Saturday 3 June 2017

BUKAN KARENA JAUH, TETAPI KARENA SEBUAH TEKAD

Martyasari Rizky - 00000012345


          Suku Baduy, Desa Cikesik di Banten              
     
       “ Klontang…klontang,” terdengar suara penanak nasi yang berbenturan dengan kompor batu di bilik dapur milik Kasmin. “ Jangan gaduh, tamu kita masih tidur,” ucapnya berbisik kepada sang istri menggunakan bahasa sunda kental.

         Tidak lama kemudian, suara ayam berkokok pun terdengar yang menandakan fajar menjelang. Sesaat setelah saya membuka mata, sarapan telah tersaji dengan rapih satu meter dari tempat saya berada, Kasmin beserta keluarga kecilnya sudah duduk dengan tenang menanti saya untuk menyantap sarapan bersama. “ mari dimakan, maaf kalau yang disajikan sedikit.” Ucap Kasmin sembari memberikan daun pisang sebagai alas makan pengganti piring. Pagi itu pun kami sarapan bersama dengan ditemani nasi serta lauk seadanya, ikan asin hasil bawa saya dari kota dan juga tempe yang belum cukup difermentasi.

        Jalanan desa yang beralaskan tanah, tidak ada aspal ataupun batu sedikitpun. Bilik-bilik rumah warga yang berjarak berdempetan, hanya ada sedikit ruang untuk berjalan. Suasana sunyi dan sepi walau di siang hari bolong, tidak ada suara anak-anak berteriak, bersorak sorai, ataupun bercanda. Hanya terdengar sedikit bisik-bisikan suara seseorang yang sedang berbincang dari bilik rumah mereka. Adat mereka-lah yang mengajarkan untuk diam, tidak berisik, dan juga tidak banyak omong. Sejak kecil mereka juga diajarkan untuk mandiri. Mereka juga harus sudah ikut ke ladang, walaupun umur terkadang masih sangat belia. Saya teringat saat diperjalanan kemarin, seorang anak lelaki dengan kisaran umur tujuh tahun berjalan mengikuti ayahnya dari belakang, sembari membawa dua bambu berisikan air, berjalan di medan berbukit yang tak jarang dengan tanjakan curam. Anak lelaki itu berjalan dengan diam tanpa eluhan kepada sang ayah, yang saat itu sedang membopong padi-padi hasil panennya di ladang.

         Saya berjalan menyusuri desa, berkeliling melihat-lihat bagaimana kondisi desa yang tidak ingin bersentuhan dengan peradaban, yang sudah diketahui di jaman modern seperti saat ini, ternyata masih ada suku yang melindungi kekentalan adatnya dengan sangat baik. Suasana desa yang hanya dipenuhi oleh bilik-bilik bambu, tidak ada sepedah sedikit-pun. Jika anak-anak balita di kota bermain sepedah roda tiga, berbeda dengan anak-anak balita di desa ini, mereka bermain dengan tongkat bambu panjang yang diberikan dua roda kayu dibawahnya serta bambu kecil sebagai pegangannya. Anak-anak tersebut terlihat mendorong bambu tersebut, layaknya sedang menaiki sepedah roda tiga, seperti anak-anak balita di kota. Ada juga beberapa remaja laki-laki yang baru saja pulang dari ladang, sembari memikul benih-benih padi. Tidak ada aktivitas negatif yang dilakukan remaja-remaja tersebut, seperti hal-nya yang kita tahu tidak sedikit tindak kejahatan di kota didalangi oleh remaja-remaja yang baru saja menginjak umur belasan tahun.

          Seorang wanita beumur tiga puluh lima tahun duduk di teras panggung rumahnya, bersama seorang pria berumur tiga puluh tujuh tahun yang diketahui suami dari wanita itu. Ia berbincang sembari mengunyah sirih di mulutnya. “ Permisi ibu bapak.” Sapa saya kepada dua pasangan tua tersebut. “ iya neng, masuk dulu sini mampir ke rumah ibu.” Ujarnya sembari bangkit dari duduk dan mempersilahkan saya masuk ke dalam bilik rumah mereka. Saya melihat ke sekeliling rumah, tampak ada yang berbeda dari rumah-rumah lainnya, rumah ibu diah ini tampak begitu ramai, banyak bahan-bahan pangan di sudut bilik rumah tersebut. “ mau ada upacara apa bu?.” Tanya saya penasaran kepada ibu diah.

“ Oh.. saya akan menikahkan putri kedua saya yang berumur tiga belas tahun.” Ujarnya menjawab pertanyaan saya sebelumnya.

“ dengan siapa bu kalo boleh saya tahu?,” Tanya saya kembali.

“ itu dengan anak teman saya, rumahnya itu yang tiga rumah dari kepala suku. Dari baru lahir kami memang sudah berjanji akan menikahkan anak kami, setelah mereka baligh.”

        Saya mengangguk paham, mengerti dengan apa yang dikatakan oleh ibu tersebut. Memang sudah dari dahulu kala pernikahan adat di suku ini, memang dilakukan saat sang wanita dan pria baru saja menginjak dewasa. Berbeda dengan tradisi di kota, yang malah kebanyakan akan mendapatkan cemoohan saat usia dini atau baru saja menginjak dewasa sudah mengikatkan janji pernikahan. 
Hari-pun sudah mulai senja. Saya-pun kembali ke bilik rumah milik kasmin. Satu obor sudah dinyalakan di dalam rumah tersebut. seperti yang sudah saya duga, makan malam sudah tersedia di sana. Kali ini hanya ada nasi sebakul dan juga lauk ikan asin, sangatlah sederhana. Saya mulai mengambil daun pisang,  yang sudah dibersihkan terlebih dahulu menggunakan kain lap, dibersihkan dari debu-debu kecil yang mungkin hinggap di daun tersebut. makan dalam suasana gelap, hanya ditemani oleh satu lampu obor yang bertengger di sudut bilik ini.

          Malam ini saya ditemani oleh alunan merdu suara jangkrik, serta samar-samar terdengar suara derasnya arus sungai. Tidak ada suara bising kendaraan bermotor, suara dari pengeras speaker masjid, suara seorang presenter di televisi, ataupun suara alunan musik dangdut dari tenda milik salah satu merek sepeda motor dari jepang yang cukup terkenal di Indonesia.  

“ apa pernah ada yang dikeluarin dari desa karna melanggar aturan adat sebelumnya?.” Dengan cukup penasaran akhirnya saya mulai bertanya kepada Kasmin.

Kasmin terlihat berpikir sejenak, “ pernah… tapi kebanyakan tidak sampai dikeluarkan, paling dipingit selama empat puluh hari. Tergantung dari berat tidaknya kesalahan mereka.”

         Malam itu-pun saya habiskan dengan berbincang, menggali lebih banyak informasi tentang suku ini. Satu hal yang baru saya ketahui, mereka bukanlah karena jauh dari peradaban modern, tetapi memang adat mereka lah yang tidak ingin bersentuhan dengan modernisasi. Bagi mereka yang tidak ingin mentaati aturan tersebut, mereka dipersilahkan keluar meninggalkan desa itu. Tanpa harus memberikan pengaruh-pengaruh negatif kepada warga yang lain. Adat mereka sangat melarang keras untuk bersentuhannya modernisasi dengan mereka. Kita sebagai tamu juga harus mentaati peraturan-peraturan yang ada, seperti tidak boleh mengambil gambar sembarangan di wilayah suku, dan juga kita tidak boleh mengenalkan bagaimana peradaban modern saat ini dengan sengaja. Kita tetap harus menghormati peraturan-peraturan adat yang sudah mereka jaga sejak nenek moyang mereka.

      Pagi ini menginjak hari ketiga saya di desa Cikesik. Hari ini merupakan hari terakhir saya mencari lebih jauh tentang bagaimana kehidupan di suku Baduy. Saya mengeluarkan handuk dan sesekali saya melirik sabun yang masih dengan rapih tersimpan di dalam ransel. Saya menggaruk punggung saya yang terasa gatal, karena sejak kemarin mandi tidak menggunakan sabun. Tidak diperbolehkan di desa ini untuk mandi atau melakukan hal lain di sungai menggunakan bahan kimia. Sangat dilarang keras, karena memang sumber kehidupan adalah air, mereka sangat menjaga kebersihan dan murninya air kali tanpa pencemaran dari bahan kimia.

“ sudah tahu kan perempuan pakai sungai yang di atas?.” Tanya Kasmin kepada saya.

Saya mengangguk, “ iya sudah tahu, kemarin juga sudah pergi ke sungai bareng si teteh (istri Kasmin).” 

      Saya berjalan menuju sungai sembari menjinjing tas kecil yang berisikan handuk serta baju. Sesampainya saya di sungai, sekiranya empat pasang mata memandang ke arah saya.

“ mau mandi neng?.” Tanya salah seorang wanita dengan kisaran umur empat puluh tahunan, yang sedang mencuci pakaian.

Saya lantas segera mengangguk, “ iya bu. Saya tidak mengganggu kan bu?”

“ ya tidak lah neng. Itu kalau mau mandi di balik pohon besar itu, ketutupan.” Ucapnya sembari meraih tangan saya, dan mengantarkan saya ke balik pohon besar yang ia tunjukan sebelumnya.

      Dari balik pohon, di atas batu, saya memperhatikan mereka yang sedang mencuci pakaian, banyak dari mereka yang sekiranya masih berumur belasan tahun. Tetapi mereka sudah sangat mandiri, memikul bakul-bakul yang berisikan pakaian habis cuci, dan bahkan ada juga yang sembari menggendong anak ataupun adiknya yang masih sangat kecil.  Gerakan tangan kuat mereka terus bergerak maju mundur, menggesekan pakaian dengan batu besar di sungai ini. Mereka mencuci dalam keadaan hamper diam dan sunyi, hanya ada suara derasnya arus sungai. Mereka hanya sesekali saja berbicara, kalaupun memang itu sangat diperlukan. Tidak bergosip ataupun membicarakan orang lain, seperti hal-nya yang terjadi dengan kebanyakan ibu-ibu rumah tangga lainnya, di luar dari suku ini. Demi menjaga solidaritas dan kekeluargaan antar penduduk suku ini, mereka memilih untuk diam, tidak membicarakan orang lain yang kemungkinan tidak ada saat waktu tersebut.

      Seusai saya dari sungai, saya bergegas kembali menuju rumah Kasmin. Merapihkan barang-barang, bersiap untuk pulang. “ ada sedikit beras hasil panen, dibawa pulang ya nanti.” Ucap istri kasmin dari bilik dapur sembari membawa sekarung beras untuk diberikan kepada saya. 

“ Gausah repot-repot teteh.” Saya melirik ke arah bakul berisikan gula-gula aren. “ itu gula aren teteh buat sendiri?.”

“ oh itu buatan ibu saya.” 

Sedikit ide cemerlang terpintas dalam benak saya, “ saya beli boleh ya teteh?.”  

        Untuk membayar dan membalas budi kepada keluarga Kasmin, yang sudah bersedia menampung saya selama tiga hari ini, saya berniat untuk membeli gula aren milik mereka. Karena mereka akan sangat sungkan jika langsung menerima uang sebagai balasannya, mereka lebih senang jika kita membeli hasil olahan mereka ataupun barang milik mereka. Akan dengan sangat senang hati mereka menerima bayaran hasil jualan barang milik mereka. 

“ wah ini gelasnya unik, saya boleh beli juga gak teteh?,” saya meraih gelas yang terbuat dari bambu dengan ukiran di pinggirnya untuk menghiasi tampilan gelas agar menarik. Terdapat ukiran seperti bentuk burung dengan sayap yang mekar terbuka lebar, serta terukir tulisan ‘ Baduy ’ di bawah ukiran burung tersebut. 

“ boleh, silahkan dipilih saja mau yang mana.” Ucapnya sembari tersenyum dan memberikan beberapa gelas lagi dalam bentuk yang berbeda-beda.

Dua gelas sudah saya amankan untuk dibawa pulang nanti, “ oh iya, teteh ada tas khas baduy tidak?.”

“ saudara saya punya, tunggu saya ambilkan dulu ya.”

     Teteh itu kembali dengan membawa tiga ukuran tas khas baduy yang berbeda. Ada yang berukuran besar, sedang, dan juga kecil. “ saya mau yang ukuran kecil deh teteh. Berapa semuanya teteh kalau dijumlah?.”

         Setelah berpamitan dengan Kasmin dan juga keluarganya, saya pulang keluar dari desa, dengan melewati bukit dengan tanjakan curam dan turunan terjal serta licinnya tanah karna terguyur hujan semalam. Dalam perjalanan, sembari saya menikmati pemandangan alam yang masih sangat dijaga kelestariannya, dalam benak saya terpikirkan, mereka tidak tersentuh modernisme bukan karena lokasi yang jauh dari peradaban, tetapi karena mereka memang ingin menutup diri. Maka dari itu kami sebagai sesama warga Indonesia, seharusnya bangga dan turut menjaga keabadian suku Baduy, di Banten ini.   





        

No comments:

Post a Comment