. Namun nyatanya tidak ada kegiatan yang sebenarnya terjadi. Hanya ingin mendapatkan donasi dari orang-orang berkelebihan yang ingin berbagi. Ketika menjelang bulan puasa, langsung mereka semua mencari banyak objek seakan-akan terjadi sebuah kegiatan belajar bersama.

“Kalo disini kan memang benar ada kegiatan belajar”
“Saya tidak pernah pajang papan nama di depan rumah, karena memang tempat ini bukan untuk mendapatkan uang, tapi untuk mendapatkan ilmu” ujarnya.

Selama masih mampu, rumah belajar ini akan terus didirikannya. Ibu Sriyatmo, yang juga merupakan anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, PKK, memang senang melakukan kegiatan sosial. Ia mengaku bahwa dia adalah orang yang sangat suka berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain. Ia sangat bersyukur diberi kesempatan masih bisa memberikan kontribusi ke orang lain. Meski kadang apa yang dilakukannya sering di fitnah, tapi ia selalu bilang ke orang-orang “kalau mau tau tentang saya, jangan tanya ke orang lain, Tanya ke saya langsung” ujarnya. Karena jika tau dari orang lain, pasti ceritanya akan berbeda-beda dari faktanya.

“Saya gak pernah tuh berharap dapat imbalan, tapi banyak orang-orang yang suudzon” ujarnya. Meski banyak cobaan untuk berbuat baik, tapi panggilan jiwa Ibu Sriyatmo untuk memberikan ilmu kepada anak-anak membuatnya senang. Walau hidup pas-pasan, ia lebih memilih memberikan pendidikan daripada uang yang jangka waktunya hanya sebentar akan habis. Ia percaya bahwa segala sesuatu yang dilakukannya itu kelak dapat berguna bagi anak-anak nantinya.


No comments:

Post a Comment