Friday, 2 June 2017

Tehyan Lestari, Goyong Ikut Berseri




Tehyan Lestari, Goyong Ikut Berseri
(Nadya Zul El-Nuha/00000012359)

Goyong, pengrajin alat musik tradisional tehyan

 
         Alat musik tehyan digantung di atas pagar sebuah rumah sederhana. Halaman rumah dipenuhi karung-karung, botol plastik, kayu-kayu, batok kelapa, dan alat pancing. Ketika masuk ke dalam, jejeran tehyan berwarna merah nampak mengisi dinding ruangan.

         Diambilnya tehyan itu, Goyong duduk di kursi plastik berwarna merah dengan senyum lebar meski giginya tidak lagi lengkap. Ia menaruh tehyan dipangkuannya, tangan kirinya memosisikan gagang tehyan ke senar, Goyong mulai memainkan dan suara alat musik gesek asli Tionghoa itu terdegar.

          “Mainnya harus pake feeling,” kata Goyong.

         Dengan kemeja agak kusut, celana biru sebatas lutut, Goyong dengan serius memainkan tehyan. Mulutnya sesekali bernyanyi mengikuti alunan nada yang ia buat. Dari satu lagu, ke lagu lain dimainkan setengah-setengah. Ketika Goyong memainkan tehyan, raut wajahya yang sudah mulai keriput akan terlihat sangat serius. Duduknya meski tidak tegap, dan kaki yang terbiasa tidak memakai sendal, juga rambut yang terlihat habis di bagian kirinya, menandakan sudah lebih dari dua puluh tiga tahun Goyong setia untuk memainkan dan melestarikan salah satu kekayaan yang Indonesia punya ini.

        Pribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya tepat untuk menggambarkan lelaki berumur 60 ini. Goyong yang memiliki nama asli Oen Sin Yang meneruskan jejak sang ayah yang juga seorang seniman tehyan, Oen Hoek. Siapa sangka, awalnya Goyong tidak pernah tertarik serius belajar tehyan, Goyong hanya melihat-lihat dan mencoba sesekali, kini ia menjadi pengrajin tehyan satu-satunya di Tangerang.

         Goyong mengaku, keinginan untuk serius melanjutkan kesenian sang ayah, bermula saat Oen Hoek meninggal dunia. Tradisi gambang kromong akhirnya dilestarikan kembali oleh Goyong meski dulu ia tidak menyempatkan waktu secara khusus menimba ilmu dari sang ayah yang sudah memiliki banyak pengalaman pentas.

        Kemahiran sang ayah pun, Goyong menuturkan bukan berasal dari warisan keluarga, tidak ada yang bergelut di dunia seni. Melainkan dari Masnah, Ibu tiri Goyong, sang ayah mulai mengenal alat-alat tradisional itu. Goyong merupakan anak dari pernikahan pertama Oen Hoek yang sudah kandas di usia Goyong yang ke 4 tahun. Perempuan bernama Masnah ini adalah seorang penyanyi di kelompok Gambang Kromong dari pertunjukan lenong yang dulu masih banyak di Tangerang. Oen Hoek jatuh cinta dengan Masnah dan menikahinya. Sejak saat itu sang ayah dan ibu tiri Goyong melalang buana mementaskan warisan budaya hingga nama keduanya dikenal banyak orang. 

         Berbekal nama besar sang ayah, hingga kini Goyong memanfaatkan kemahirannya untuk terus memainkan alat musik tradisional yang hampir terkisis zaman. Goyong juga sering mengajarkan siapa saja untuk belajar tehyan di Gedung Kesenian. Bersama pemerintah, setiap tahunnya Goyong melatih tehyan kepada beberapa kalangan. Seperti pada tahun 2014, mengajarkan anak-anak. Tahun 2015 dari kalangan orang dewasa. Dan tahun 2016 melatih  ibu-ibu yang bersekolah. Setiap tahun selalu dilaksanakan pelatihan seperti ini.

         Biasanya, Goyong tampil pada saat udangan di acara-acara adat dan undangan dari pemerintah. Lagu yang dimainkan tergantung suasana acara. Misalnya acara pernikahan, Goyong sering memainkan lagu kicir-kicir, ayam jago, dan lagu Cina seperti sirih kuning. Sedangkan pada acara kematian lagu yang dimainkan dengan tehyan lebih berirama sendu. Untuk acara dari pemerintah, Goyong juga harus mencocokkan acara hiburan atau pembelajaran. Terlepas dari itu, Goyong bisa memainkan banyak lagu menggunakan tehyan, dari lagu anak-anak sampai lagu nasional seperti Indonesia Raya dan lainnya. 

         Tehyan sendiri merupakan alat musik tradisional betawi berasal dari Cina yang dibawa oleh  keturunan Tionghoa. Penggunaan Tehyan bisa didengar di setiap acara kebudayaan betawi seperti Gambang Kromong, Ondel-Ondel dan Lenong Betawi, yang kini sudah sulit ditemui pementasannya. Goyong menjual satu tehyan dari harga tiga ratus ribu rupiah, sampai lima ratus ribu rupiah. Tergantung kesulitannya dalam membuat tehyan, karena terkadang kayu yang ia peroleh saat dibentuk tidak menghasilkan bunyi yang nyaring. Kalau sudah seperti itu Goyong akan membuat yang baru.

         “Suaranya nyaring atau engga itu penting. Makanya saya suka buat lagi kalau yang ini jelek,” tambahnya seraya menaruh tehyan yang sudah dicat, dengan tehyan polos berwarna kayu asli. Ia kemudian mencoba memainkan ke dua tehyan itu. Menyamakan bunyinya.

         Seperti alat musik lainnya, Tehyan juga memiliki doremi atau tangga nada. Bahan untuk membuat tehyan sederhana, yaitu batok kelapa, benang kenur untuk dijadikan senar, dan kayu. Dulu, senar biasanya dibuat dari buntut kuda, tapi karena sekarang susah didapatkan, akhirnya Goyong memanfaatkan benang kenur. Kayunya pun, lebih bagus menggunakan kayu jati. Semisal tidak dapat kayu jati, Goyong mengatakan kayu apa saja asalkan kuat. Tetapi juga tidak sembarang, hampir semua bahan itu Goyong mencarinya di pinggiran sungai Cisadane. Saat air sedang pasang, maka semakin banyak bahan-bahan itu berada di pinggiran dan Goyong bawa pulang. Pembuatan satu tehyan menurut Goyong bisa memakan waktu dua hari. Tetapi Goyong tidak bisa menentukan berapa tehyan yang selesai dibuat. Tergantung untuk pesanan atau membuat tehyan untuk dikoleksi sendiri. Goyong berkata, “ya sejadinya aja.”


Alat musik tradisional Tehyan buatan Goyong

         Sejak tahun 1973 pertama kalinya Goyong memainkan Tehyan, sampai sekarang sudah banyak mendapatkan prestasi. Berbagai penghargaan mengapresiasi sosok Goyong yang masih peduli dengan warisan budaya Indonesia. Dedikasi Goyong mencapainya sebagai seniman yang memajukan seni dan budaya kota Tangerang oleh Walikota Tangerang tahun 2012, setelah sebelumnya di tahun 2010 Goyong juga mendapat penghargaan sebagai praktisi seni dan budaya tingkat Provinsi Banten oleh Gubernur Banten. Penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional tersebut juga tertempel di dinding bercat kusam: potongan artikel dari koran, piagam dalam bingkai cokelat, hingga cetakan foto yang kesemuanya ditempel dengan lem kertas. Penghargaan-penghargaan itu sudah terlihat sejak memasuki pintu masuk rumahnya. Terpajang bersama aneka tehyan yang berada di atas, dan nampak serasi dengan berbagai lilin menyala serta kelengkapan ritual khas Tionghoa lainnya tepat di meja di bawah berbagai penghargaan milik Goyong. 

        Hal yang patut ditakuti dari warisan kebudayaan tradisional adalah semakin berkurangnya para pengrajin dan sedikitnya minat generasi muda. Terlebih adanya perspektif menjadi pengrajin bukanlah pekerjaan yang cukup menjanjikan. Warisan budaya pada dasarnya tradisi yang hidup di lingkungan masyarakat secara turun temurun. Maka yang terpenting dari satu warisan budaya adalah soal re-generasi nya. Berbagai faktor modernisasi dan perubahan pola perilaku dan konsumtif generasi baru patut menjadi peringatan. Karena faktanya minat geneasi muda terhadap alat musik tradisional semakin tergerus. 

         Pernyataan menjadi pengrajin tidak banyak menghasilkan pemasukan, bagi Goyong mungkin ada benarnya. Nyatanya saat ini, selain bekerja sebagai pengrajin dan pengajar tehyan, Goyong juga mengumpulkan bahan atau sampah yang bisa didaur ulang yang kemudian dijual ke pengepul untuk menambah penghasilannya. 

         “Cari ini (botol-botol atau sampah). Kalau ada job pesanan tehyan saya pere (libur) cari kerompongan. Nanti kalau udah banyak, ada yang ke sini, tinggal telepon aja orangnya.”

         Sampah atau barang bekas itu Goyong kumpulkan dalam karung-karung besar. Di halaman rumahnya yang tidak begitu luas, pemandangan berbagai karung menyapa siapa saja yang melewati rumah berwarna hijau muda, dengan cat yang sebagian luntur dan sedikit mengelupas. Di sisi kiri halaman rumahnya bahkan karung-karung itu bersisihan dengan baju yang sedang dijemur. Sedang di sisi kanan karung itu menumpuk bersama banyaknya batok kelapa dan kayu-kayu yang tersebar di bawah meja berwarna cokelat, seperti meja sekolah.

         Sehari-hari, Goyong membagi waktu antara membuat tehyan dan mencari barang bekas. Ia tidak bisa mengandalkan kebutuhan sehari-harinya dari penjualan tehyan saja. Goyong mengaku pembeli tehyan memang tidak pasti. Dari masyarakat sekitar juga memang tidak banyak yang membeli, mereka cenderung hanya menikmati pementasan tehyan-nya saja. Pembeli tehyan memang dari berbagai kalangan: anak-anak, muda, tua, dan kebanyakan dari luar kota, atau dari instansi pemerintah yang sedang melakukan program tertentu. Jadi bisa dikatakan mereka yang membeli tehyan memang karena suka, dan berminat untuk mempelajarinya. 

         Melan, kerabat Goyong juga mengatakan warga mayoritas keturunan cina benteng di kelurahan Mekarsari, kecamatan Neglasari, kota Tangerang ini kebanyakan pekerja, banyak yang tidak sempat belajar memainkan tehyan, bahkan dirinya pun mengatakan tidak bisa memainkan tehyan. Juga, dari kesepuluh anak Goyong. Hanya dua anaknya yang bisa memainkan tehyan dan kadang ikut serta jika ada pementasan. Sedangkan yang lain memilih bekerja lain profesi untuk menghidupi kebutuhan keluarga mereka.

         Perempuan berusia lima puluh empat yang kini rambut depannya terlihat sedikit memutih itu mengatakan bermain tehyan tidaklah mudah. Ada teknik yang tidak bisa sembarang dimainkan. Bunyi dari hasil gesekan gagang ke dua senar pada tehyan itu memang akan terdengar aneh saat dimainkan oleh orang yang tidak mahir. 

        Sebagai kerabat, Melan sangat mendukung keinginan Goyong untuk terus melestarikan tehyan. Melan bercerita, dulu Goyong sering malu jika disuruh tampil di pentas bersama kedua orangtuanya. Kesadaran akan pentingnya tehyan memang saat ayahnya menginggal, dan tetangga meminta Goyong memainkan tehyan. “Terus malu kayanya dia disuruh tampil tapi nggak jago. Eh tiba-tiba bisa. Nggak tahu saya gimana dia belajarnya.” kata Melan sambil tertawa.


Gerbang Tjong Tek Bio menuju rumah Goyong

         Gapura berwarna merah dengan tulisan Perkumpulan Tjong Tek Bio menuju rumah warga menjadi saksi masih dilestarikannya alat musik tradisional sejak tahun 1960-an. Goyong masih mengingat antusiasme berbagai kalangan di setiap pagelaran tradisi tehyan ini. Baginya, saat ini minat para tetangga juga bisa dikatakan rendah. Berbeda seperti zaman dahulu. 

        Namun Goyong masih bisa berharap melalui Pemerintah yang sering mengikutsertakan dirinya dalam pelestarian kebudayaan Indonesia. Seperti baru-baru ini, Goyong akan tampil di acara kebudayaan di Bangka tanggal enam Juni mendatang. Juga masih ada segelintir perkumpulan warga di dekat rumahnya yang masih bersama-sama memainkan pelbagai alat musik dalam gambang kromong untuk mengisi waktu luang. Sesederhana itu, Goyong senang. 

         Alat musik tradisional harus lestari. Goyong menuturkan jangan sampai hilang alat-alat musik tradisional itu. Ia juga mengharapkan makin banyak generasi yang berminat mempelajari tehyan. Mereka yang sudah membeli menurut Goyong bisa juga mengajarkan memainkan tehyan kepada siapa saja. Supaya semakin banyak generasi yang bisa diandalkan untuk meneruskan alunan musik tradisional sampai generasi-generasi selanjutnya dan sampai ke luar Indonesia.

No comments:

Post a Comment