Tehyan Lestari, Goyong Ikut Berseri
(Nadya Zul El-Nuha/00000012359)
Goyong, pengrajin alat musik tradisional tehyan
Alat
musik tehyan digantung di atas pagar sebuah rumah sederhana. Halaman rumah
dipenuhi karung-karung, botol plastik, kayu-kayu, batok kelapa, dan alat
pancing. Ketika masuk ke dalam, jejeran tehyan berwarna merah nampak mengisi
dinding ruangan.
Diambilnya
tehyan itu, Goyong duduk di kursi plastik berwarna merah dengan senyum lebar
meski giginya tidak lagi lengkap. Ia menaruh tehyan dipangkuannya, tangan
kirinya memosisikan gagang tehyan ke senar, Goyong mulai memainkan dan suara alat
musik gesek asli Tionghoa itu terdegar.
“Mainnya
harus pake feeling,” kata Goyong.
Dengan
kemeja agak kusut, celana biru sebatas lutut, Goyong dengan serius memainkan
tehyan. Mulutnya sesekali bernyanyi mengikuti alunan nada yang ia buat. Dari
satu lagu, ke lagu lain dimainkan setengah-setengah. Ketika Goyong memainkan
tehyan, raut wajahya yang sudah mulai keriput akan terlihat sangat serius. Duduknya
meski tidak tegap, dan kaki yang terbiasa tidak memakai sendal, juga rambut
yang terlihat habis di bagian kirinya, menandakan sudah lebih dari dua puluh
tiga tahun Goyong setia untuk memainkan dan melestarikan salah satu kekayaan
yang Indonesia punya ini.
Pribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya tepat untuk menggambarkan lelaki berumur 60 ini. Goyong yang memiliki nama asli Oen Sin Yang meneruskan jejak sang ayah yang juga seorang seniman tehyan, Oen Hoek. Siapa sangka, awalnya Goyong tidak pernah tertarik serius belajar tehyan, Goyong hanya melihat-lihat dan mencoba sesekali, kini ia menjadi pengrajin tehyan satu-satunya di Tangerang.
Pribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya tepat untuk menggambarkan lelaki berumur 60 ini. Goyong yang memiliki nama asli Oen Sin Yang meneruskan jejak sang ayah yang juga seorang seniman tehyan, Oen Hoek. Siapa sangka, awalnya Goyong tidak pernah tertarik serius belajar tehyan, Goyong hanya melihat-lihat dan mencoba sesekali, kini ia menjadi pengrajin tehyan satu-satunya di Tangerang.
Goyong
mengaku, keinginan untuk serius melanjutkan kesenian sang ayah, bermula saat
Oen Hoek meninggal dunia. Tradisi gambang kromong akhirnya dilestarikan kembali
oleh Goyong meski dulu ia tidak menyempatkan waktu secara khusus menimba ilmu
dari sang ayah yang sudah memiliki banyak pengalaman pentas.
Kemahiran
sang ayah pun, Goyong menuturkan bukan berasal dari warisan keluarga, tidak ada
yang bergelut di dunia seni. Melainkan dari Masnah, Ibu tiri Goyong, sang ayah
mulai mengenal alat-alat tradisional itu. Goyong merupakan anak dari pernikahan
pertama Oen Hoek yang sudah kandas di usia Goyong yang ke 4 tahun. Perempuan
bernama Masnah ini adalah seorang penyanyi di kelompok Gambang Kromong dari
pertunjukan lenong yang dulu masih banyak di Tangerang. Oen Hoek jatuh cinta
dengan Masnah dan menikahinya. Sejak saat itu sang ayah dan ibu tiri Goyong melalang
buana mementaskan warisan budaya hingga nama keduanya dikenal banyak orang.
Berbekal
nama besar sang ayah, hingga kini Goyong memanfaatkan kemahirannya untuk terus
memainkan alat musik tradisional yang hampir terkisis zaman. Goyong juga sering
mengajarkan siapa saja untuk belajar tehyan di Gedung Kesenian. Bersama
pemerintah, setiap tahunnya Goyong melatih tehyan kepada beberapa kalangan.
Seperti pada tahun 2014, mengajarkan anak-anak. Tahun 2015 dari kalangan orang
dewasa. Dan tahun 2016 melatih ibu-ibu
yang bersekolah. Setiap tahun selalu dilaksanakan pelatihan seperti ini.
Biasanya,
Goyong tampil pada saat udangan di acara-acara adat dan undangan dari
pemerintah. Lagu yang dimainkan tergantung suasana acara. Misalnya acara
pernikahan, Goyong sering memainkan lagu kicir-kicir, ayam jago, dan lagu Cina
seperti sirih kuning. Sedangkan pada acara kematian lagu yang dimainkan dengan
tehyan lebih berirama sendu. Untuk acara dari pemerintah, Goyong juga harus
mencocokkan acara hiburan atau pembelajaran. Terlepas dari itu, Goyong bisa memainkan
banyak lagu menggunakan tehyan, dari lagu anak-anak sampai lagu nasional
seperti Indonesia Raya dan lainnya.
Tehyan
sendiri merupakan alat musik tradisional betawi berasal dari Cina yang dibawa
oleh keturunan Tionghoa. Penggunaan
Tehyan bisa didengar di setiap acara kebudayaan betawi seperti Gambang Kromong,
Ondel-Ondel dan Lenong Betawi, yang kini sudah sulit ditemui pementasannya.
Goyong menjual satu tehyan dari harga tiga ratus ribu rupiah, sampai lima ratus
ribu rupiah. Tergantung kesulitannya dalam membuat tehyan, karena terkadang
kayu yang ia peroleh saat dibentuk tidak menghasilkan bunyi yang nyaring. Kalau
sudah seperti itu Goyong akan membuat yang baru.
“Suaranya
nyaring atau engga itu penting. Makanya saya suka buat lagi kalau yang ini
jelek,” tambahnya seraya menaruh tehyan yang sudah dicat, dengan tehyan polos
berwarna kayu asli. Ia kemudian mencoba memainkan ke dua tehyan itu. Menyamakan
bunyinya.
Seperti
alat musik lainnya, Tehyan juga memiliki doremi atau tangga nada. Bahan untuk
membuat tehyan sederhana, yaitu batok kelapa, benang kenur untuk dijadikan senar,
dan kayu. Dulu, senar biasanya dibuat dari buntut kuda, tapi karena sekarang
susah didapatkan, akhirnya Goyong memanfaatkan benang kenur. Kayunya pun, lebih
bagus menggunakan kayu jati. Semisal tidak dapat kayu jati, Goyong mengatakan
kayu apa saja asalkan kuat. Tetapi juga tidak sembarang, hampir semua bahan itu
Goyong mencarinya di pinggiran sungai Cisadane. Saat air sedang pasang, maka
semakin banyak bahan-bahan itu berada di pinggiran dan Goyong bawa pulang. Pembuatan
satu tehyan menurut Goyong bisa memakan waktu dua hari. Tetapi Goyong tidak
bisa menentukan berapa tehyan yang selesai dibuat. Tergantung untuk pesanan
atau membuat tehyan untuk dikoleksi sendiri. Goyong berkata, “ya sejadinya
aja.”
Alat musik tradisional Tehyan buatan Goyong
Sejak
tahun 1973 pertama kalinya Goyong memainkan Tehyan, sampai sekarang sudah
banyak mendapatkan prestasi. Berbagai penghargaan mengapresiasi sosok Goyong
yang masih peduli dengan warisan budaya Indonesia. Dedikasi Goyong mencapainya
sebagai seniman yang memajukan seni dan budaya kota Tangerang oleh Walikota
Tangerang tahun 2012, setelah sebelumnya di tahun 2010 Goyong juga mendapat
penghargaan sebagai praktisi seni dan budaya tingkat Provinsi Banten oleh
Gubernur Banten. Penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional
tersebut juga tertempel di dinding bercat kusam: potongan artikel dari koran,
piagam dalam bingkai cokelat, hingga cetakan foto yang kesemuanya ditempel
dengan lem kertas. Penghargaan-penghargaan itu sudah terlihat sejak memasuki
pintu masuk rumahnya. Terpajang bersama aneka tehyan yang berada di atas, dan
nampak serasi dengan berbagai lilin menyala serta kelengkapan ritual khas
Tionghoa lainnya tepat di meja di bawah berbagai penghargaan milik Goyong.
Hal
yang patut ditakuti dari warisan kebudayaan tradisional adalah semakin berkurangnya
para pengrajin dan sedikitnya minat generasi muda. Terlebih adanya perspektif
menjadi pengrajin bukanlah pekerjaan yang cukup menjanjikan. Warisan budaya
pada dasarnya tradisi yang hidup di lingkungan masyarakat secara turun temurun.
Maka yang terpenting dari satu warisan budaya adalah soal re-generasi nya. Berbagai faktor modernisasi dan perubahan pola
perilaku dan konsumtif generasi baru patut menjadi peringatan. Karena faktanya
minat geneasi muda terhadap alat musik tradisional semakin tergerus.
Pernyataan menjadi pengrajin tidak banyak menghasilkan pemasukan, bagi Goyong mungkin ada benarnya. Nyatanya saat ini, selain bekerja sebagai pengrajin dan pengajar tehyan, Goyong juga mengumpulkan bahan atau sampah yang bisa didaur ulang yang kemudian dijual ke pengepul untuk menambah penghasilannya.
“Cari
ini (botol-botol atau sampah). Kalau ada job pesanan tehyan saya pere (libur) cari kerompongan. Nanti
kalau udah banyak, ada yang ke sini, tinggal telepon aja orangnya.”
Sampah
atau barang bekas itu Goyong kumpulkan dalam karung-karung besar. Di halaman
rumahnya yang tidak begitu luas, pemandangan berbagai karung menyapa siapa saja
yang melewati rumah berwarna hijau muda, dengan cat yang sebagian luntur dan
sedikit mengelupas. Di sisi kiri halaman rumahnya bahkan karung-karung itu
bersisihan dengan baju yang sedang dijemur. Sedang di sisi kanan karung itu
menumpuk bersama banyaknya batok kelapa dan kayu-kayu yang tersebar di bawah
meja berwarna cokelat, seperti meja sekolah.
Sehari-hari,
Goyong membagi waktu antara membuat tehyan dan mencari barang bekas. Ia tidak
bisa mengandalkan kebutuhan sehari-harinya dari penjualan tehyan saja. Goyong
mengaku pembeli tehyan memang tidak pasti. Dari masyarakat sekitar juga memang
tidak banyak yang membeli, mereka cenderung hanya menikmati pementasan
tehyan-nya saja. Pembeli tehyan memang dari berbagai kalangan: anak-anak, muda,
tua, dan kebanyakan dari luar kota, atau dari instansi pemerintah yang sedang
melakukan program tertentu. Jadi bisa dikatakan mereka yang membeli tehyan
memang karena suka, dan berminat untuk mempelajarinya.
Melan,
kerabat Goyong juga mengatakan warga mayoritas keturunan cina benteng di kelurahan
Mekarsari, kecamatan Neglasari, kota Tangerang ini kebanyakan pekerja, banyak
yang tidak sempat belajar memainkan tehyan, bahkan dirinya pun mengatakan tidak
bisa memainkan tehyan. Juga, dari kesepuluh anak Goyong. Hanya dua anaknya yang
bisa memainkan tehyan dan kadang ikut serta jika ada pementasan. Sedangkan yang
lain memilih bekerja lain profesi untuk menghidupi kebutuhan keluarga mereka.
Perempuan
berusia lima puluh empat yang kini rambut depannya terlihat sedikit memutih itu
mengatakan bermain tehyan tidaklah mudah. Ada teknik yang tidak bisa sembarang
dimainkan. Bunyi dari hasil gesekan gagang ke dua senar pada tehyan itu memang
akan terdengar aneh saat dimainkan oleh orang yang tidak mahir.
Sebagai
kerabat, Melan sangat mendukung keinginan Goyong untuk terus melestarikan
tehyan. Melan bercerita, dulu Goyong sering malu jika disuruh tampil di pentas
bersama kedua orangtuanya. Kesadaran akan pentingnya tehyan memang saat ayahnya
menginggal, dan tetangga meminta Goyong memainkan tehyan. “Terus malu kayanya
dia disuruh tampil tapi nggak jago. Eh tiba-tiba bisa. Nggak tahu saya gimana
dia belajarnya.” kata Melan sambil tertawa.
Gerbang Tjong Tek Bio menuju rumah Goyong
Gapura
berwarna merah dengan tulisan Perkumpulan Tjong Tek Bio menuju rumah warga
menjadi saksi masih dilestarikannya alat musik tradisional sejak tahun 1960-an.
Goyong masih mengingat antusiasme berbagai kalangan di setiap pagelaran tradisi
tehyan ini. Baginya, saat ini minat para tetangga juga bisa dikatakan rendah.
Berbeda seperti zaman dahulu.
Namun
Goyong masih bisa berharap melalui Pemerintah yang sering mengikutsertakan
dirinya dalam pelestarian kebudayaan Indonesia. Seperti baru-baru ini, Goyong
akan tampil di acara kebudayaan di Bangka tanggal enam Juni mendatang. Juga
masih ada segelintir perkumpulan warga di dekat rumahnya yang masih
bersama-sama memainkan pelbagai alat musik dalam gambang kromong untuk mengisi
waktu luang. Sesederhana itu, Goyong senang.
Alat
musik tradisional harus lestari. Goyong menuturkan jangan sampai hilang
alat-alat musik tradisional itu. Ia juga mengharapkan makin banyak generasi
yang berminat mempelajari tehyan. Mereka yang sudah membeli menurut Goyong bisa
juga mengajarkan memainkan tehyan kepada siapa saja. Supaya semakin banyak
generasi yang bisa diandalkan untuk meneruskan alunan musik tradisional sampai
generasi-generasi selanjutnya dan sampai ke luar Indonesia.
No comments:
Post a Comment