Saturday 3 June 2017

Harmonisasi dan Nuansa Islami di Masjid Kalipasir di Tengah Kawasan Pecinan Pasar Lama



Harmonisasi dan Nuansa Islami di Masjid Kalipasir di Tengah Kawasan Pecinan Pasar Lama 

                
                                             Joshua Christian-00000011963

               Mendengar nama Tangerang mungkin kebanyakan masyarakat hal yang terbayang pertama kali adalah Cina Benteng, Pasar Lama dan lain-lain. Ya, memang, tidak hanya sebagai pasar tradisonal rakyat dan wisata kuliner pada malam hari,  kawasan Pecinan Pasar Lama juga terkenal di lingkungan yang kental budaya Tionghoanya.
               Kawasan Pasar Lama merupakan kawasan Pecinan yang sudah ada lama sejak akhir tahun 1700. Biasanya mereka beribadah di Klenteng Bon Tek Bio. Tak Jauh dari klenteng tersebut, kira- kira hanya berkisar 100 meter jaraknya terlihat ada menara dan kubah masjid berbentuk seperti pagoda cina. Luas masjid tak terlalu besar, kalau menurut saya mungkin tak sampai 400 m2. Tepat di samping masjid ada menara yang tinggi menjulang. Menara bewarna hijau dengan ketinggian hampir 10 meter digunakan sebagai tempat untuk melaungkan azan, panggilan untuk solat umat Islam.
                 Untuk akses menuju ke masjid ini tidaklah mudah. Setelah memasuki gerbang biru kawasan Pasar Lama, sekitar 200 meter disebelah kanan ada pasar tradisional. Pasar tersebut lumayan kecil. Tak sampai 300 meter panjangnya. Jalanannya becek. Hanya motor yang bisa masuk ke dalam. Meskipun kecil, apa saja bisa didapatkan di pasar ini mulai dari ikan, cumi, kepiting, sayur-sayuranan buah-buahan sampai bumbu. Setelah memasuki pasar, jalan terus sekitar 300 meter, sampai dapat gang masjid dan di sanalah Masjid Jami Kalipasir berada.            
               Masuk ke dalam masjid, saya tidak menemukan siapapun.  Tidak ada jamaah yang sedang shalat atau marbot masjid yang sedang membersihkan masjid. Saya berusaha melihat siapa pun di sekitaran masjid. Berusaha mencari orang yang bisa memberikan banyak informasi mengenai masjid unik ini. Tepat di samping masjid, ada beberapa ibu-ibu yang sedang nongkrong menikmati udara sore Tangerang. Saya coba permisi dan menanyakan salah satu dari ibu tersebut. Singkat cerita, saya disuruh ke rumah salah satu Dewan Kemakmuran Masjid(DKM) Kalipasir ini. Beberapa anak-anak, mungkin ada tiga atau empat jumlahnya ikut menemani saya menuju rumah beliau. Tak jauh berjalan, kira-kira hanya 100 meter jaraknya kami sudah sampai di rumah beliau. Setelah mengetuk pintu dan menanyakan ada atau tidaknya beliau, istri beliau mengatakan bahwa beliau sedang ke Bogor untuk menghadiri acara nikahan keluarganya.
                Berhubung saya ingin mengulik lebih dalam tentang masjid ini, saya tidak hilang asa. Saya meminta ibu tersebut untuk memberitahu siapa lagi yang bisa saya minta keterangan nya mengenai masjid ini. “ Pak RT saja mas, rumahnya dekat juga kok dari sini.” kata beliau sambil tangannya menunjuk arah rumah pak RT. Akhirnya, saya menuju rumah pak RT yang memang tidak jauh juga dari masjid kalipasir ini, hanya berjarak 10 rumah dari masjid. Setelah mengetuk pintu rumah dan mengucapkan salam, akhirnya bu RT datang menghampiri kami dan tak lupa juga membalas salam. Bu Siti namanya. Istri Ketua RT 01/04 Kalipasir. Postur tubuhnya lumayan berisi. Rangka mukanya yang bulat menununjukkan keramahannya. Usianya kira –kira 50 an tahun. “Bu, benar dengan rumah ketua RT ya buk. Bapaknya ada buk?” tanya saya dengan penuh harap. “Bapak sedang keluar mas.” Jawab Bu Siti. Akhirnya saya banyak bertanya-tanya tentang masjid Kalipasir itu dengan Bu Siti. Saya dan Bu Siti berbincang-bincang di depan teras rumahnya ditemani cuaca mendung dan angin berhembus lumayan cukup kencang.
                Masjid Kalipasir ini merupakan masjid pertama di Tangerang. Dibangun sejak tahun 1608 oleh pangeran Kahuripan Bogor, masjid ini diteruskan oleh keturunannya. Tumenggung Aria Ramdhon, putranya Aria Tumenggung Sutadilaga, lalu Raden Aria Idar Dilaga(Aria terakhir di Tangerang), kemudian diteruskan oleh Nyi Raden Djamrut beserta suaminya Raden Abdullah sampai 1904 danditeruskan lagi oleh putranyha Raden Jasin Judanegara. Setelah nama terakhir wafat, kepengurusan diteruskan oleh masyarakat setempat.     
               Ada hal yang unik dari masjid jami kalipasir ini. Di belakang masjid, terdapat beberapa makam tua. Makam tua itu merupakan komplek makam para tumenggung yang memerintah dan mengurus masjid dari generasi ke generasi. Dahulunya komplek makam tersebut berundak-undak. Namun pada tahun 2000 karena terkena penggusuran oleh tata kota Tangerang yang mengharuskan bantaran sungai dibatasi oleh beton dan pembuatan jalan raya, maka tanah makam yang tergusur tersebut ditumpukkan pada komplek makam yang tidak terkena gusur. Tidak hanya makam para raden dan tumenggung pendiri masjid ini saja yang ada di makam ini,di sini juga terdapat makam Bupati Tangerang R. Achmad Pena, beserta keluarganya.  Ada juga terlihat seperti makam spesial di belakang masjid jami kalipasir ini. Pasalnya, 2 makam tersebut dipagari dan letaknya ditengah-tengah makam yang lainnya. Makam tersebut adalah makam Nyi Guru Hj. Murtafiah beserta suaminya. Beliau semasa hidupnya pernah mendirikan pesantren putri bernama Al Maslahat dan beliau merupakan seorang guru(Ustadzah se-tangerang bahkan se-jawa).
                Masjid yang berada di sebelah timur sungai cisadane ini berukuran 280 m2 persegi. Karena masjidnya yang terbilang kecil, masjid ini tidak diperuntukkan untuk ibadah shalat jumat. Ada juga yang unik dari masjid ini. Jelas sekali terlihat bahwa arah kiblat masjid jami kalipasir tidak sejajar dengan bangunan masjid. Ini tentu saja berbeda dengan kebanyakan masjid modern sekarang yang bangunan masjidnya sudah mengikuti arah kiblat. Bentuk mimbar yang mengarah ke kiblat dan adanya bedug menjadi pelengkap masjid ini.  Kubah masjid berbentuk ukiran bunga mawar, terlihat seperti proses akulturasi antara Islam dan Tionghoa. Sebenarnya, kubah masjid itu awalnya bewarna hitam yaitu berbahan dasar dari tanah hitam (pasir karbala). Namun, karena bagian coraknya sudah terkikis usia, sehinggga banyak bagian yang jatuh dan hampir jatuh, oleh karena itu diwarnai dengan warna emas dengan harapan sederhana yaitu agar tidak terlalu banyak bagian yang jatuh lagi. Arsitekturnya juga tidak ada mengadopsi budaya Cina, jika memang mirip, itu hanya kebetulan saja.
               Berpredikat sebagai cagar budaya sejak tahun 2000, bangunan masjid juga sudah mengalami perluasan dan perbaikan bebarapa kali dari tahun ke tahun sehingga tidak terlihat lagi bahan aslinya, kecuali bagian mimbar dan tempat imam. Meskipun demikian, walau mengalami beberapa perbaikan tapi bentuknya masih menyerupai bentuk aslinya.
               Saya bertanya sedikit untuk mengetahui pendapat ibu Siti terhadap keberagaman beragama saat ini. “ Bu, bagaimana masyarakat disini menjaga kerukunan beragama saat ini.” tanya saya. “Ya, di sini, aman-aman aja ya. Tentram-tentram aja, damai-damai aja. Meskipun daerah kawasan Pecinan tetapi saya yang sudah bertahun-tahun tinggal disini tidak pernah ada konflik apalagi konflik agama di kawasan daerah kita ini, di kawasan Pasar Lama ini.” ujar beliau dengan semangatnya membagikan pengalamannya.
               “Di sini juga saling membantu ya, pihak klenteng juga sering membagikan sembako, beras dan lain lain ketika sedang lebaran. Pokoknya kita saling bantu saja. Tidak menggangu satu sama lain, tidak mengembuskan isu sara. Karena kita tahu ya isu sara ini sangat sensitif sekali. Jika ada apinya sedikit saja, pasti semuanya menjadi kacau. Ini yang terus dan memang harus kita jaga.” ujar beliau panjang lebar dengan sesekali dengan napas terengah-engah sangking ekspresifnya.  
               Ada empat tiang di dalam masjid yang menjadi penyangga masjid tersebut kokoh berdiri. Letaknya tepat di tengah-tengah masjid. Terbuat dari kayu jati, tiang-tiang tersebut kini telah disanggah oleh stainless steel.  Ini dilakukan karena salah satu dari empat tiang tersebut sudah tidak menempel ke tanah, kurang lebih 15 cm.
               Adapun bentuk menara masjid yang dibangun tahun 1904, didirikan dan dibangun oleh putra dari Raden Abdullah yaitu Raden Jasin Judanegara. Meskipun bentuk menaranya terlihat seperti pengadopsian unsur kebudayaan antar etnis dan agama, tetapi itu hanya kebetulan saja dan dibuat tidak mengadopsi kebudayaan manapun. Pada tanggal 24 April 1959 sampai Agustus 1961 menara lama diperbaiki dan dirombak oleh pengurus pembagunan saat itu diantaranya adalah H.Mtoha bin H. Muhibi, Hasbullah Kadir bin R.Abdul Syukur Jasin, Nyai Guru Hj. Murtafiah Binti KH. Asnawi, dan M. Badri AM. Di dalam masjid juga terdapat ukiran kaligrafi . Diantaranya adalah ukiran kaligrafi nya berisi surat AL-AN’AM:192 : KATAKANLAH: SESUNGGUHNYA SEMBAHYANGKU, IBADAHKU, HIDUPKU, DAN MATIKU, HANYALAH UNTUK ALLAH, TUHAN SEMESTA ALAM. Meskipun sudah cukup lama ada, sekitar 49 tahun yang lalu namun ukiran tersebut masih tetap terawat. 
Di samping sejarah yang tersimpan di dalamnya, Masjid Jami Kalipasir juga memiliki kebudayaan pada setiap peringatan Maulid Nabi Muhamad SAW. Dewan Kemakmuran Masjid(DKM) dan para warga kalipasir selalu melakukan arak-arakan(karnaval) perahu, yang dikeluarkan dari masjid mengelilingi kampung sampai kembali lagi ke masjid yang kemujdian dilanjutkan dengan pembacaan kitab syarofal anam. Perahu tersebut diberi nama Safinatunnajah wasslamah yang artinya bahtera keselamatan dan perahu tersebut berisikan buah-buahan serta cendera matadan perangkat ibadah.
Kebudayaan ini merupakan warisan karuhun(leluhur) yang melambangkan datangnya Islam membawa cahaya keselamatan di di dunia menuju akhirat. Perjuangan penyebaran Islam ini digambarkan dengan perahu yang berarti perjalanan penyebaran Islam yang sebagian besar melalui perairan.
Setelah berbincang cukup lama dan juga sudah mulai maghrib, saya berpamitan dengan bu Siti dan berterima kasih atas banyaknya pengetahuan yang saya dapatkan tentang masjid ini. Namun, saya masih belum puas, sekitar 3 hari saya kembali lagi ke masjid ini untuk mewawancarai Bapak Ahmad Sjairodji sebagai Ketua Dewan Kepengurusan Masjid Jami Kalipasir. Mukanya ekspresif dan penuh kecewa saat menjelaskan peran pemerintah dalam menjaga dan merawat kawasan masjid Kalipasir ini. Dahinya berkerut, dan kepalanya langsung menggeleng ketika mendengar pertanyaan saya.
               Berpredikat sebagai cagar budaya sejak tahun 2000, tak menjadikan Masjid tertua di Tangerang ini mendapat perhatian ekstra dari pemerintah. ”Perhatian pemerintah minim sekali, sangat minim, bahkan hampir tidak ada. Disitulah hal yang memang saya sesalkan. Pemeliharaan dan perawatan masjid, itu semuanya adalah dana swadaya warga Kalipasir.” Masalah harmonisasi keagamaan, beliau juga setuju dengan Bu Siti. ”Dari dulu sampai sekarang, alhamdulillah warga Kalipasir khususnya dengan tetangga, itu tidak ada gesekan-gesekan SARA yang menjadikan suatu permusuhan agama.”
               Agar nuansa islami tetap kental terasa di tengah kuatnya budaya Tionghoa di kawasan Pecinan Pasar Lama Tangerang ini, majelis Taklim secara rutin menggelar pengajian dan dakwah islami yang menyejukkan hati. Ada juga taman pendidikan alquran yang diadakan ketika petang menjelang.

No comments:

Post a Comment