Thursday 1 June 2017

HIV/AIDS HIDUP DALAM STIGMA

HIV/AIDS HIDUP DALAM STIGMA



TJIN CINDY NEVADA GIOVANA YAMIN
00000009797



 “Jika masa lalu kita suram kenapa kita tidak perbaiki sekarang selagi Tuhan izinkan kita untuk bertahan hidup.” Ujar Lina, salah satu pendamping pasien pengidap HIV/AIDS. 

Baju biru, rambut kecoklatan setengah bahu ditemani dengan kalung putih berbentuk logam, dan wajah yang kuat hadir di siang hari.Tingginya sekitar 155 cm, duduk di kursi putih dengan bercerita pengalamannya mengenai penyakit yang hidup dalam tubuhnya yaitu HIV/AIDS. Dirinya terinfeksi mengidap HIV/AIDS di tahun 2009 dikarenakan penggunaan jarum suntik, namun bentuk fisik dan wajah tidak terlihat sama sekali bahwa dirinya mengidap penyakit ini. Pasien yang mengidap HIV/AIDS bentuk fisiknya selayaknya orang normal biasa. Bentuk kulit tidak berubah, cara bicara tidak ada yang berbeda, dan secara kasat mata akan tidak percaya bahwa orang tersebut mengidap penyakit ini.

“Sampai sekarang, saya sudah tidak merasakan apa-apa. Saya tidak merasa seperti orang sakit lagi, saya masih bisa bekerja dan berkarya, saya masih bisa menghidupi anak-anak saya, dan saya masih bisa menjadi pendamping para pasien.”

Menurut Lina, menjadi pendamping pasien pasti bisa membuat dirinya kembali mengingat betapa rapuhnya saat dahulu dia didiagnosa positif mengidap HIV. Namun, seiring berjalannya waktu dia menemukan kunci untuk mengalahkan rasa sakitnya HIV di sekujur tubuhnya, yaitu hanya dengan semangat.

“Jika kita memilih untuk sehat maka kita ikut anjuran dokter dan doa. Kalau kita mau hidup pasrah ya silahkan. Tapi sayang aja, jika kita positif HIV dan kita putus asa sementara banyak yang harus kita perbuat,” Ujar Lina.

Jika HIV bisa dikalahkan dengan semangat, lalu mengapa penyakit ini begitu menimbulkan stigma yang luar biasa? Apakah penularannya mudah? Tidak. Menurut Lina, penularan HIV/AIDS tidak semudah yang dibayangkan. Penularan yang dominan dihasilkan karena kontak darah dari pasien yang positif kepada orang awam yang negatif HIV. Anggap saja setiap darah yang keluar dari luka terbuka menjadi begitu mengerikan jika kita mengetahui bahwa itu orang yang positif HIV.Tapi, bentuk fisik layaknya normal tidak sakit apa-apa, bagaimana bisa?  Menurut wanita dengan tiga anak ini, jika pengobatan yang diberikan dapat dijalankan dengan rutin, patuh, dan disiplin saat mengkonsumsi nya maka kita selayaknya orang ‘sehat’. Namun bagaimana pengobatannya? Bagaimana mentalnya? Dan bagaimana rasanya?

Edukasi soal HIV/AIDS tidaklah mudah, singkatan dari Human Immunodeficiency Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit. HIV belum bisa disembuhkan, tapi ada pengobatan yang bisa digunakan untuk memperlambat perkembangan penyakit. Pengobatan ini juga akan membuat penderitanya hidup lebih lama, sehingga bisa menjalani hidup dengan normal. HIV/AIDS biasanya ditemani dengan penyakit penyerta atau yang biasanya disebut IO (Infeksi Oportunistik), IO pun bermacam-macam, seperti kandidiasis adalah infeksi jamur pada mulut, tenggorokan, atau vagina, Virus sitomegalia adalah infeksi virus yang menyebabkan penyakit mata yang dapat menimbulkan kebutaan, Pneumonia pneumocystis adalah infeksi jamur yang dapat menyebabkan pneumonia (radang paru), Toksoplasmosis adalah infeksi protozoa yang menyerang otak, Tuberkulosis (TB) adalah infeksi bakteri yang menyerang paru, dan dapat menyebabkan meningitis (radang pada sistem saraf pusat). Tidak hanya itu, kekebalan daya tahan tubuh atau yang disebut CD4 merupakan hal yang paling penting untuk diketahui. CD4 normal ada di angka 1500. Namun kebanyakan pasien yang pengidap HIV memiliki nilai yang kurang di bagian CD4 mereka. 

Gejala yang diderita oleh pasien juga cukup banyak, menurut Kusamana selaku RR yang mengurus segala pendaftaran pasien maupun obat-obat yang masuk, gejala umum yang dirasakan oleh pasien yang pengidap HIV adalah berat badan turun 10% dari berat normal, keringat panas dingin, basah semua badan, diare berkepanjangan kurang lebih sebulan, dan infeksi paru-paru. 

“Pasien akan mengalami gejala seperti itu, dan daya tahan tubuh pasien biasanya akan melemah, terkadang menyebabkan tidak bisa jalan, sehingga harus melakukan rawat inap, dan badan kurus kering.” Ujar Kusmana.

Pengobatan HIV/AIDS butuh langkah-langkah yang panjang. Jika pasien sudah terinfeksi HIV, maka mereka akan melakukan pengecekan laboratorium, seperti tes darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, hepatitis, hepatitis C, daya tahan tubuh dan ronsen paru-paru. Jika dibayangkan apa hubungannya ronsen paru-paru dibutuhkan jika kita memahami HIV dikarenakan seks bebas? semua yang ada di dalam tubuh harus diperiksa jika positif HIV.

“Setelah lengkap pasien kalo tidak ada IO (Infeksi Oportunistik) baru boleh minum ARV(Anti Retroviral), obat yang membantu untuk menekan virus agar virusnya tidak bangun. tapi HIV tidak bisa sembuh. Obat HIV harus diminum setiap hari seumur hidup,” Kata Kusmana.

Menurut data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kab. Tangerang, temuan kasus di tahun 2016 meningkat sebanyak 194% dari tahun 2015 dengan total 1213 kasus. Jika dibandingkan dengan tahun 2015, total temuan kasus hanya 981 kasus. Bisa dibayangkan semakin meningkatnya kasus yang menyangkut HIV/AIDS. Paparan umur yang menurut hasil survey dari <4 tahun - >50 tahun, kasus meningkat tajam ditemuan umur 25-49 tahun yaitu sebanyak 148 kasus dan didominasi oleh jenis kelamin laki-laki.

Penularan HIV/AIDS juga bermacam-macam, penularan seperti pengguna napza suntik (penasun), dari ibu kepada anak, melaui heteroseksual, dan LSL(Lelaki Suka Lelaki). Dilihat dari 31 kasus LSL (Lelaki Suka Lelaki) di tahun 2016. Gejala yang diterima tidak langsung dirasakan oleh penderita, jika daya tahan tubuh benar-benar menurun, maka saat itu pasien yang terinfeksi HIV dan tidak mengetahuinya akan merasakan drop di sekujur tubuhnya.

“Saya melakukan hubungan sejenis dari kelas 2 SMP, sekarang umur saya 50 tahun tapi sementara saya baru mengetahui bahwa saya positif HIV di tahun 2012, yaitu saat saya umur 45 tahun,” Ujar Solihin, pasien positif pengidap HIV dikarenakan hubungan sejenis.

Biasanya pasien tidak mengetahui kapan mereka sudah terkena HIV, mereka hanya mengetahui jika kondisi badan mereka sudah ngedrop dan baru mau melakukan pemeriksaan. Saat itu, mereka bisa didiagnosa bahwa positif HIV.

“Saya sebentar sakit demam terus sembuh hingga berulang-ulang sampai terakhir saya masuk rumah sakit karena saya diare selama 1 bulan. Kepala saya pusing, tidak ada nafsu makan, dan demam tinggi. Badan saya kurus kering hingga turun 7kg, dari 55kg sampai 48kg.”

Menurut Solihin, dirinya tidak pernah mengetahui dan tidak pernah berpikir bahwa akan terserang HIV karena semenjak kelas 2 SMP sudah berhubungan dengan sesama jenis kenapa baru merasakan drop yang luar biasa saat umurnya 45 tahun. Mengingat umurnya sudah cukup tua sehingga saat dirinya melakukan pemeriksaan ke rumah sakit, dirinya divonis dokter dengan jawaban yang menakutkan.

“Kamu terlalu tua untuk terkena HIV, umurmu tidak akan lebih dari satu bulan.”

Tidak terima dengan statusnya pasien positif HIV? otomatis menolak. Dirinya menangis hingga satu minggu, mengurung diri didalam kamarnya tanpa gangguan, mengambil cuti dari pekerjaannya dengan alasan demam, dan terus berhitung hari demi hari dengan CD4 yang nilainya hanya 4. Bayangkan dari CD4 normal 1500 dan sekarang CD4 nya hanya 4? Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana mentalnya?

“Saya memberitahu keluarga besar saya, dan hampir setiap detik setiap jam mereka selalu bertanya ‘bagaimana bisa?’. Saya selalu menjawab, ‘jangan ditanya karena saya sendiri tidak tahu.’ Dalam hati berucap bahwa karena hubungan sejenis, tapi jika diucapkan saya akan dijauhi keluarga.”

Lewat seminggu, setelah saya kembali dari terapi di rumah sakit, saya bertemu pendamping pasien yang juga positif HIV dan dia meyuruh saya untuk minum obat dengan teratur dan patuh kepada dokter jika ingin umur saya panjang. Sehingga saya melakukan hal tersebut dan saya merasa sudah disiplin untuk minum obat. Namun, efek samping obat itu mulai merusak tubuh saya.

“Pantat saya tepos, perut saya buncit, dan pipi saya cekung. Dan itu terasa sakit dan menganggu saya luar biasa,” Tambah Solihin.

Masih sama, Solihin terus berhitung hari demi harinya hingga tepat di satu bulan, dirinya pesimis dan bicara kepada seluruh keluarga besarnya bahwa dia pasang badan jika akan meninggal. Kulitnya muncul bintik-bintik hitam, tubuhnya masih kurus kering, wajahnya hitam pucat, dan menurutnya dia tidak akan bisa selamat. Lewat sebulan, lima bulan, hingga menuju setahun kondisi fisiknya mulai membaik. Tidak ada lagi pantat tepos, perut buncit, dan pipi cekung. Tidak ada lagi bintik-bintik hitam di kulit, badan kurus, dan wajah hitam pucat.

“Kalau ingin sembuh memang hal utama yang bisa dilakukan hanya menuruti kata dokter, minum obat yang disiplin, dan tidak melakukan hal yang sembarangan. Dan kalau sudah sehat tubuh kita tidak akan terlihat seperti orang sakit,” Ujar Kusmana.

Pulihnya kembali daya tahan tubuh Solihin tidak cukup untuk menghindari stigma yang ada di rekan kerjanya. Setiap Solihin ingin meminum obat, dirinya selalu bilang bahwa ini adalah vitamin tubuh untuk menjaga daya tahan tubuhnya. Seluruh merek obat yang dia bawa dicabut dengan alasan dirinya tidak ingin diketahui bahwa dia adalah pasien pengidap HIV.

Pernah seketika, saat saya sedang makan bareng bersama teman-teman kerja dan saya minum obat, mereka bertanya kepada saya ‘Kenapa sih minum vitamin secara terus-menerus? Vitamin kan diminum kalau badan lagi kurang sehat saja.’ Dan pada saat itu semua teman saya menganjurkan saya untuk ganti vitamin karena menurut mereka vitamin yang dikonsumsi terus-menerus bisa menimbulkan efek samping yang tidak baik dan bahaya jika membuat ketergantungan dengan mengkonsumsi terus-menerus, tambahnya.

“Ya saat itu saya bilang saja bahwa sebenarnya saya sakit kanker otak, dan ini obatnya. Sehingga saya harus minum ini terus-menerus. Jadi sampai sekarang, teman-teman saya tahunya bahwa saya sakit kanker otak bukan HIV,” Ujar Solihin.

Alasan tersebut diambil karena Solihin tidak ingin rekan-rekan kerjanya menjadi jaga jarak atau bahkan menjauhi dirinya seperti yang dilakukan seluruh rekan kerjanya saat pertama kali dia didiagnosa HIV di tempat kerjanya yang dulu. Dirinya dijauhi oleh orang sekitar, bahkan berjabat tangan pun mereka menolak.

“Padahal untuk penularannya HIV hanya bisa lewat kontak darah. Jika berpelukan, berjabat tangan, atau bersentuhan kulit pun tidak akan bisa melakukan penularan,” Tambahnya.

Menurut Solihin, bagi masyarakat awam HIV itu sesuatu yang sangat menakutkan. Sedangkan dirinya sudah tidak ada ketakutan sama sekali padahal dirinya adalah pasien yang positif HIV. "Kalau semua pasien bisa minum obat dengan disiplin, patuh, dan semangat untuk sembuh, kemungkinan besar nanti kita meninggal bukan karena HIV, tapi karena umur tua," Ujarnya.

No comments:

Post a Comment