Friday, 2 June 2017

Keramat Solear, Pusat Penyebaran Islam di Cisoka


Tiara Syabanira Dewantari
00000012415


Bagi kalian warga Tangerang, pasti sudah tidak asing lagi dengan daerah Cisoka yang berada di Tigaraksa. Tapi, apakah kalian tahu bahwa Cisoka memiliki tempat bernama Keramat Solear yang memiliki sejarah penting dalam penyebaran agama Islam di daerah tersebut?


Letak Keramat Solear ini dapat dikatakan terpencil yaitu di Desa Cikasungka. Bagi kalian yang ingin ke tempat ini menggunakan kendaraan umum, anda dapat menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) dan turun di stasiun Cikoya. Dari situ, kita dapat menaiki ojek pangkalan yang berada di sebelah stasiun. Biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.60.000,- untuk satu orang, harga itu sudah termasuk jasa tunggu dan pulang-pergi.
Akses kendaraan di tempat ini sangat sulit, jangan harap jasa transportasi online dapat kita akses di wilayah ini, karena yang tersedia hanya angkutan umum dan ojek pangkalan. Jadi ada baiknya, kita membawa kendaraan pribadi saja jika ingin ke Keramat Solear.
Jarak Keramat Solear dari pusat Tangerang yaitu sekitar 42.5 km. Namun jika kita naik KRL, perjalanan yang ditempuh memakan waktu kurang lebih sekitar 15 menit dari stasiun menuju Keramat Solear. Tidak banyak kendaraan yang melintas, namun kebanyakan pengguna jalan merupakan anak-anak yang mengendarai sepeda motor. Dengan demikian, perjalanan selama 15  menit pun tidak akan terasa karena jalanan yang sepi dan pemandangan hijau sejauh mata memandang yang menjadi suguhan sebagai teman perjalanan.
Sesampainya di lokasi, segerombolan ibu-ibu pasti akan berbondong-bondong mengerumuni pengunjung yang baru saja datang. Mereka menawarkan kacang yang dijual dengan harga dua puluh ribu, dan dengan harga tersebut kita sudah bisa mendapatkan sekantong plastik penuh kacang tanah.
“Dua puluh ribu saja, penglaris! Abisin dagangan ibu hari ini.” Terdengar seru salah seorang ibu penjual kacang. Sekarang, Keramat Solear telah dimanfaatkan oleh warga sekitarnya sebagai ladang mata pencaharian. Kebanyakan dari mereka merupakan ibu-ibu yang menjual kacang sebagai makanan untuk para kera yang tinggal di tempat itu.
“Ibu sudah lama di sini, sudah dari kecil disini. Ya.. dagang aja, soalnya ibu tinggalnya juga masih disekitar sini,” cerita ibu Yamin, salah seorang penjual kacang.
Beberapa langkah memasuki pintu masuk, kera-kera yang menghuni keramat Solear pun mengerubungi pengunjung. Satu per satu, kemudian menjadi kerumunan, mereka pun mengelilingi pengunjung yang baru saja tiba. Namun tidak perlu takut, karena kera-kera di tempat ini tidak mengganggu, “gapapa keranya ngga ganggu kok, cuma minta makanan aja,” begitu kata ibu Yamin, meski terkadang ada dua atau tiga monyet yang coba menarik paksa kantong plastik berisi kacang milik pengunjung.
Dulunya, dikatakan kera-kera tersebut berjumlah 40 ekor, namun seiring perkembangan jumlah kera-kera terus bertambah hingga saat ini dikatakan ada ribuan ekor kera yang ada di Keramat Solear, “ada tiga kelompok kera di sini, tapi mereka misah dan punya wilayahnya masing-masing. Ada sebagian juga yang jagain makam,” kata bapak Eddy yang merupakan salah seorang kuncen makam.
Ribuan kera yang berada di Keramat Solear ini katanya merupakan perwujudan para santri pengikut Syekh Mas Mas’ad. Para santri tersebut berubah karena tidak menaati perintah dari Syekh Mas Mas’ad. “Memang dulunya manusia, cuma karena dijaman raja itu, misalnya ya nggak suka tuh lalu disumpah ‘najis kamu jangan dekat dekat, seperti bedul kamu!’ itu kemudian orang itu berubah lah jadi bedul,” kata Ali Rohman atau yang akrab disapa abah Awing oleh warga sekitar.
Jalan konblok menjadi penuntun para pengunjung dan peziarah untuk berjalan menelusuri wilayah Keramat Solear. Pepohonan yang menjulang tinggi dan rindang memberikan kesan sejuk pada tempat ini, dengan sesekali memberi kacang kepada kera yang menghampiri menjadi ciri khas Keramat Solear yang dikenal sebagai tempat yang dihuni oleh ribuan kera oleh warga sekitar.
Makam yang pertama kali dapat kita jumpai merupakan makam Syekh Mas Mas’ad yang merupakan makam yang paling sering dijumpai oleh para peziarah. Beliau merupakan salah seorang ulama yang diutus  untuk menyebarkan agama Islam di wilayah ini. Makamnya terletak tepat dibawah pohon tua dan dikelilingi oleh tembok pendopo.
“Syekh Mas Mas’ad itu julukan perjalanan. Dulu riwayat Syekh Mas Mas’ad itu Sultan Tirta Maulana Kusuma Jaya Ningrat, kalau sekarang disebutnya Syekh. Kalo dibilang abah itu Syekh itu kan panutan, Mas Mas’ad itu permaksudan, yang mengatur permaksudan itu adalah Sultan Tirta Maulana Kusuma Jaya Ningrat atau Syekh Mas Mas’ad itu orangnya,” jelas abah Awing.
***
Makam keramat Syekh Mas Mas’ad beserta ribuan kera yang berkeliaran di kawasan tersebut, tak luput dari sejarah penyebaran agama Islam di Cisoka dan sekitar. Kawasan Keramat Solear telah ada sejak abad ke-16.
Penyebaran agama Islam pada zaman Kesultanan Banten berkembang sangat pesat hingga ke daerah pedalaman. Para ulama diutus untuk menyebarkan agama ini dengan kedamaian. Ulama yang diutus oleh Maha Prabu Samparan (Prabu Selo Kuning) adalah seorang panglima tentara Islam, yaitu Syekh Mas Mas’ad. Maha Prabu Samparan atau Prabu Selo Kuning tak lain adalah ayah handa dari Syekh Mas Mas’ad sendiri. Syekh diutus ke daerah yang sekarang disebut Cisoka, dengan dikawal oleh ratusan tentara. Syekh Mas Mas’ad dikenal dengan seorang ulama yang disegani dan bijaksana. Beliau mendirikan pesantren sebagai tempat untuk pendidikan dan penyebaran agama Islam di wilayah tersebut.
Pada saat Syekh Mas Mas’ad menyebarkan agama Islam di wilayah itu, penduduk masih memeluk agama Hindu dan berada di bawah pimpinan Raja Pajajaran. Saat usaha Syekh Mas Mas’ad untuk menyebarkan agama Islam diketahui oleh pihak kerajaan Pajajaran, mereka pun tidak tinggal diam, pihak Pajajaran mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Ki Buyut Seteng dan Ki Mas Laeng. Ki Mas Laeng dipandang sebagai sosok yang berwibawa oleh para prajuritnya. Wakilnya yang bernama Ki Buyut Seteng berasal dari Sumedang wilayah kerajaan Pajajaran. Ki Buyut Seteng terkenal dengan kesaktiannya.
Perjalanan yang ditempuh oleh para pasukan Pajajaran memakan waktu berhari-hari, hingga akhirnya mereka tiba di wilayah perbatasan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti mandi dan minum, mereka menebang pohon-pohon hutan yang kemudian kayunya tersebut digunakan untuk membuat sumur Siuka (Ciduk) yang berada di Pancuran Mas. Lama kelamaan wilayah ini disebut sebagai Katomas yang kini terletak di Jalan Syekh Mubarok, Tigaraksa.
Dari bagian timur wilayah Syekh Mas Mas’ad, Ki Mas Laeng mengawasi wilayah Syekh Mas Mas’ad yang berada di bagian barat. Rupanya kedua belah pihak, baik Syekh Mas Mas’ad dan Ki Mas Laeng, telah mengetahui kehadiran pasukan masing-masing.
Untuk menghindari terjadinya pertikaian, Syekh Mas Mas’ad kemudian mengirim utusan dengan menyampaikan tujuan menyebarkan agama Islam kepada pihak Ki Mas Laeng. Namun ajakan tersebut ditepiskan oleh Ki Mas Laeng demi menjaga nama baik kerajaan. Suasana peperangan pun semakin terasa di wilayah perbatasan tersebut. Perang tak terhindarkan terjadi selama berbulan-bulan lamanya, hingga memakan banyak korban jiwa.
Namun pada saat itu juga, duka menyelimuti pihak Syekh Mas Mas’ad karena beliau meninggal dunia karena sakit. Siapakah yang meneruskan perjuangan Syekh Mas Mas’ad? Tak lama, diutuslah seorang ulama yang bernama Syekh Mubarok. Menurut cerita, Syekh Mubarok memiliki nama asli yaitu Abdullah Muhammad bin Umar bin Ibrohim Attalmasani. Untuk nama Syekh Mubarok sendiri itu memiliki arti ‘yang memberikan kebarokahan’. Kehadiran beliau disambut hangat oleh para santri dan penduduk.
Beliau memulai dakwahnya dengan memperdalam ajaran akidah, membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berasal dari kitab tulis tangan dan para santri pun mendengarkan dengan taqdim. Sebagai pendalaman tauhid, Syekh Mubarok memusakakan sebuah kitab, yaitu ‘Sya Batal Iman’ yang berarti cabang iman. Beberapa kitab seperti ‘Nahwu’ dan ‘Tafsir’.
Pihak Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng pun kembali mengetahui kehadiran seorang ulama di daerah perbatasan. Mereka pun mempersiapkan pasukannya untuk melakukan penyerangan lagi. Namun Syekh Mubarok mengirimkan utusan untuk mencegah terjadinya kembali perang dengan pihak Ki Mas Laeng, ia menyampaikan bahwa kehadirannya ke tempat ini bukan untuk perang, melainkan untuk menyebarkan agama Islam. Namun tawaran berdamai tersebut ditolak oleh Ki Mas Laeng dan memilih untuk tetap menyerang pihak Syekh Mubarok.
Perang beradu senjata pun tidak terhindarkan. Korban terus berjatuhan dan semua hanya menyisakan keletihan raga dan batin para prajurit, santri, dan penduduk. Rasa kehilangan yang juga dirasakan oleh para wanita yang ditinggal oleh suaminya menjanda. Ki Mas Laeng merasakan luka yang begitu dalam atas hal ini, begitu juga pula Syekh Mubarok.
Keesokan paginya, suasana terasa begitu berbeda. Para warga memadati tempat yang telah didirikan tenda. Pada jalan utama, terdapat para pemuda berdiri tegap, berpakaian silat putih dengan lencana prajurit kesultanan di dada dan sorban dikepalanya, berjajar pada sisi kiri dan kanan.
Dari arah barat, terlihat sosok pria menunggangi kuda dengan kalung lencana di dadanya yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemimpin. Secara bersamaan, terlihat pula lelaki mengiringinya yang juga mengenakan lencana, namun berbeda dengan pria di depannya. Mereka adalah Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng. Puluhan prajurit berbanjar di belakang Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng. Para santri mempersilahkan rombongan tersebut menaiki selasar,
Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng pun menduduki kursi yang telah disediakan dengan para perwira berdiri disamping mereka. Dihadapan mereka, terdapat para perwira dari kesultanan Banten. Suasana hening dan tegang menyelimuti pertemuan kedua belah pihak tersebut. Tak lama, munculah dari arah dalam tenda seorang berjubah putih dan bersurban. Semua yang berada di dalam ruangan tersebut terdiam dan menoleh kearahnya. Kini tempat tersebut disebut Pasanggrahan yang merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Solear.
Dalam pertemuan tersebut, Syekh Mubarok mengajak Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng untuk memusyawarahkan jalan keluar dari peperangan yang terjadi. Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng merenungi ajakan perdamaian Syekh Mubarok, begitu pula semua yang hadir di tempat tersebut. Mereka yang hadir berbisik-bisik menanti hasil musyawarah dari kedua belah pihak. Setelah sekian lama perundingan berlangsung,
Akhirnya keputusan ditetapkan. Kedua belah pihak memilih untuk berdamai, tidak ada lagi peperangan yang hanya akan memberikan kesengsaraan. Kedua pemimpin pasukan Pajajaran pun akhirnya menjadi muslim dengan Syekh Mubarok membimbing Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng mengucap dua kaliamat syahadat. Rasa haru menyelimuti para santri, penduduk, prajurit kesultanan Banten dan Pajajaran yang hadir dan menyaksikan. Bahagia terasa karena mereka tahu bahwa mereka telah terbebas dari pertikaian yang hanya membawa sengsara kedua pihak dan akhirnya mereka melihat kedamaian di depan mata.
Wilayah pertemuan perdamaian tersebut lalu disebut Cisoca yang berarti air mata (cai soca) dan sekarang menjadi Cisoka. Nama yang diberikan karena saat perdamaian, mereka tak kuasa menahan tangis bahagia.
***
Kini, Keramat Solear telah dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata oleh orang-orang dari berbagai tempat. Selain para pengunjung datang untuk melihat aktivitas ribuan kera berkeliaran, tempat ini sering juga didatangi oleh peziarah dari berbagai daerah.
“Yang ziarah ke sini banyak, dari macam-macam daerah, tidak hanya dari sekitar Jabodetabek. Kemarin baru saja ada yang datang dari Belanda,” kata bapak Eddy. “Tempat ini rame kalo hari Minggu. Kemaren juga sebelum puasa dan pas lebaran juga pasti rame.” 

No comments:

Post a Comment