Harmonisasi dan Nuansa
Islami di Masjid Kalipasir di Tengah Kawasan Pecinan Pasar Lama
Joshua Christian-00000011963
Mendengar
nama Tangerang mungkin kebanyakan masyarakat hal yang terbayang pertama kali
adalah Cina Benteng, Pasar Lama dan lain-lain. Ya, memang, tidak hanya sebagai
pasar tradisonal rakyat dan wisata kuliner pada malam hari, kawasan Pecinan Pasar Lama juga terkenal di
lingkungan yang kental budaya Tionghoanya.
Kawasan
Pasar Lama merupakan kawasan Pecinan yang sudah ada lama sejak akhir tahun 1700.
Biasanya mereka beribadah di Klenteng Bon Tek Bio. Tak Jauh dari klenteng
tersebut, kira- kira hanya berkisar 100 meter jaraknya terlihat ada menara dan
kubah masjid berbentuk seperti pagoda cina. Luas masjid tak terlalu besar,
kalau menurut saya mungkin tak sampai 400 m2. Tepat di samping
masjid ada menara yang tinggi menjulang. Menara bewarna hijau dengan ketinggian
hampir 10 meter digunakan sebagai tempat untuk melaungkan azan, panggilan untuk
solat umat Islam.
Untuk
akses menuju ke masjid ini tidaklah mudah. Setelah memasuki gerbang biru
kawasan Pasar Lama, sekitar 200 meter disebelah kanan ada pasar tradisional.
Pasar tersebut lumayan kecil. Tak sampai 300 meter panjangnya. Jalanannya
becek. Hanya motor yang bisa masuk ke dalam. Meskipun kecil, apa saja bisa
didapatkan di pasar ini mulai dari ikan, cumi, kepiting, sayur-sayuranan
buah-buahan sampai bumbu. Setelah memasuki pasar, jalan terus sekitar 300
meter, sampai dapat gang masjid dan di sanalah Masjid Jami Kalipasir berada.
Masuk ke
dalam masjid, saya tidak menemukan siapapun. Tidak ada jamaah yang sedang shalat atau
marbot masjid yang sedang membersihkan masjid. Saya berusaha melihat siapa pun di
sekitaran masjid. Berusaha mencari orang yang bisa memberikan banyak informasi
mengenai masjid unik ini. Tepat di samping masjid, ada beberapa ibu-ibu yang
sedang nongkrong menikmati udara sore Tangerang. Saya coba permisi dan
menanyakan salah satu dari ibu tersebut. Singkat cerita, saya disuruh ke rumah
salah satu Dewan Kemakmuran Masjid(DKM) Kalipasir ini. Beberapa anak-anak,
mungkin ada tiga atau empat jumlahnya ikut menemani saya menuju rumah beliau.
Tak jauh berjalan, kira-kira hanya 100 meter jaraknya kami sudah sampai di
rumah beliau. Setelah mengetuk pintu dan menanyakan ada atau tidaknya beliau,
istri beliau mengatakan bahwa beliau sedang ke Bogor untuk menghadiri acara
nikahan keluarganya.
Berhubung
saya ingin mengulik lebih dalam tentang masjid ini, saya tidak hilang asa. Saya
meminta ibu tersebut untuk memberitahu siapa lagi yang bisa saya minta
keterangan nya mengenai masjid ini. “ Pak RT saja mas, rumahnya dekat juga kok
dari sini.” kata beliau sambil tangannya menunjuk arah rumah pak RT. Akhirnya,
saya menuju rumah pak RT yang memang tidak jauh juga dari masjid kalipasir ini,
hanya berjarak 10 rumah dari masjid. Setelah mengetuk pintu rumah dan
mengucapkan salam, akhirnya bu RT datang menghampiri kami dan tak lupa juga
membalas salam. Bu Siti namanya. Istri Ketua RT 01/04 Kalipasir. Postur
tubuhnya lumayan berisi. Rangka mukanya yang bulat menununjukkan keramahannya.
Usianya kira –kira 50 an tahun. “Bu, benar dengan rumah ketua RT ya buk. Bapaknya
ada buk?” tanya saya dengan penuh harap. “Bapak sedang keluar mas.” Jawab Bu
Siti. Akhirnya saya banyak bertanya-tanya tentang masjid Kalipasir itu dengan
Bu Siti. Saya dan Bu Siti berbincang-bincang di depan teras rumahnya ditemani
cuaca mendung dan angin berhembus lumayan cukup kencang.
Masjid
Kalipasir ini merupakan masjid pertama di Tangerang. Dibangun sejak tahun 1608
oleh pangeran Kahuripan Bogor, masjid ini diteruskan oleh keturunannya. Tumenggung
Aria Ramdhon, putranya Aria Tumenggung Sutadilaga, lalu Raden Aria Idar
Dilaga(Aria terakhir di Tangerang), kemudian diteruskan oleh Nyi Raden Djamrut
beserta suaminya Raden Abdullah sampai 1904 danditeruskan lagi oleh putranyha
Raden Jasin Judanegara. Setelah nama terakhir wafat, kepengurusan diteruskan
oleh masyarakat setempat.
Ada hal
yang unik dari masjid jami kalipasir ini. Di belakang masjid, terdapat beberapa
makam tua. Makam tua itu merupakan komplek makam para tumenggung yang
memerintah dan mengurus masjid dari generasi ke generasi. Dahulunya komplek
makam tersebut berundak-undak. Namun pada tahun 2000 karena terkena penggusuran
oleh tata kota Tangerang yang mengharuskan bantaran sungai dibatasi oleh beton
dan pembuatan jalan raya, maka tanah makam yang tergusur tersebut ditumpukkan
pada komplek makam yang tidak terkena gusur. Tidak hanya makam para raden dan
tumenggung pendiri masjid ini saja yang ada di makam ini,di sini juga terdapat
makam Bupati Tangerang R. Achmad Pena, beserta keluarganya. Ada juga terlihat seperti makam spesial di
belakang masjid jami kalipasir ini. Pasalnya, 2 makam tersebut dipagari dan
letaknya ditengah-tengah makam yang lainnya. Makam tersebut adalah makam Nyi
Guru Hj. Murtafiah beserta suaminya. Beliau semasa hidupnya pernah mendirikan
pesantren putri bernama Al Maslahat dan beliau merupakan seorang guru(Ustadzah
se-tangerang bahkan se-jawa).
Masjid yang berada di sebelah timur
sungai cisadane ini berukuran 280 m2 persegi. Karena masjidnya yang
terbilang kecil, masjid ini tidak diperuntukkan untuk ibadah shalat jumat. Ada
juga yang unik dari masjid ini. Jelas sekali terlihat bahwa arah kiblat masjid
jami kalipasir tidak sejajar dengan bangunan masjid. Ini tentu saja berbeda
dengan kebanyakan masjid modern sekarang yang bangunan masjidnya sudah
mengikuti arah kiblat. Bentuk mimbar yang mengarah ke kiblat dan adanya bedug
menjadi pelengkap masjid ini. Kubah
masjid berbentuk ukiran bunga mawar, terlihat seperti proses akulturasi antara
Islam dan Tionghoa. Sebenarnya, kubah masjid itu awalnya bewarna hitam yaitu berbahan
dasar dari tanah hitam (pasir karbala). Namun, karena bagian coraknya sudah
terkikis usia, sehinggga banyak bagian yang jatuh dan hampir jatuh, oleh karena
itu diwarnai dengan warna emas dengan harapan sederhana yaitu agar tidak
terlalu banyak bagian yang jatuh lagi. Arsitekturnya juga tidak ada mengadopsi
budaya Cina, jika memang mirip, itu hanya kebetulan saja.
Berpredikat
sebagai cagar budaya sejak tahun 2000, bangunan masjid juga sudah mengalami
perluasan dan perbaikan bebarapa kali dari tahun ke tahun sehingga tidak
terlihat lagi bahan aslinya, kecuali bagian mimbar dan tempat imam. Meskipun
demikian, walau mengalami beberapa perbaikan tapi bentuknya masih menyerupai
bentuk aslinya.
Saya
bertanya sedikit untuk mengetahui pendapat ibu Siti terhadap keberagaman
beragama saat ini. “ Bu, bagaimana masyarakat disini menjaga kerukunan beragama
saat ini.” tanya saya. “Ya, di sini, aman-aman aja ya. Tentram-tentram aja,
damai-damai aja. Meskipun daerah kawasan Pecinan tetapi saya yang sudah
bertahun-tahun tinggal disini tidak pernah ada konflik apalagi konflik agama di
kawasan daerah kita ini, di kawasan Pasar Lama ini.” ujar beliau dengan
semangatnya membagikan pengalamannya.
“Di sini
juga saling membantu ya, pihak klenteng juga sering membagikan sembako, beras
dan lain lain ketika sedang lebaran. Pokoknya kita saling bantu saja. Tidak
menggangu satu sama lain, tidak mengembuskan isu sara. Karena kita tahu ya isu
sara ini sangat sensitif sekali. Jika ada apinya sedikit saja, pasti semuanya menjadi
kacau. Ini yang terus dan memang harus kita jaga.” ujar beliau panjang lebar
dengan sesekali dengan napas terengah-engah sangking ekspresifnya.
Ada
empat tiang di dalam masjid yang menjadi penyangga masjid tersebut kokoh
berdiri. Letaknya tepat di tengah-tengah masjid. Terbuat dari kayu jati,
tiang-tiang tersebut kini telah disanggah oleh stainless steel. Ini
dilakukan karena salah satu dari empat tiang tersebut sudah tidak menempel ke
tanah, kurang lebih 15 cm.
Adapun
bentuk menara masjid yang dibangun tahun 1904, didirikan dan dibangun oleh
putra dari Raden Abdullah yaitu Raden Jasin Judanegara. Meskipun bentuk
menaranya terlihat seperti pengadopsian unsur kebudayaan antar etnis dan agama,
tetapi itu hanya kebetulan saja dan dibuat tidak mengadopsi kebudayaan manapun.
Pada tanggal 24 April 1959 sampai Agustus 1961 menara lama diperbaiki dan
dirombak oleh pengurus pembagunan saat itu diantaranya adalah H.Mtoha bin H.
Muhibi, Hasbullah Kadir bin R.Abdul Syukur Jasin, Nyai Guru Hj. Murtafiah Binti
KH. Asnawi, dan M. Badri AM. Di dalam masjid juga terdapat ukiran kaligrafi . Diantaranya
adalah ukiran kaligrafi nya berisi surat AL-AN’AM:192 : KATAKANLAH: SESUNGGUHNYA
SEMBAHYANGKU, IBADAHKU, HIDUPKU, DAN MATIKU, HANYALAH UNTUK ALLAH, TUHAN
SEMESTA ALAM. Meskipun sudah cukup lama ada, sekitar 49 tahun yang lalu namun
ukiran tersebut masih tetap terawat.
Di samping sejarah yang tersimpan
di dalamnya, Masjid Jami Kalipasir juga memiliki kebudayaan pada setiap
peringatan Maulid Nabi Muhamad SAW. Dewan Kemakmuran Masjid(DKM) dan para warga
kalipasir selalu melakukan arak-arakan(karnaval) perahu, yang dikeluarkan dari
masjid mengelilingi kampung sampai kembali lagi ke masjid yang kemujdian
dilanjutkan dengan pembacaan kitab syarofal anam. Perahu tersebut diberi nama
Safinatunnajah wasslamah yang artinya bahtera keselamatan dan perahu tersebut
berisikan buah-buahan serta cendera matadan perangkat ibadah.
Kebudayaan ini merupakan warisan
karuhun(leluhur) yang melambangkan datangnya Islam membawa cahaya keselamatan
di di dunia menuju akhirat. Perjuangan penyebaran Islam ini digambarkan dengan
perahu yang berarti perjalanan penyebaran Islam yang sebagian besar melalui
perairan.
Setelah berbincang cukup lama dan
juga sudah mulai maghrib, saya berpamitan dengan bu Siti dan berterima kasih
atas banyaknya pengetahuan yang saya dapatkan tentang masjid ini. Namun, saya
masih belum puas, sekitar 3 hari saya kembali lagi ke masjid ini untuk mewawancarai
Bapak Ahmad Sjairodji sebagai Ketua Dewan Kepengurusan Masjid Jami Kalipasir.
Mukanya ekspresif dan penuh kecewa saat menjelaskan peran pemerintah dalam
menjaga dan merawat kawasan masjid Kalipasir ini. Dahinya berkerut, dan
kepalanya langsung menggeleng ketika mendengar pertanyaan saya.
Berpredikat sebagai cagar budaya
sejak tahun 2000, tak menjadikan Masjid tertua di Tangerang ini mendapat
perhatian ekstra dari pemerintah. ”Perhatian pemerintah minim sekali, sangat minim,
bahkan hampir tidak ada. Disitulah hal yang memang saya sesalkan. Pemeliharaan
dan perawatan masjid, itu semuanya adalah dana swadaya warga Kalipasir.” Masalah
harmonisasi keagamaan, beliau juga setuju dengan Bu Siti. ”Dari dulu sampai
sekarang, alhamdulillah warga Kalipasir khususnya dengan tetangga, itu tidak
ada gesekan-gesekan SARA yang menjadikan suatu permusuhan agama.”
Agar nuansa
islami tetap kental terasa di tengah kuatnya budaya Tionghoa di kawasan Pecinan
Pasar Lama Tangerang ini, majelis Taklim secara rutin menggelar pengajian dan
dakwah islami yang menyejukkan hati. Ada juga taman pendidikan alquran yang
diadakan ketika petang menjelang.
No comments:
Post a Comment