Saturday 3 June 2017

Bayaran Sebuah Pekerjaan



Bayaran Sebuah Pekerjaan
Oleh: Timotius 


Henny (35) yang tengah mengajar matematika kepada anak-anak kelas empat SD yang kurang mampu di tempat les Dutasia,Gandasari, Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten.


Sesekali wanita dengan murah senyum itu mengelap keringatnya yang mengucur di dahinya dengan pergelangan tangannya. Ia terus berusaha melantangkan suaranya yang tidak sebanding dengan suara keramaian anak-anak disana.

Belum selesai dengan anak-anak yang menyibukkannya, beberapa anak lain terus berdatangan ke saung itu, saung yang berlantai semen dan beralaskan beberapa tiker yang serabutnya mulai rusak.


Tempat ini selalu ramai didatangi anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan di sekolah formal. Anak-anak yang datang ke tempat ini ingin memiliki pendidikan dasar yang setara dengan apa yang ada di sekolah dasar pada umumnya.

Di tempat ini juga lah, wanita berumur tiga puluh lima tahun dengan keramahan dan kesabarannya berhasil merombak pekarangan rumah menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak masyarakat di sekitar kampungnya, Gandasari, Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten. Dengan inovasi tersebut, Henny banyak dikenal oleh warga sekitarnya.

***

Irwan Setiawan (20) telah selesai belajar Software Enginering. Matakuliah tersebut merupakan matakuliah dari bidang penjurusan Information and Technology (IT) yang membutuhkan waktu selama empat jam dan berakhir pada jam satu siang. Ia hanya memiliki sedikit waktu untuk makan siang sebelum harus berkumpul dengan kedua temannya pada jam setengah dua.

Setiap hari Senin Irwan memang selalu meluangkan waktunya untuk mengajar di tempat les Dutasia. Ia terlibat dalam sebuah organisasi yang bernama “Teach For Indonesia”. Organisasi mahasiswa ini berfokus pada bidang sosial, terutama untuk mengajar anak-anak yang kurang mampu.

“Sendirian wan? Si Dea mana?” Tanya Henry teman Irwan yang juga akan ikut mengajar di Dutasia pada hari itu.

“Iyah, dia bentar lagi ko katanya” Jawab Irwan setelah menyelesaikan suapan terakhir dari makan siangnya.

Tidak lama setelah itu Dea datang dan lengkap sudah pengajar tempat les yang merupakan mahasiswa lintas prodi dari Universitas Bina Nusantara di Alam Sutera.

Tepat pukul setengah dua, ketiga mahasiswa ini berangkat ke sebuah tempat les menggunakan sebuah mobil dan memerlukan waktu sekitar setengah jam supaya mereka sampai ke tempat itu.

***

“Ratih, kamu belum makan. Makan bareng aku ya?” Tanya Henny pada adiknya, sambil menyalakan api kompor.

Ia tau, bahwa adiknya yang mengalami gangguan mental tidak akan menjawabnya. Namun, ia tetap mengajak berbicara saudara kandungnya yang terus meneteskan air liur dari bibirnya.

Henny sedikit bingung, saat ia memanaskan sayur bening yang ia buat pagi tadi, ia melihat bahwa porsi sayur tersebut masih kurang untuk ia dan adiknya. Seperti biasa, ia pun akhirnya kembali mengambil mie instant untuk dimakan bersama apabila mereka tidak memiliki cukup lauk.

Siang itu mereka makan berdua bersama seperti biasanya, namun di malam hari mereka makan bertiga bersama sang Ayah. Saat siang hari, sang Ayah bekerja di pabrik swasta, tempat dimana Henny dulu juga bekerja di sana.

Senin, 22 Mei 2017, jam dua siang, setelah makan bersama adiknya, Henny bersiap untuk melakukan pekerjaan sampingannya. Ia mengambil karpet dan melebarkannya di saung yang tadinya adalah pekarangan rumahnya. Ia sadar bahwa karpet itu sudah seharusnya di bersihkan, namun ia baru saja kehilangan sapu lidi yang ia taruh didepan warungnya, sebagai sapu pembersih karpet.

Semenjak Henny meninggalkan pekerjaannya dari pabrik, ia mulai melanjutkan cita-citanya dengan membuat saung kecil-kecilan dari hasil tabungannya sendiri. Awalnya ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah kelurahan, namun ia merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerja yang ada di sana.

Sebenarnya, ia bisa saja memiliki kehidupan yang berkecukupan melalui penghasilan dari PNS. Namun, menurutnya, ia tidak bisa menerima uang yang didapat dari hasil yang tidak tulus. Ia sendiri masih mengingat, bagaimana ia dan teman-temannya dengan mudahnya untuk mendapatkan uang di kantor kelurahan tersebut. Hal ini dilakukan dengan permainan keuangan yang terkait fasilitas publik seperti biaya perbaikan jalan, alur pembuatan KTP, dan lainnya. Tak jarang ia mendapatkan 'tips', baik dari masyarakat maupun dari pihak swasta yang berhubungan dengan pihak pemerintahan.

Setelah merasa kurang cocok dengan sebuah sistem yang menurutnya kurang baik, ia melanjutkan karirnya ke sebuah pabrik. Secara finansial ia tidak memilik kendala saat ia berada di pabrik tersebut. Sebagai tim pengatur logistik barang, ternyata ia juga merasa tidak cocok dengan bidang tersebut. 

Baginya, kehidupan di pabrik membuat kehidupannya menjadi monoton. Hal tersebut terjadi karena ia merasa ia bagaikan mesin yang tidak memiliki komunikasi yang berwarna dengan lingkungan tersebut. 

Hasilnya, Henny hanya bekerja selama dua tahun di pabrik swasta tersebut.
Setelah itu semua, Henny sadar bahwa kerja keras saja tidak cukup, ia harus menyertakan ketekunan pada setiap bidang yang ia kerjakan. Ketekunan itu juga harus dibangun dengan rasa suka dari dirinya sendiri.

Selain pembelajaran itu, Henny juga menyadari keadaan perekonomiannya turun. Yang ia miliki hanyalah sebuah rumah dengan pekarangan yang seluas lapangan futsal, sisa peninggalan kerja kerasnya selama bekerja sebagai PNS dan sebagai buruh pabrik. 

Dengan sedikit modal yang tersisa, ia pun membangun warung di depan pekarangannya. Sedangkan, ia sengaja menyisakan sisa pekarangan diantara warung dan rumahnya untuk dijadikan sebagai wadah yang ia ingin salurkan semenjak dulu.


Assalamualaikum. Selamat siang” Panggil Henny dari depan gerbang saat mengunjungi salah satu rumah sederhana di Jatiuwung.

Mendengar kedatangan tamu, Candra (43) langsung merapihkan posisi peci yang mulai lepas dari kepalanya, dan  meninggalkan layar komputernya saat ia sedang membaca surat perizinan kegiatan bakti sosial dari mahasiswa Universitas Pelita Harapan.

Waalaikumsalam. Siang Mba” Jawab Candra sebelum ia menunjukan diri dari pintu rumahnya.
Hari itu adalah hari pertama kalinya Henny berhasil mendapatkan dukungan secara finansial. Ia telah mendaftarkan dirinya sebagai aktivis pengajar di Yayasan Dutasia. 

Yayasan tersebut adalah yayasan yang berkutik di bidang pendidikan yang terkhusus kepada anak-anak yang kurang mampu. Walapun tidak seberepa, Henny akhirnya bisa memulai cita-cita yang sesungguhnya. Ia mendapat tambahan modal untuk membuat tempat belajar di sisa pekarangan milikinya di belakang warung. 

Hari itu merupakan hari yang tidak pernah ia lupakan, dimana sebuah Yayasan yang sebenarnya minim sponsor untuk mendanai kegiatan yayasan tersebut, bisa mendanai niat baik Henny.

Ternyata, dukungan secara finasial pun tidak cukup. Candra yang merupakan salah satu pendiri Yayasan, masih harus memberikan pengawasan terhadap perkembangan tempat les yang didirakn Henny.

“Sedihnya, warga disana yang mayoritas muslim, pernah menuduh kami memberikan pengajaran aliran non-muslim kepada anak-anak yang kami ajar” cerita Candra sambil sedikit tersenyum. 

Ia menceritakan keadaan saat Henny didatangi oleh beberapa warga yang ingin tau, dan menyangka bahwa selama enam bulan pertama berdirinya tempat les itu, Henny mengajarkan aliran agama lain selain muslim. 

“Saat mendapat SMS dari Henny seperti itu, saya langsung pergi ke tempat les itu. Dan benar saja, Henny sedang dikelilingi beberapa warga yang langsung melihat kearah saya pas saya datang” Candra sempat menyayangkan respon warga terhadap niat baik Henny. 

Mereka berdua akhirnya memanggil salah satu anak yang pernah diajar mereka ke dalam obrolan tersebut. Anak tersebut mengakui bahwa yang diajarkan oleh Henny adalah pelajaran layaknya seperti di sekolah dasar seperti matematika, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA dan IPS. Forum diskusi tersebut akhirnya diakhiri dengan keberhasilan Henny dan Candra mendapatkan kepercayaan dari warga sekitar

***

Mobil itu kesulitan memasuki gang-gang kecil yang berada di tengah padatnya pemukiman Jatiuwung. Dea yang merupakan pengajar pertama kalinya, merasa sedikit kaget dengan kondisi tersebut. Ia tidak menyangka, tadinya mereka melewati jalan disekitar Karawaci yang rapih, luas, dan asri, setelah masuknya mobil tersebut ke gang kecil, ia mulai bertanya kepada dua temannya yang sudah pernah ke tempat les Dutasia.

"Tempatnya dimana sebenarnya” tanya Dea dari bangku belakang kepada dua temannya yang berada didepan.

“Tempat yang engga pernah lu kunjungin deh” ledek Irwan kepada temannya yang memiliki gaya cukup modis itu.

Mobil itu akhirnya berhenti di pinggir jalan, depan warung. Saat itu warga sekitar sudah tidak kaget lagi, saat tempat itu didatangi mobil mewah bermerek Honda. 

Sesampainya disana, mereka menghampiri Henny yang sedang merapihkan tiker. Ketiga mahasiswa ini langsung membantu mengambil beberapa tiker yang tersisa di depan pintu rumah Henny, untuk langsung membentangkannya di lantai saung tersebut.

Anak-anak mulai berdatangan. Mereka datang dengan tas yang terlihat besar di punggungnya, lengkap dengan buku dan berbagai alat tulis didalamnya. Mereka langsung menghampiri Henny dengan kedekatan seolah wanita berkepala tiga itu adalah kaka kandung mereka.

“Ka, hari ini kita belajar apa?”

“Ka Henny, Dion gangguin aku.”

“Ka, pensil aku kemarin ketinggalan di sini.”

Henny sudah menyukai keputusan yang tekuni ini. Sore itu, sudah berkumpul lima belas anak-anak kelas satu sampai empat SD. 

Henny juga sadar bahwa kegiatannya untuk mengajar anak-anak tersebut tidak dapat menggerekan perekonomiannya. Walaupun dia sendiri merupakan orang yang kurang mampu, namun ia tetap mengajar anak-anak tersebut sebagai awal karirnya menjadi aktivis bagi anak-anak yang kurang mampu. 

Ia sangat hangat sekaligus sabar dengan anak-anak yang dititipkan orang tua masyarakat selama dua jam kedepan.

Sejauh ini, Henny sudah memiliki beberapa pencapaian yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh orang lain selain dirinya. Memasuki tahun ke-empat, tempat les itu sudah berhasil menjadi ajang kegiatan bakti sosial yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa dari Universitas di sekitar Tangerang. 

“Saya sendiri melihat bahwa kegiatan kalangan menengah keatas lebih banyak bergerak karna kepentingan komersil doang sih. Itu dia mungkin yang membedakan ka Henny dengan orang-orang kalangan menengah keatas” kata Irwan saat menceritakan kondisi mahasiswa yang pernah dituntut untuk melakukan kegiatan pengabdian sosial sebagai syarat kelulusan.

Irwan menyadari bahwa ia masih menjadi tanggung jawab orang tuanya sebelum nantinya ia juga tergerus dengan kepentingan komersi. Ia semacam ketagihan dengan kegiatan sosial yang pernah ia lakukan. 

Baginya, pembenahan tatanan masyarakat dapat dilakukan dari pendidikan sejak usia dini. Namun,ia juga sadar bahwa jika Henny melakukannya sendiri, hal tersebut akan berjalan secara lama. Alasan tersebutlah yang mendorong Irwan untuk terus membantu orang-orang seperti Henny, dan mengajak orang-orang seperti Dea. Dengan demikian, ia mewakili kalangan menengah keatas yang memposisikan niat baik dirinya seperti Henny.

“Makasih Ka Henny.”

“Makasih Kak.”

“Makasih Kakak-Kakak, dadah Kak.”

Setengah jam sebelum Adzan, anak-anak sudah bisa bersalaman dengan ke-empat pengajar pada hari itu. Mereka berpamitan, Henny melihat anak-anak tersebut satu persatu keluar dari pekarangan rumah sampai menghilang di tikungan dekat warungnya. Seketika Pondok tersebut sepi bagai keheningan yang mengajak untuk merenung.

“Saya memang suka mengajar,” kata Henny sambil tersenyum.

Timotius - 00000011601

No comments:

Post a Comment