Tiara Syabanira Dewantari
00000012415
Bagi kalian warga Tangerang, pasti sudah
tidak asing lagi dengan daerah Cisoka yang berada di Tigaraksa. Tapi, apakah
kalian tahu bahwa Cisoka memiliki tempat bernama Keramat Solear yang memiliki
sejarah penting dalam penyebaran agama Islam di daerah tersebut?
Letak Keramat Solear ini dapat dikatakan
terpencil yaitu di Desa Cikasungka. Bagi kalian yang ingin ke tempat ini
menggunakan kendaraan umum, anda dapat menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) dan
turun di stasiun Cikoya. Dari situ, kita dapat menaiki ojek pangkalan yang
berada di sebelah stasiun. Biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.60.000,- untuk
satu orang, harga itu sudah termasuk jasa tunggu dan pulang-pergi.
Akses kendaraan di tempat ini sangat
sulit, jangan harap jasa transportasi online dapat kita akses di wilayah ini,
karena yang tersedia hanya angkutan umum dan ojek pangkalan. Jadi ada baiknya,
kita membawa kendaraan pribadi saja jika ingin ke Keramat Solear.
Jarak Keramat Solear dari pusat Tangerang
yaitu sekitar 42.5 km. Namun jika kita naik KRL, perjalanan yang
ditempuh memakan waktu kurang lebih sekitar 15 menit dari stasiun menuju
Keramat Solear. Tidak banyak kendaraan yang melintas, namun kebanyakan pengguna
jalan merupakan anak-anak yang mengendarai sepeda motor. Dengan demikian,
perjalanan selama 15 menit pun tidak akan terasa karena jalanan yang
sepi dan pemandangan hijau sejauh mata memandang yang menjadi suguhan sebagai
teman perjalanan.
Sesampainya di lokasi, segerombolan
ibu-ibu pasti akan berbondong-bondong mengerumuni pengunjung yang baru saja
datang. Mereka menawarkan kacang yang dijual dengan harga dua puluh ribu, dan
dengan harga tersebut kita sudah bisa mendapatkan sekantong plastik penuh
kacang tanah.
“Dua puluh ribu saja, penglaris! Abisin
dagangan ibu hari ini.” Terdengar seru salah seorang ibu penjual kacang.
Sekarang, Keramat Solear telah dimanfaatkan oleh warga sekitarnya sebagai
ladang mata pencaharian. Kebanyakan dari mereka merupakan ibu-ibu yang menjual
kacang sebagai makanan untuk para kera yang tinggal di tempat itu.
“Ibu sudah lama di sini, sudah dari kecil
disini. Ya.. dagang aja, soalnya ibu tinggalnya juga masih disekitar sini,”
cerita ibu Yamin, salah seorang penjual kacang.
Beberapa langkah memasuki pintu masuk,
kera-kera yang menghuni keramat Solear pun mengerubungi pengunjung. Satu per
satu, kemudian menjadi kerumunan, mereka pun mengelilingi pengunjung yang baru
saja tiba. Namun tidak perlu takut, karena kera-kera di tempat ini tidak
mengganggu, “gapapa keranya ngga ganggu kok, cuma minta makanan aja,” begitu
kata ibu Yamin, meski terkadang ada dua atau tiga monyet yang coba menarik
paksa kantong plastik berisi kacang milik pengunjung.
Dulunya, dikatakan kera-kera tersebut
berjumlah 40 ekor, namun seiring perkembangan jumlah kera-kera terus bertambah
hingga saat ini dikatakan ada ribuan ekor kera yang ada di Keramat Solear, “ada
tiga kelompok kera di sini, tapi mereka misah dan punya wilayahnya
masing-masing. Ada sebagian juga yang jagain makam,” kata bapak Eddy yang
merupakan salah seorang kuncen makam.
Ribuan kera yang berada di Keramat Solear
ini katanya merupakan perwujudan para santri pengikut Syekh Mas Mas’ad. Para
santri tersebut berubah karena tidak menaati perintah dari Syekh Mas
Mas’ad. “Memang dulunya manusia, cuma karena dijaman raja itu, misalnya ya
nggak suka tuh lalu disumpah ‘najis kamu jangan dekat dekat, seperti bedul
kamu!’ itu kemudian orang itu berubah lah jadi bedul,” kata Ali Rohman atau yang
akrab disapa abah Awing oleh warga sekitar.
Jalan konblok menjadi penuntun para
pengunjung dan peziarah untuk berjalan menelusuri wilayah Keramat Solear.
Pepohonan yang menjulang tinggi dan rindang memberikan kesan sejuk pada tempat
ini, dengan sesekali memberi kacang kepada kera yang menghampiri menjadi ciri
khas Keramat Solear yang dikenal sebagai tempat yang dihuni oleh ribuan kera
oleh warga sekitar.
Makam yang pertama kali dapat kita jumpai
merupakan makam Syekh Mas Mas’ad yang merupakan makam yang paling sering
dijumpai oleh para peziarah. Beliau merupakan salah seorang ulama yang
diutus untuk menyebarkan agama Islam di wilayah ini. Makamnya
terletak tepat dibawah pohon tua dan dikelilingi oleh tembok pendopo.
“Syekh Mas Mas’ad itu julukan perjalanan.
Dulu riwayat Syekh Mas Mas’ad itu Sultan Tirta Maulana Kusuma Jaya Ningrat,
kalau sekarang disebutnya Syekh. Kalo dibilang abah itu Syekh itu kan panutan,
Mas Mas’ad itu permaksudan, yang mengatur permaksudan itu adalah Sultan Tirta
Maulana Kusuma Jaya Ningrat atau Syekh Mas Mas’ad itu orangnya,” jelas abah
Awing.
***
Makam keramat Syekh Mas Mas’ad beserta
ribuan kera yang berkeliaran di kawasan tersebut, tak luput dari sejarah
penyebaran agama Islam di Cisoka dan sekitar. Kawasan Keramat Solear telah ada
sejak abad ke-16.
Penyebaran agama Islam pada zaman
Kesultanan Banten berkembang sangat pesat hingga ke daerah pedalaman. Para
ulama diutus untuk menyebarkan agama ini dengan kedamaian. Ulama yang diutus
oleh Maha Prabu Samparan (Prabu Selo Kuning) adalah seorang panglima
tentara Islam, yaitu Syekh Mas Mas’ad. Maha Prabu Samparan atau Prabu Selo
Kuning tak lain adalah ayah handa dari Syekh Mas Mas’ad sendiri. Syekh diutus
ke daerah yang sekarang disebut Cisoka, dengan dikawal oleh ratusan tentara.
Syekh Mas Mas’ad dikenal dengan seorang ulama yang disegani dan bijaksana.
Beliau mendirikan pesantren sebagai tempat untuk pendidikan dan penyebaran
agama Islam di wilayah tersebut.
Pada saat Syekh Mas Mas’ad menyebarkan agama
Islam di wilayah itu, penduduk masih memeluk agama Hindu dan berada di bawah
pimpinan Raja Pajajaran. Saat usaha Syekh Mas Mas’ad untuk menyebarkan agama
Islam diketahui oleh pihak kerajaan Pajajaran, mereka pun tidak tinggal diam,
pihak Pajajaran mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Ki Buyut Seteng dan Ki Mas
Laeng. Ki Mas Laeng dipandang sebagai sosok yang berwibawa oleh para
prajuritnya. Wakilnya yang bernama Ki Buyut Seteng berasal dari Sumedang
wilayah kerajaan Pajajaran. Ki Buyut Seteng terkenal dengan kesaktiannya.
Perjalanan yang ditempuh oleh para
pasukan Pajajaran memakan waktu berhari-hari, hingga akhirnya mereka tiba di
wilayah perbatasan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti mandi dan minum,
mereka menebang pohon-pohon hutan yang kemudian kayunya tersebut digunakan
untuk membuat sumur Siuka (Ciduk) yang berada di Pancuran Mas. Lama kelamaan
wilayah ini disebut sebagai Katomas yang kini terletak di Jalan Syekh Mubarok,
Tigaraksa.
Dari bagian timur wilayah Syekh Mas
Mas’ad, Ki Mas Laeng mengawasi wilayah Syekh Mas Mas’ad yang berada di bagian
barat. Rupanya kedua belah pihak, baik Syekh Mas Mas’ad dan Ki Mas Laeng, telah
mengetahui kehadiran pasukan masing-masing.
Untuk menghindari terjadinya pertikaian,
Syekh Mas Mas’ad kemudian mengirim utusan dengan menyampaikan tujuan
menyebarkan agama Islam kepada pihak Ki Mas Laeng. Namun ajakan tersebut
ditepiskan oleh Ki Mas Laeng demi menjaga nama baik kerajaan. Suasana
peperangan pun semakin terasa di wilayah perbatasan tersebut. Perang tak terhindarkan
terjadi selama berbulan-bulan lamanya, hingga memakan banyak korban jiwa.
Namun pada saat itu juga, duka
menyelimuti pihak Syekh Mas Mas’ad karena beliau meninggal dunia karena sakit.
Siapakah yang meneruskan perjuangan Syekh Mas Mas’ad? Tak lama, diutuslah
seorang ulama yang bernama Syekh Mubarok. Menurut cerita, Syekh Mubarok
memiliki nama asli yaitu Abdullah Muhammad bin Umar bin Ibrohim Attalmasani.
Untuk nama Syekh Mubarok sendiri itu memiliki arti ‘yang memberikan
kebarokahan’. Kehadiran beliau disambut hangat oleh para santri dan penduduk.
Beliau memulai dakwahnya dengan
memperdalam ajaran akidah, membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berasal
dari kitab tulis tangan dan para santri pun mendengarkan dengan taqdim. Sebagai
pendalaman tauhid, Syekh Mubarok memusakakan sebuah kitab, yaitu ‘Sya Batal
Iman’ yang berarti cabang iman. Beberapa kitab seperti ‘Nahwu’ dan ‘Tafsir’.
Pihak Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng
pun kembali mengetahui kehadiran seorang ulama di daerah perbatasan. Mereka pun
mempersiapkan pasukannya untuk melakukan penyerangan lagi. Namun Syekh Mubarok
mengirimkan utusan untuk mencegah terjadinya kembali perang dengan pihak Ki Mas
Laeng, ia menyampaikan bahwa kehadirannya ke tempat ini bukan untuk perang,
melainkan untuk menyebarkan agama Islam. Namun tawaran berdamai tersebut
ditolak oleh Ki Mas Laeng dan memilih untuk tetap menyerang pihak Syekh
Mubarok.
Perang beradu senjata pun tidak
terhindarkan. Korban terus berjatuhan dan semua hanya menyisakan keletihan raga
dan batin para prajurit, santri, dan penduduk. Rasa kehilangan yang juga
dirasakan oleh para wanita yang ditinggal oleh suaminya menjanda. Ki Mas Laeng
merasakan luka yang begitu dalam atas hal ini, begitu juga pula Syekh Mubarok.
Keesokan paginya, suasana terasa begitu
berbeda. Para warga memadati tempat yang telah didirikan tenda. Pada jalan
utama, terdapat para pemuda berdiri tegap, berpakaian silat putih dengan
lencana prajurit kesultanan di dada dan sorban dikepalanya, berjajar pada sisi
kiri dan kanan.
Dari arah barat, terlihat sosok pria
menunggangi kuda dengan kalung lencana di dadanya yang menunjukkan bahwa ia
adalah seorang pemimpin. Secara bersamaan, terlihat pula lelaki mengiringinya
yang juga mengenakan lencana, namun berbeda dengan pria di depannya. Mereka
adalah Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng. Puluhan prajurit berbanjar di belakang
Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng. Para santri mempersilahkan rombongan tersebut
menaiki selasar,
Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng pun
menduduki kursi yang telah disediakan dengan para perwira berdiri disamping
mereka. Dihadapan mereka, terdapat para perwira dari kesultanan Banten.
Suasana hening dan tegang menyelimuti pertemuan kedua belah pihak
tersebut. Tak lama, munculah dari arah dalam tenda seorang berjubah putih
dan bersurban. Semua yang berada di dalam ruangan tersebut terdiam dan menoleh
kearahnya. Kini tempat tersebut disebut Pasanggrahan yang merupakan salah satu
desa yang berada di wilayah kecamatan Solear.
Dalam pertemuan tersebut, Syekh Mubarok
mengajak Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng untuk memusyawarahkan jalan keluar
dari peperangan yang terjadi. Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng merenungi ajakan
perdamaian Syekh Mubarok, begitu pula semua yang hadir di tempat tersebut.
Mereka yang hadir berbisik-bisik menanti hasil musyawarah dari kedua belah
pihak. Setelah sekian lama perundingan berlangsung,
Akhirnya keputusan ditetapkan. Kedua
belah pihak memilih untuk berdamai, tidak ada lagi peperangan yang hanya akan
memberikan kesengsaraan. Kedua pemimpin pasukan Pajajaran pun akhirnya menjadi
muslim dengan Syekh Mubarok membimbing Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng
mengucap dua kaliamat syahadat. Rasa haru menyelimuti para santri, penduduk,
prajurit kesultanan Banten dan Pajajaran yang hadir dan menyaksikan. Bahagia
terasa karena mereka tahu bahwa mereka telah terbebas dari pertikaian yang
hanya membawa sengsara kedua pihak dan akhirnya mereka melihat kedamaian di
depan mata.
Wilayah pertemuan perdamaian tersebut lalu
disebut Cisoca yang berarti air mata (cai soca) dan sekarang menjadi Cisoka.
Nama yang diberikan karena saat perdamaian, mereka tak kuasa menahan tangis
bahagia.
***
Kini, Keramat Solear telah dijadikan
sebagai salah satu destinasi wisata oleh orang-orang dari berbagai tempat.
Selain para pengunjung datang untuk melihat aktivitas ribuan kera berkeliaran,
tempat ini sering juga didatangi oleh peziarah dari berbagai daerah.
“Yang ziarah ke sini banyak, dari
macam-macam daerah, tidak hanya dari sekitar Jabodetabek. Kemarin baru saja ada
yang datang dari Belanda,” kata bapak Eddy. “Tempat ini rame kalo hari Minggu.
Kemaren juga sebelum puasa dan pas lebaran juga pasti rame.”
No comments:
Post a Comment