Mengingat Kembali Sejarah Dibalik Klenteng Boen Tek Bio
Oleh: Cherish Editia Liharja / 00000009043
Bangunan utama Klenteng Boen Tek Bio disiang hari
Di pasar, yang terdengar adalah kata-kata ini: “Ayo
Buk! Dibeli, ikannya masih boleh ini! Masih seger seger tuh!”, “cabenya
seperapat berapa buk?” “lima belas ribu”, “plastik plastik! Buk, belanjaannya
mau dipakein plastik?”. Begitu masuk ke halaman klenteng Boen Tek Bio, yang
terdengar adalah: “…………..”
Selasa, suasana daerah Pasar Lama siang itu bagi saya
sama seperti biasanya. Ramai dan macet oleh mobil dan motor yang hendak masuk.
Dikawasan Pasar Lama, jalan raya terbagi menjadi tiga, patokannya itu jam yang
berdiri kurang lebih tingginya 3-5 meter didepan jalan masuk Pasar Lama (yang
punya tanda gerbang warna biru dengan lambang kota Tangerang ditengahnya). Jalan
paling kanan kearah GOR Damyati, jalan yang tengah adalah jalan utama kawasan
Pasar Lama−berupa deretan ruko ruko dengan desain tempo dulu−dan yang paling
kanan, gang kecil yang becek dan basah yang dipenuhi orang, teriakan dari para
pedagang, dan juga pertanyaan dari para pembeli. Sesekali motor juga becak
menerobos masuk. Gang kecil nan becek inilah merupakan “pasar” yang
sesungguhnya, sebuah pasar tradisional−benar benar tradisional.
Jika mengikuti terus jalan pasar ini, diujungnya jalan
akan terbagi lagi. Kanan kearah jalan utama, dan kiri kearah rumah-rumah yang
berada disamping kali Cisadane. Klenteng Boen Tek Bio berada dikiri pasar, di
persimpangan jalan Bhakti dan jalan Cilame. Tepatnya di jalan Bhakti no.14 Kota
Tangerang. Warna klentengnya mencolok, merah seperti warna kulit tomat. Tetapi
dengan sedikit warna oranye pada merahnya, sehingga benar-benar mencolok dan
terang. Klentengnya dipagari oleh pagar besi yang tidak terlalu tinggi,
kira-kira tingginya se-dada untuk orang dengan tinggi 160cm. Di depan Klenteng
ada semacam café, yang isinya sebagian anak-anak sekolahan (kira-kira SMP) dan
beberapa ibu-ibu yang sepertinya sedang istirahat setelah cape berbelanja.
Klenteng Boen Tek Bio, yang diperkiran berdiri tahun 1684
merupakan satu dari 3 klenteng tertua di daerah Tangerang. Dua klenteng lainnya
adalah Klenteng Boen San Bio (1689) di Pasar Baru, dan Klenteng Boen Hay Bio
(1694) di Serpong. Uniknya, 3 Klenteng ini bila dilihat dari atas, membentuk sebuah
garis lurus. Saat masuk ke halaman Klenteng Boen Tek Bio, entah kenapa rasanya
sangat berbeda. Tidak peduli saat itu pagi, siang, sore, ataupun malam, entah kenapa,
suara hiruk pikuk orang-orang di pasar tidak terlalu terdengar. Yang ada hanya
suara yang tenang, dan sesekali terdengar doa yang sedang dipanjatkan. Selain
itu, arsitekturnya yang kental dengan nuansa budaya Tiongkok juga menambah
kemegahan Klenteng Boen Tek Bio.
Tapi pada hari itu, tujuan saya pergi ke Klenteng Boen
Tek Bio bukan untuk mengagumi kemegahannya dan ketenangannya, melainkan untuk
mencari seseorang yang mengetahui tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio ini.
Kemudian saya dibawa oleh seseorang menemui Oey Tjin Eng, seorang sejarawan dan
budayawan Tangerang yang sudah hafal diluar kepala tentang sejarah Klenteng
Boen Tek Bio. Saya bertemu Engkong Tjin Eng−sapaan akrabnya−saat ia sedang
berada di Toa Pekong Air (Prasasti Tangga Jamban), memakai baju kuning dan
kacamata hitam. Ternyata engkong Tjin Eng menjadi bagian dari panitia acara Peh
Cun kota Tangerang yang rutin diadakan setiap tahunnya.
***
Keesokan harinya, Rabu,
saya bertemu lagi dengan engkong Tjin Eng. Engkong Tjin Eng berkata “jika
berbicara tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio, berarti tidak lepas juga dari
sejarah kedatangan orang Tionghoa di Tangerang”. Kemudian engkong Tjin Eng
bercerita, meskipun sebenarnya kedatangan orang Tionghoa di Tangerang belum
diketahui secara pasti, tetapi kedatangan orang-orang Tionghoa ini disebut
dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul “Tina Layang Parahyang” (Catatan dari
Parahyangan). Dalam kitab tersebut diceritakan, rombongan Tjen Tjie Lung
(Halung) mendarat di daerah Teluk Naga yang merupakan muara dari sungai
Cisadane pada tahun 1407. Pemerintahan pada waktu itu dipegang oleh Sanghyang
Anggalarang, wakil dari Kerajaan Pajajaran.
Perahu jung rombongan
Halung saat itu rusak dan kehabisan perbekalan, sehingga mereka terdampar,
sementara daerah tujuan rombongan Halung semula adalah Jayakarta. Dalam
rombongan Halung terdapat 9 orang gadis yang cantik, yang kemudian disunting
oleh para prajurit Sanghyang Anggalarang dengan kompensasi sebidang tanah.
Dalam rombongan Halung juga terdapat laki-laki, yang kemudian para laki-laki
ini menikahi gadis penduduk setempat. Hasil pernikahan inilah yang kemudian disebut
sebagai peranakan Tionghoa.
Setelah berkembang,
Peranakan Tionghoa ini membuka lahan baru yang disebut sebagai Desa Pangkalan
di daerah Teluk Naga juga. Peranakan ini kemudian mengaku sebagai Tang Lang
atau Tang Ren (orang dinasti Tang). Setelah dua daerah ini berkembang, mereka
mulai mencari lahan baru melalui jalur sungai, antara lain Pasar Lama, Pasar
Baru, dan Serpong. Menurut Tom Pires juga, seorang pelaut berkebangsaan
Portugis, tahun 1513 sudah ada komunitas Tionghoa di Tangerang.
“Ini, kemudian
komunitas Tionghoa ini kan jadi semakin membesar, kemudian mereka berpencar deh
tuh, ada yang pergi ke daerah Pondok Cabe, ke Pondok Jagung, Pondok Aren,
Pondok Pinang, ada juga yang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Nah di depan
Klenteng itu tuh, namanya Petak Sembilan” ujar engkong Tjin Eng.
***
Kembali lagi kita ke
cerita sejarah klenteng, Klenteng Boen Tek Bio pada awalnya dibuat oleh tuan
tanah (kapitan). Engkong Tjin Eng juga menceritakan, Klenteng pada awalnya,
pada zaman dahulu, tidak bisa dibuat oleh warga umum, pembuatan Klenteng selalu
dimulai oleh tuan tanah. Dibuat oleh pribadi terlebih dahulu. Nama Boen Tek Bio
memiliki arti dari setiap katanya. Boen artinya Intelektual, Tek artinya
kebajikan dan Bio yang berarti ibadah. Bila digabungkan maka Boen Tek Bio akan
memiliki arti “suatu
tempat bagi umat untuk menjadi insan yang penuh kebajikan dan intelektual”.
Jika jeli, ia mengatakan, nama 3 klenteng tertua di
Tangerang semuanya diawali oleh kata “Boen”. Hal ini karena 3 klenteng ini
dibuat oleh kelompok orang yang sama. Meskipun dibuat oleh kelompok orang yang
sama, tidak jelas siapa pendiri Klenteng Boen Tek Bio. Pada tahun 1942, di
Klenteng Boen Tek Bio terdapat 2 pendeta, saat tantara Jepang datang salah satu
pendeta kemudian pergi untuk menyelamatkan (mengamankan) arsip-arsip yang
terdapat di klenteng Boen Tek Bio, tetapi kemudian pendeta itu tidak terlihat
lagi. Sehingga arsip-arsip tersebut ikut hilang Bersama pendetanya juga.
Sementara itu, bangunan Klenteng Boen Tek Bio yang
sekarang ini sangat berbeda dari saat awal dibangun, “klenteng Boen Tek Bio
sendiri sudah setidaknya mengalami 3 kali renovasi” ujarnya. Renovasi pertama
mengubah bagian gedung yang berada ditengah yang terdapat altar utama pada
tahun 1844, renovasi kedua mengubah sisi (bangunan bagian) kiri dan kanan klenteng
pada tahun 1875, yang ketiga yaitu tiang naga (pilar dengan dekorasi naga) yang
berada didepan altar utama dan pintu merah yang terdapat bagian belakang
Klenteng pada tahun 1904. Selain itu, barang-barang yang terdapat di Klenteng
Boen Tek Bio juga merupakan barang-barang yang didatangkan langsung dari
Tiongkok.
***
Dalam buku kenangan
Prosesi 12 Tahunan YMS Kwan Im Hud Chou ke-14 2563/2012, yang dikeluarkan oleh Perkumpulan
Keagamaan dan Sosial “Boen Tek Bio” Kota Tangerang, yang dipinjamkan kepada
saya oleh Engkong Tjin Eng, klenteng dikatakan sebagai suatu khas yang hanya
ada di Indonesia. Hal ini karena nama tempat yang sebenarnya bukanlah
“klenteng” melainkan “kuil”. Kata “klenteng” tercipta berdasarkan 3 asumsi.
Yang pertama, dan merupakan hal yang paling mendekati
kebenaran adalah kata “klenteng” berasal dari bunyi instrument sembahyang
(lonceng genta) yang berbunyi “teng… teng…”. Sehingga kemudian masyarakat
setempat menamakan bangunannya sebagai klenteng. Yang kedua, nama klenteng
berasal dari nama Kwan Im Teng. Meskipun asumsi ini menjadi lemah karena nama
“Kwan Im Teng” bila disamakan dengan “klenteng” tidak nyambung sama sekali.
Selain itu, tidak semua klenteng mempunyai pendopo untuk Kwan Im Teng walau
sebagian ada yang memilikinya. Asumsi yang ketiga dan terakhir adalah sangkaan
bahwa klenteng dihubungkan dengan minyak biji kapok atau “kelenteng” (dengan e
seperti dalam peletup). Asumsi ini juga menjadi lemah karena biji kapok bukan
hanya satu-satunya jenis minyak yang dipakai, selain itu penggunaan minyak biji
kapok juga umum tidak khusus. Meskipun begitu, kata “Klenteng” menjadi nama
khas di Indonesia. Selain itu, klenteng juga mempunyai 3 nilai yaitu; agami,
ibadah, dan kemasyarakatan.
Masih dari buku yang sama, mengenai sejarah, asal
muasal kata “kuil”. Sejarah mencatat, kata “kuil” dalam bentuk awalannya adalah
huruf Bio/Miao yang muncul dalam Kitab Suci Agama Khonghucu (muncul dalam kitab
Ngo Keng/Wu Jing juga Su Si/Si Shu) sebagai tempat ibadah kehadiran Tuhan,
kehadapan bumi/alam, kepada leluhur manusia. Dengan demikian, kuil sembahyang
kehadirat Tuhan (Maha Leluhur Manusia), ucapan syukur kehadapan bumi, juga
bakti hormat kepada leluhur yang telah mendahului, dan dalam perkembangannya
berubah menjadi sarana ibadah agama.
Sesudah semua cerita dan hal-hal yang saya baca dari
buku yang dipinjamkan, saya merasa mata saya terbuka. Saya tidak pernah tahu
soal sejarah Klenteng Boen Tek Bio, ataupun sejarah daerah Pasar Lama, maupun
sejarah keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang ini. Saya merasa, betapa
beruntung bisa bertanya dan mengetahui cerita bagaimana komunitas Tionghoa bisa
berada dan akhirnya berkembang di daerang Tangerang ini.
***
Meskipun sudah selesai
engkong Tjin Eng bercerita tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio, saya pun
teringat satu hal. Kemudian saya kembali menanyakan sebuah pertanyaan “saya
melihat di website klenteng Boen Tek Bio, bahwa klenteng Boen Tek Bio ini bisa
digunakan untuk acara agama Buddha dan Konghucu, jadi, sebenarnya, Klenteng
Boen Tek Bio ini untuk agama yang mana?” kemudian, engkong Tjin-Eng pun
menjawab “Klenteng Boen Tek Bio ini untuk umat Buddha, Konghucu, dan Tao.
Orang-orang yang ke Klenteng itu biasanya, umumnya, adalah orang-orang yang
menganut Buddha Mahayana. Kalau untuk orang-orang yang menganut Buddha
Theravada, mereka punya vihara sendiri”.
***
Setelah Engkong Tjin
Eng bercerita panjang lebar sambil membuka halaman-halaman buku yang dibawanya
untuk membantu saya memahami tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio, dan
menjawab pertanyaan yang saya ajukan, saya menyadari, bahwa bangunan Klenteng
merah yang umurnya sudah sangat tua itu menyimpan banyak sekali cerita yang
belum diketahui orang banyak. Dan bahwa bangunan, juga tradisi dan cerita
tentang sejarah Klenteng Boen Tek Bio ini juga harus terus diturunkan kepada
anak cucu, agar mereka semakin memahami tentang budaya Indonesia yang beragam
warna ini.
No comments:
Post a Comment