Bayaran Sebuah
Pekerjaan
Oleh: Timotius
Oleh: Timotius
Henny (35) yang tengah mengajar
matematika kepada anak-anak kelas empat SD yang kurang mampu di tempat les Dutasia,Gandasari, Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten.
Sesekali wanita dengan
murah senyum itu mengelap keringatnya yang mengucur di dahinya dengan
pergelangan tangannya. Ia terus berusaha melantangkan suaranya yang tidak
sebanding dengan suara keramaian anak-anak disana.
Belum selesai dengan anak-anak yang menyibukkannya, beberapa anak lain terus berdatangan ke saung itu, saung yang berlantai semen dan beralaskan beberapa tiker yang serabutnya mulai rusak.
Belum selesai dengan anak-anak yang menyibukkannya, beberapa anak lain terus berdatangan ke saung itu, saung yang berlantai semen dan beralaskan beberapa tiker yang serabutnya mulai rusak.
Tempat ini selalu ramai didatangi anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan di sekolah formal. Anak-anak yang datang ke tempat ini ingin memiliki pendidikan dasar yang setara dengan apa yang ada di sekolah dasar pada umumnya.
Di tempat ini juga lah, wanita berumur tiga puluh lima tahun dengan keramahan dan kesabarannya berhasil merombak pekarangan rumah menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak masyarakat di sekitar kampungnya, Gandasari, Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten. Dengan inovasi tersebut, Henny banyak dikenal oleh warga sekitarnya.
***
Irwan Setiawan (20) telah selesai belajar Software Enginering. Matakuliah tersebut merupakan matakuliah dari bidang penjurusan Information and Technology (IT) yang membutuhkan waktu selama empat jam dan berakhir pada jam satu siang. Ia hanya memiliki sedikit waktu untuk makan siang sebelum harus berkumpul dengan kedua temannya pada jam setengah dua.
Setiap hari Senin Irwan memang selalu meluangkan waktunya untuk mengajar di tempat les Dutasia. Ia terlibat dalam sebuah organisasi yang bernama “Teach For Indonesia”. Organisasi mahasiswa ini berfokus pada bidang sosial, terutama untuk mengajar anak-anak yang kurang mampu.
“Sendirian wan? Si Dea mana?” Tanya Henry teman Irwan yang juga akan ikut mengajar di Dutasia pada hari itu.
“Iyah, dia bentar lagi ko katanya” Jawab Irwan setelah menyelesaikan suapan terakhir dari makan siangnya.
Tidak lama setelah itu Dea datang dan lengkap sudah pengajar tempat les yang merupakan mahasiswa lintas prodi dari Universitas Bina Nusantara di Alam Sutera.
Tepat pukul setengah dua, ketiga mahasiswa ini berangkat ke sebuah tempat les menggunakan sebuah mobil dan memerlukan waktu sekitar setengah jam supaya mereka sampai ke tempat itu.
***
“Ratih, kamu belum makan. Makan bareng aku ya?” Tanya Henny pada adiknya, sambil menyalakan api kompor.
Ia tau, bahwa adiknya yang mengalami gangguan mental tidak akan menjawabnya. Namun, ia tetap mengajak berbicara saudara kandungnya yang terus meneteskan air liur dari bibirnya.
Henny sedikit bingung, saat ia memanaskan sayur bening yang ia buat pagi tadi, ia melihat bahwa porsi sayur tersebut masih kurang untuk ia dan adiknya. Seperti biasa, ia pun akhirnya kembali mengambil mie instant untuk dimakan bersama apabila mereka tidak memiliki cukup lauk.
Siang itu mereka makan berdua bersama seperti biasanya, namun di malam hari mereka makan bertiga bersama sang Ayah. Saat siang hari, sang Ayah bekerja di pabrik swasta, tempat dimana Henny dulu juga bekerja di sana.
Senin, 22 Mei 2017, jam dua siang, setelah makan bersama adiknya, Henny bersiap untuk melakukan pekerjaan sampingannya. Ia mengambil karpet dan melebarkannya di saung yang tadinya adalah pekarangan rumahnya. Ia sadar bahwa karpet itu sudah seharusnya di bersihkan, namun ia baru saja kehilangan sapu lidi yang ia taruh didepan warungnya, sebagai sapu pembersih karpet.
Semenjak Henny meninggalkan pekerjaannya dari pabrik, ia mulai melanjutkan cita-citanya dengan membuat saung kecil-kecilan dari hasil tabungannya sendiri. Awalnya ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah kelurahan, namun ia merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerja yang ada di sana.
Sebenarnya, ia bisa saja memiliki kehidupan yang berkecukupan melalui penghasilan dari PNS. Namun, menurutnya, ia tidak bisa menerima uang yang didapat dari hasil yang tidak tulus. Ia sendiri masih mengingat, bagaimana ia dan teman-temannya dengan mudahnya untuk mendapatkan uang di kantor kelurahan tersebut. Hal ini dilakukan dengan permainan keuangan yang terkait fasilitas publik seperti biaya perbaikan jalan, alur pembuatan KTP, dan lainnya. Tak jarang ia mendapatkan 'tips', baik dari masyarakat maupun dari pihak swasta yang berhubungan dengan pihak pemerintahan.
Setelah merasa kurang cocok dengan sebuah sistem yang menurutnya kurang baik, ia melanjutkan karirnya ke sebuah pabrik. Secara finansial ia tidak memilik kendala saat ia berada di pabrik tersebut. Sebagai tim pengatur logistik barang, ternyata ia juga merasa tidak cocok dengan bidang tersebut.
Baginya, kehidupan di
pabrik membuat kehidupannya menjadi monoton. Hal tersebut terjadi karena ia
merasa ia bagaikan mesin yang tidak memiliki komunikasi yang berwarna dengan
lingkungan tersebut.
Hasilnya, Henny hanya bekerja selama dua tahun di pabrik
swasta tersebut.
Setelah itu semua, Henny
sadar bahwa kerja keras saja tidak cukup, ia harus menyertakan ketekunan pada
setiap bidang yang ia kerjakan. Ketekunan itu juga harus dibangun dengan rasa
suka dari dirinya sendiri.
Selain pembelajaran
itu, Henny juga menyadari keadaan perekonomiannya turun. Yang ia miliki
hanyalah sebuah rumah dengan pekarangan yang seluas lapangan futsal, sisa
peninggalan kerja kerasnya selama bekerja sebagai PNS dan sebagai buruh pabrik.
Dengan sedikit modal
yang tersisa, ia pun membangun warung di depan pekarangannya. Sedangkan, ia
sengaja menyisakan sisa pekarangan diantara warung dan rumahnya untuk dijadikan
sebagai wadah yang ia ingin salurkan semenjak dulu.
“Assalamualaikum. Selamat siang” Panggil
Henny dari depan gerbang saat mengunjungi salah satu rumah sederhana di
Jatiuwung.
Mendengar kedatangan
tamu, Candra (43) langsung merapihkan posisi peci yang mulai lepas dari
kepalanya, dan meninggalkan layar
komputernya saat ia sedang membaca surat perizinan kegiatan bakti sosial dari
mahasiswa Universitas Pelita Harapan.
Hari itu adalah hari pertama kalinya Henny berhasil mendapatkan dukungan
secara finansial. Ia telah mendaftarkan dirinya sebagai aktivis pengajar di
Yayasan Dutasia.
Yayasan tersebut adalah yayasan yang berkutik di bidang
pendidikan yang terkhusus kepada anak-anak yang kurang mampu. Walapun tidak seberepa,
Henny akhirnya bisa memulai cita-cita yang sesungguhnya. Ia mendapat tambahan
modal untuk membuat tempat belajar di sisa pekarangan milikinya di belakang
warung.
Hari itu merupakan hari yang tidak pernah ia lupakan, dimana sebuah
Yayasan yang sebenarnya minim sponsor untuk mendanai kegiatan yayasan tersebut,
bisa mendanai niat baik Henny.
Ternyata, dukungan secara finasial pun tidak cukup. Candra yang
merupakan salah satu pendiri Yayasan, masih harus memberikan pengawasan
terhadap perkembangan tempat les yang didirakn Henny.
“Sedihnya, warga disana yang mayoritas muslim, pernah menuduh kami memberikan
pengajaran aliran non-muslim kepada anak-anak yang kami ajar” cerita Candra
sambil sedikit tersenyum.
Ia menceritakan keadaan saat Henny didatangi oleh beberapa warga yang
ingin tau, dan menyangka bahwa selama enam bulan pertama berdirinya tempat les
itu, Henny mengajarkan aliran agama lain selain muslim.
“Saat mendapat SMS dari Henny seperti itu, saya langsung pergi ke tempat
les itu. Dan benar saja, Henny sedang dikelilingi beberapa warga yang langsung
melihat kearah saya pas saya datang” Candra sempat menyayangkan respon
warga terhadap niat baik Henny.
Mereka berdua akhirnya memanggil salah satu
anak yang pernah diajar mereka ke dalam obrolan tersebut. Anak tersebut
mengakui bahwa yang diajarkan oleh Henny adalah pelajaran layaknya seperti di
sekolah dasar seperti matematika, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris, dan IPA dan IPS. Forum diskusi tersebut akhirnya diakhiri
dengan keberhasilan Henny dan Candra mendapatkan kepercayaan dari warga sekitar
***
Mobil itu kesulitan memasuki gang-gang kecil yang berada di tengah padatnya pemukiman Jatiuwung. Dea yang merupakan pengajar pertama kalinya, merasa sedikit kaget dengan kondisi tersebut. Ia tidak menyangka, tadinya mereka melewati jalan disekitar Karawaci yang rapih, luas, dan asri, setelah masuknya mobil tersebut ke gang kecil, ia mulai bertanya kepada dua temannya yang sudah pernah ke tempat les Dutasia.
"Tempatnya dimana sebenarnya” tanya Dea dari bangku belakang kepada dua temannya yang berada didepan.
Mobil itu kesulitan memasuki gang-gang kecil yang berada di tengah padatnya pemukiman Jatiuwung. Dea yang merupakan pengajar pertama kalinya, merasa sedikit kaget dengan kondisi tersebut. Ia tidak menyangka, tadinya mereka melewati jalan disekitar Karawaci yang rapih, luas, dan asri, setelah masuknya mobil tersebut ke gang kecil, ia mulai bertanya kepada dua temannya yang sudah pernah ke tempat les Dutasia.
"Tempatnya dimana sebenarnya” tanya Dea dari bangku belakang kepada dua temannya yang berada didepan.
“Tempat yang engga
pernah lu kunjungin deh” ledek Irwan kepada temannya yang memiliki gaya cukup
modis itu.
Mobil itu akhirnya
berhenti di pinggir jalan, depan warung. Saat itu warga sekitar sudah tidak
kaget lagi, saat tempat itu didatangi mobil mewah bermerek Honda.
Sesampainya disana,
mereka menghampiri Henny yang sedang merapihkan tiker. Ketiga mahasiswa ini
langsung membantu mengambil beberapa tiker yang tersisa di depan pintu rumah
Henny, untuk langsung membentangkannya di lantai saung tersebut.
Anak-anak mulai berdatangan. Mereka datang dengan tas yang terlihat besar di punggungnya, lengkap dengan buku dan berbagai alat tulis didalamnya. Mereka langsung menghampiri Henny dengan kedekatan seolah wanita berkepala tiga itu adalah kaka kandung mereka.
“Ka, hari ini kita belajar apa?”
“Ka Henny, Dion gangguin aku.”
“Ka, pensil aku kemarin ketinggalan di sini.”
Henny sudah menyukai keputusan yang tekuni ini. Sore itu, sudah berkumpul lima belas anak-anak kelas satu sampai empat SD.
Anak-anak mulai berdatangan. Mereka datang dengan tas yang terlihat besar di punggungnya, lengkap dengan buku dan berbagai alat tulis didalamnya. Mereka langsung menghampiri Henny dengan kedekatan seolah wanita berkepala tiga itu adalah kaka kandung mereka.
“Ka, hari ini kita belajar apa?”
“Ka Henny, Dion gangguin aku.”
“Ka, pensil aku kemarin ketinggalan di sini.”
Henny sudah menyukai keputusan yang tekuni ini. Sore itu, sudah berkumpul lima belas anak-anak kelas satu sampai empat SD.
Henny juga sadar bahwa
kegiatannya untuk mengajar anak-anak tersebut tidak dapat menggerekan
perekonomiannya. Walaupun dia sendiri merupakan orang yang kurang mampu, namun ia
tetap mengajar anak-anak tersebut sebagai awal karirnya menjadi aktivis bagi
anak-anak yang kurang mampu.
Ia sangat hangat
sekaligus sabar dengan anak-anak yang dititipkan orang tua masyarakat selama
dua jam kedepan.
Sejauh ini, Henny sudah memiliki beberapa pencapaian yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh orang lain selain dirinya. Memasuki tahun ke-empat, tempat les itu sudah berhasil menjadi ajang kegiatan bakti sosial yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa dari Universitas di sekitar Tangerang.
Sejauh ini, Henny sudah memiliki beberapa pencapaian yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh orang lain selain dirinya. Memasuki tahun ke-empat, tempat les itu sudah berhasil menjadi ajang kegiatan bakti sosial yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa dari Universitas di sekitar Tangerang.
“Saya sendiri melihat
bahwa kegiatan kalangan menengah keatas lebih banyak bergerak karna kepentingan
komersil doang sih. Itu dia mungkin yang membedakan ka Henny dengan orang-orang
kalangan menengah keatas” kata Irwan saat menceritakan kondisi mahasiswa yang
pernah dituntut untuk melakukan kegiatan pengabdian sosial sebagai syarat
kelulusan.
Irwan menyadari bahwa ia masih menjadi tanggung jawab orang tuanya sebelum nantinya ia juga tergerus dengan kepentingan komersi. Ia semacam ketagihan dengan kegiatan sosial yang pernah ia lakukan.
Irwan menyadari bahwa ia masih menjadi tanggung jawab orang tuanya sebelum nantinya ia juga tergerus dengan kepentingan komersi. Ia semacam ketagihan dengan kegiatan sosial yang pernah ia lakukan.
Baginya, pembenahan tatanan masyarakat dapat
dilakukan dari pendidikan sejak usia dini. Namun,ia juga sadar bahwa jika Henny
melakukannya sendiri, hal tersebut akan berjalan secara lama. Alasan tersebutlah
yang mendorong Irwan untuk terus membantu orang-orang seperti Henny, dan
mengajak orang-orang seperti Dea. Dengan demikian, ia mewakili kalangan
menengah keatas yang memposisikan niat baik dirinya seperti Henny.
“Makasih Ka Henny.”
“Makasih Kak.”
“Makasih Kakak-Kakak, dadah Kak.”
Setengah jam sebelum Adzan, anak-anak sudah bisa bersalaman dengan ke-empat pengajar pada hari itu. Mereka berpamitan, Henny melihat anak-anak tersebut satu persatu keluar dari pekarangan rumah sampai menghilang di tikungan dekat warungnya. Seketika Pondok tersebut sepi bagai keheningan yang mengajak untuk merenung.
“Saya memang suka mengajar,” kata Henny sambil tersenyum.
“Makasih Ka Henny.”
“Makasih Kak.”
“Makasih Kakak-Kakak, dadah Kak.”
Setengah jam sebelum Adzan, anak-anak sudah bisa bersalaman dengan ke-empat pengajar pada hari itu. Mereka berpamitan, Henny melihat anak-anak tersebut satu persatu keluar dari pekarangan rumah sampai menghilang di tikungan dekat warungnya. Seketika Pondok tersebut sepi bagai keheningan yang mengajak untuk merenung.
“Saya memang suka mengajar,” kata Henny sambil tersenyum.
Timotius - 00000011601
No comments:
Post a Comment