Friday 2 June 2017

Nasib Sisa-Sisa Kejayaan Banten Lama



NASIB SISA-SISA KEJAYAAN BANTEN LAMA




Siti Hafadzoh
00000012148

“Namanya situs, sudah ada ketentuan cagar budaya, yaitu zonasi. Zonasi inti, dalam radius berapa meter tidak boleh ada kegiatan yang tidak berhubungan dengan kawasan wisata, zonasi penyangga, baru zonasi bebas, baru di sini, radius berapa meter, digunakan untuk dagang, parkir, dan sebagainya,” ujar Slamet sambil menunjukkan peta kawasan Banten Lama. Slamet adalah salah satu staff Museum Kepurbakalaan Banten Lama.

Namun, pada kenyataannya, zona inti kawasan Banten Lama ini masih saja dipenuhi oleh para pedagang. Mereka mendirikan kios-kios beratap terpal sepanjang jalan menuju Masjid Agung Banten Lama. Para pedagang memanfaatkan trotoar dan parkiran untuk menjajakan dagangan mereka. Mayoritas pedagang menjual pernak-pernik yang serupa dengan pedagang lain.
Slamet berpendapat, “Namanya juga usaha. Misalnya, saya sebagai orang tua berusaha dagang lalu berhasil, pasti akan nular ke anaknya, nanti nambah lagi keponakannya, terus berkembang. Nah ini, tadinya warung hanya berapa, sekarang berkembang cepat.”
Institusi yang mengurus lokasi wisata Banten Lama yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten. Seperti yang tercantum pada UU No. 11 Tahun 2010 bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya. 
             Kawasan wisata Banten Lama ini dulunya merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Banten. Keraton Surosowan dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin yang merupakan sultan pertama Banten. Kemudian pembangunannya dilanjutkan oleh putranya, yaitu Sultan Maulana Yusuf.
            Banten sempat menempati puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau yang dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Claude Guillot pada bukunya menyatakan bahwa Pada tahun 1678 Banten merupakan kota terbesar di Nusantara, dan bahkan termasuk salah satu kota terbesar di dunia pada masa itu. Penilaian ini berdasarkan jumlah penduduk dan kemakmurannya.
           Bekas Keraton Surosowan dari depan pagar pembatas         

            Kini kejayaan Banten hanya tinggal sejarah. Tertinggal jauh di belakang. Terkikis oleh zaman. Kisahnya pun hampir terlupa oleh masyarakatnya. Bekas Keraton Surosowan yang luasnya 3,8 hektar ini sekarang tinggal tersisa rerintuhan. Hanya ada batu bata dan hamparan rumput hijau. Tempat sapi dan kambing ternak mencari makan. Hanya ada satu situs yang masih terlihat, yaitu masjid.
            Berbeda dengan Keraton Surosowan dan situs sejarah lainnya, Masjid Agung Banten Lama tidak sepenuhnya dikelola oleh pemerintah. Satu-satunya situs sejarah Banten yang masih berdiri kokoh ini dikelola oleh para keturunan Sultan Banten.
 “Masjid ini dikelola oleh dzuriyat, yaitu keturunan dari Sultan Maulana Hasanuddin. Pengelola Kesultanan Banten disebut Kenadziran. Yang menjadi pimpinan saat ini yaitu Drs. H. Tubagus Ahmad Abbas Wasse, beliau keturunan ke 13 dari Sultan Maulana Hasanuddin Banten,” jelas Basri, juru makam Kesultanan Banten.
Lantunan pujian untuk Allah dan Rasulnya yang amat merdu menggema di langit-langit Masjid Agung Banten Lama. Rombongan jamaah berbondong-bondong mengantre di depan pintu makam para Sultan yang terbuat dari kayu yang dicat dengan warna hijau.
Ketika pintu kayu tersebut dibuka oleh petugas makam, terlihat beberapa rombongan mulai beranjak dari duduknya dan keluar lewat pintu lainnya. Sekitar satu meter dari rombongan yang hendak keluar, terlihat tujuh makam bernisan putih di sana. Makam tersebut adalah makam mendiang orang-orang penting di Kesultanan Banten.
Ketujuh makam tersebut (dihitung dari Barat ke Timur) adalah Sultan Ageng Tirtayasa (sultan ke-6), Sultan Maulana Muhammad (sultan ke-3), Ratu Ayu Kirana (Permaisuri Sultan Maulana Hasanuddin), Sultan Maulana Hasanuddin (sultan pertama), Sultan Abu Al-Fadhl Muhammad Yahya (sultan ke-8), Permaisuri Sultan Al-fadhl yang tidak diketahui namanya, dan terakhir Sultan Haji (sultan ke-7).
Dalam satu tahun, ada empat bulan yang ramai oleh penziarah. Sisanya, tempat ini ramai pada hari Minggu. Beberapa datang untuk berziarah, dan tidak sedikit juga yang hanya ingin menikmati pemandangan dari atas menara masjid atau di bekas Keraton Surosowan.
Keramaian inilah yang menarik para pedagang berdatangan. Dari pagar samping Keraton Surosowan hingga Masjid Agung tidak luput dari kios pedagang. Omset mereka bisa naik berkali lipat dari biasanya ketika ramai rombongan. 
 “Pendapatan tergantung rombongan. Kalau rombongan pada jajan, sehari bisa dapat satu juta. Ya tergantung ya, namanya milik ya gak tau. Sekarang aja banyak rombongan dapetnya Cuma 300 ribu,” ujar Juleha.
Juleha dan suaminya memiliki dua kios. Satu dijaga olehnya, satu lagi oleh suaminya. Ia sudah tiga tahun berjualan di tempat ini. Sedangkan suaminya sudah berjualan di Banten Lama sejak tahun 1990an. Selama berjualan di sini, Juleha dan pedagang lainnya pernah diminta untuk pindah.
“Sering disuruh pindah sama yang punya Banten. Katanya disuruh dipindahin pedagang- pedagang yang di luar, tapi yang di dalem gak dipindahin. Nanti kalau bulan ramai masuk lagi. Pindahnya ke terminal,” jelas Juleha.
“Kalau gak mau pindah ya paling bayar, ke yang pengawasnya gitu,” tambahnya.
Kios Juleha memang terletak jauh di luar pelataran masjid. Wanita yang berasal dari Desa Kebalen ini berjualan di seberang Museum Kepurbakalaan Banten. Beberapa meter di belakang kiosnya adalah bekas Keraton Surosowan.
“Ini juga pernah digusur. Setelah lebaran ditempatin lagi. saya dapat kios ini, bayarnya 300 ribu. Sampai sekarang, Alhamdulillah belum digusur. Jangan sampai digusur lagi,” tambahnya.
Seorang ibu dengan anak perempuannya yang bertubuh gemuk melihat-lihat pernak-pernik di kios milik Juleha. Gadis kecil itu bersemangat memilih gelang-gelang India untuk ia beli. Juleha pun ikut sibuk memilihkan gelang untuk gadis berkaos merah muda itu.
“Ini berapa, Teh?” tanya ibu gadis itu sambil memegang sebuah hiasan gantungan bergambar kaligrafi.
“Dua puluh lima ribu aja,” jawab Juleha ramah.
“Gak bisa kurang?” tawar si ibu.
Setelah proses tawar menawar selesai, mereka pun menemukan harga yang cocok untuk keduanya. Tidak menguras dompet si ibu, juga tidak membuat Juleha rugi karena modal belinya sudah tertutup.
Juleha (kerudung merah muda) sedang melayani pembeli

Sepuluh menit setelah pembeli itu pergi, ketika Juleha sedang merapikan dagangannya, seorang pria memakai rompi cokelat datang mengampiri kiosnya. Juleha sudah tahu mau apa dia kemari. Tanpa banyak basa-basi, lelaki itu mengeluarkan secarik kertas kecil berwarna merah muda dari saku rompinya. Secarik kertas itu ditukar dengan selembar uang dua ribu rupiah dari dompet Juleha.
Lelaki itu berlalu dari kiosnya. Juleha pun kembali menata barang dagangannya.
“Gak setiap hari begini sih. Kalau ramai aja saya kasih. Kalau sepi mah lewat ajalah,” ujarnya sambil menutup resleting dompet.
Siang itu memang pengunjung lebih ramai daripada hari lainnya, tetapi tidak dengan kios milik Juleha. Hingga siang hari, ia baru dapat 300 ribu. Biasanya, jika ramai pengunjung seperti ini, ia bisa mendapatkan keuntungan berkali lipat.
Menengok ke belakang kios milik Juleha, reruntuhan Keraton Surosowan mulai ramai. Sebagian besar pengunjungnya adalah remaja. Tujuannya mungkin hanya sekedar melihat pemandangan dari sana karena posisinya lebih tinggi daripada dataran di sekitarnya. Beberapa ada yang berfoto-foto dengan kawannya.
Dari jauh, tidak terlihat lewat mana mereka bisa naik ke tempat itu. Bekas gerbang keraton juga dikunci. Tidak ada yang bisa masuk lewat gerbang. Tidak ada pula petunjuk pintu masuk. Hanya ada satu jalan untuk naik ke atas sana, yaitu menggunakan tangga kayu. Tangga yang biasanya digunakan untuk naik ke atap itu pun dimanfaatkan oleh masyarakat untuk naik ke bekas bangunan keraton.
Sebagian pengunjung lainnya lebih tertarik melihat-lihat benda penginggalan sejarah Banten yang berada di halaman depan Museum Kepurbakalaan Banten Lama. Hari itu tangggal merah, jadi museum tutup. Warga tidak bisa masuk ke museum. Mereka hanya bisa melihat benda yang ada di depan museum, seperti nisan bertuliskan huruf Cina dan sebuah meriam bernama “Meriam Ki Amuk” yang masih dipertanyakan asalnya oleh para sejarawan.
Banten sayang, Banten yang malang. Dari sekian banyak pengunjung dan pedagang di tempat ini, mungkin hanya segelintir orang yang tahu sejarah tentang masa kejayaan Kesultanan Banten. Mungkin mereka hanya melihat pemandangan yang indah dari menara masjid, atau hamparan rumput di sekitar keraton.
Beberapa dari mereka mungkin tidak pernah tahu, bahwa tanah yang mereka pijak dan tembok yang mereka panjat merupakan pusat kota yang tersohor pada zamannya. Hingga dalam bukunya, Claude Guillot mengatakan bahwa nama Banten sering disebut-sebut dalam tulisan sastra Inggris, Prancis, dan Belanda.
Sejak abad ke-17, Banten mulai tersohor di beberapa negara di dunia. Selama tiga abad, Banten dianggap sebagai pelabuhan utama di Nusantara, terutama pulau Jawa. Selain pelabuhannya, Banten juga memiliki teknologi penyulingan air yang canggih pada masanya. Air yang berasal dari Danau Tasikardi kemudian dijernihkan melalui tiga tahapan, baru dialirkan ke dalam keraton, tepatnya ke kolam Rara Denok. Penyulingan air yang berlangsung secara tiga tahapan itu mencerminkan bahwa kerajaan ini telah menguasai teknologi saat itu.
Kini kejayaan itu tinggal sejarah dan kini sejarah itu tinggal kenangan. Beberapa mungkin sudah lupa tentang sejarah ini, sebagian mungkin telah melupakan, dan sisanya tidak pernah tahu bahwa dahulu Banten memiliki kerajaan yang jaya pada zamannya.
            Sisa-sisa kerajaan yang masih ada hanyalah runtuhan keraton, Danau Tasikardi, Meriam Ki Amuk, dan beberapa artefak yang ada di museum. Tinggal satu yang berdiri dengan kokoh, yaitu Masjid Agung Banten Lama. Mungkin hanya bangunan ini yang bisa menjadi penarik warga untuk datang ke tempat bersejarah ini.
            Namun, tempat ini jauh dari kata “baik” untuk lokasi wisata sejarah. Masih banyak pedagang yang mendirikan kiosnya di sekitar zona inti kawasan wisata. Masih belum ada juga relokasi pedagang ke satu tempat yang lebih teratur. Malah semakin banyak pedagang yang membuka kios di kawasan ini.
 Jajaran kios di kawasan Banten Lama

 “Pedagang kan yang penting mereka usaha, dapat tempat untuk menjajakan dagangannya. Dapat uang. Sementara,  ya mohon maaf, ini bukannya saling menyalahkan, tapi penanganannya kurang cepat, kalah dengan perkebangan masyarakat yang begitu cukup masif. Berkembang dari tahun ke tahun. Seharusnya diterapkan Perda supaya cepat,” jelas Slamet setelah ditanya soal peran pemerintah.
Memang para pedagang ini hanya mencari rezeki, seperti yang dikatakan Juleha, “Yang namanya usaha mah ya, jangan dilarang-larang, buat makan.”
Sementara, keberadaan mereka juga membuat kawasan Banten Lama terlihat tidak terurus. Keagungan masjid dan keelokan keraton surosowan pun tertutup oleh terpal-terpal biru kios mereka. Tidak tahu harus menyalahkan siapa sebenarnya. Di satu sisi, kawasan ini tidak teratur karena banyaknya pedagang. Di sisi lain, mereka juga tidak diberikan tempat yang layak oleh pemerintah.
Ramainya pedagang di sepanjang jalan membuat kawasan ini terlihat sesak. Sinar matahari yang sangat terik pun memperparah keadaan. Pengunjung harus berjalan di bawah terik matahari dan melewati pedagang yang menggunakan separuh jalan.
“Nanti tahun kapan ya dipindah ke sana. Katanya udah ditempatin sih kios-kiosnya, cuma gak tau kapan,” ujar Juleha sembari tersenyum masam.

No comments:

Post a Comment