AIR
BERSIH DI KAMPUNG CINA BOJONG NANGKA
(ANNISA
MAULIDA / 00000012509)
Sepuluh jerigen yang berwarna mulai
dari biru muda hingga biru tua berisikan air bersih, diletakan digerobak dan siap
diantar ke pembeli. Gerobak didorong oleh penjual air menuju ke tempat pemesan air. Pembeli yang termasuk juga para pelanggan merupakan warga
perumahan Dasana Indah yang berbatasan langsung dengan Kampung Cina. Mereka
membeli air karena tidak memiliki pasokan air bersih dirumahnya. Melihat peluang
itu, beberapa penduduk di Kampung Cina menjual air mereka ke para warga
perumahan.
Para
penjual air bersih gerobak sudah mulai mengisi jerigen-jerigen mereka dengan
air bersih sejak pagi. Ditemani suara krenceng-krenceng yang berasal dari
kaleng bekas yang tertarik tali yang diikatkan pada kaleng-kaleng itu
mengeluarkan suara khas kaleng yang seperti dipukul-pukul. Kaleng-kaleng bekas
itu diikatkan pada bambu-bambu tinggi dipiggir-pinggir sawah, yang diikat
saling menghubungkan sudut-sudut sawah lainnya. Di tengah sawah ada gubuk
tempat dimana petani yang memiliki sawah tinggal dan selalu mengontrol sawahnya
dari hama burung yang sering mengganggu sawahnya.
Sekitar
jam enam pagi, Liem Bong Cuan atau yang lebih dikenal dengan nama Kode sudah
mengantarkan air ke pelanggannya. Sebelumnya ia sudah menyiapkan sepuluh
jerigen yang ditaruh digerobaknya, tempat dimana jerigen-jerigen itu seharusnya
berada. Jerigen satu persatu diisi dengan air bersih yang mengalir dalam tanah,
dibantu dengan pompa air. Air itu mengalir melalui selang yang diujungnya ada
pipa berukuran kecil yang berbentuk huruf L terbalik. Selang itu digunakan
untuk mempermudah mengisi air yang akan memenuhi ruang kosong di dalam jerigen.
Satu jerigen sudah penuh, selang dikeluarkan lalu dipindahkan ke jerigen lain
yang masih kosong. Ketika semua jerigen sudah terisi penuh, barulah ditutup
dengan tutupnya.
Tak
lupa Kode membawa dua jerigen tambahan untuk berjaga-jaga jika salah satu
pembeli memintanya untuk meninggalkan jerigen dan juga membawa corong besar untuk
menuangkan air dari jerigen ke jerigen pembeli atau ke wadah yang memerlukan
corong. Ada satu benda yang wajib dibawa oleh penjual air bersih gerobak, yaitu
kayu pikul. Kayu pikul itu digunakan untuk membantu memindahkan jerigen dari
gerobak ke bak mandi atau ke tempat yang ingin diisi air bersih. Pada kedua
ujung kayu pikul terdapat ganjalan untuk mengikat tali tambang yang diujungnya
ada kait dari besi untuk mengait jerigen. Sekali pikul bisa membawa dua jerigen
berisi air. Setelah mengantarkan air ke pembeli, Kode kembali ke rumah untuk
mengisi lagi jerigen-jerigennya.
Liem
Bong Cuan memiliki kulit berwarna coklat, mata sipit seperti orang Chinese pada
umumnya dan kepala yang botak plontos. Ia bukan warga asli Kampung Cina, melainkan warga
Jakarta. Setelah menikah ia pindah dan menjadi warga Kampung Cina sejak tahun
1981. Sejak dulu ia bekerja serabutan atau tidak tetap.
“Wah
semraut, ngebecak, dagang tahu, apa aja pas kena disini. Kalo di Jakarta dagang
siomay di daerah pluit,” tutur Kode sambil mengontrol jerigen yang sedang ia
isi.
Namun
pada sekitar tahun 1998-an, ia memilih berjualan air ke perumahan Dasana Indah.
Perumahan yang berada di dekat atau berbatasan langsung dengan Kampung Cina.
Melihat warga di perumahan kekurangan air bersih, Kode memutuskan untuk menjual
air bersih yang ia punya. Daerah yang sering membeli air bersih dari Kampung
Cina, yaitu blok SG, SF, SD, SE, dan terkadang sampai ke blok RF dimana blok
itu sedikit lebih jauh.
“Pelanggan
ada 10 orang di blok RF, SF, SD,” kata Kode.
19
tahun sudah pria berumur 64 tahun ini menjadi penjual air bersih. Dulu dari
harga segerobak Rp 5.000 hingga saat ini harga segerobaknya Rp 25.000. Kode
dengan penjual lainnya terkadang juga mendapati pembeli yang hanya membeli dua
jerigen atau sepikul saja. Jika sudah begitu biasanya ia akan berkeliling ke
komplek perumahan untuk mencari pembeli yang mau membeli sisa airnya. Dengan umur
yang sudah tidak muda lagi, Kode sering merasakan pegal-pegal di badannya
karena memikul jerigen yang berat. Namun sakit itu tidak ia rasakan, karena
menurutnya jika ia merasa itu sebuah penyakit yang harus dipikirkan saja maka
akan terus merasa sakit.
“Nggak
di rasain sama Kode. Ada sih keluhannya, cuma nggak dirasain. Begini ya, ni
pagi-pagi ya kita bangun jam 4 aja, nyapu, apa. Jadi seger lagi kita. Kalo
nurutin badan mah kita udah nggak kuat. Umur udah 64, udah setengah abad lebih,
bonus itu,” obat yang menurutnya dapat mengatasi sakitnya yaitu dengan tidak
memikirkan sakitnya itu.
Tidak
selamanya air yang Kode miliki bening terus. Terkadang air yang dimiliki Kode keruh
ketika musim hujan mendatang. Jika sudah begitu ia mendapatkan keluhan dari
para pelanggannya. Untuk menyiasati keluhan-keluhan pelanggan, ia mengambil air
dari tempat lain yang biasa ia ambil ketika air disumurnya sudah keruh. Disana
ia dikenakan biaya Rp 5.000 untuk dibayarkan kepada pemilik sumur itu. Di
Kampung Cina hampir semua rumah memiliki air bersih karena adanya sumber air
bersih.
“Maklum
aja bu, air hujan,” alasan yang diberikan Kode ketika mendapatkan protes dari
pelanggannya karena airnya keruh.
“Kalau
yang bening kita ambil air belakang,” kata Kode.
Namun
beberapa rumah di Kampung Cina ada yang tidak memiliki banyak air, karena sumur
pompanya tidak terlalu dalam atau tidak pada titik sumbernya. Dibeberapa rumah
juga ketika musim kemarau panjang airnya tidak bisa diambil banyak.
“Ada
juga yang nggak, kalo yang depan juga kalo kemarau ni kekurangan juga. Sebagian
suka beli juga. Saya juga malah kalo kemaraunnya panjang tekor air, walaupun
nggak beli, cuma cukup, gitu,” kata Ong Sun Kwi, selaku RT 002 di Kampung Cina.
Sumber
air bersih yang terdapat di Kampung Cina menjadi nilai lebih yang dimiliki
warganya. Tanah yang terdapat di kampung cina merupakan tanah darat. Namun,
lain bagi warga perumahan Dasana Indah yang sebagian warganya masih kekurangan
air bersih untuk mandi dan minum. Tanah yang mereka tempati dan dibuat rumah
merupakan tanah bekas persawahan. Hal itu lah yang membuat air mereka tidak
banyak dan masih ada yang keruh tidak layak konsumsi.
“Kalo
di perumahan kan karna emang pada bekas persawahan. Jadi airnya ada juga yang
punya air, airnya nggak bagus, nggak layak minum. Ini yang dipake perumahan
Bonang ni emang awalnya Bojong Nangka juga, itu sawah semua bukannya tanah
darat, tanah sawah,” tutur Ong Sun Kwi.
Masyarakat
yang tinggal di Kampung Cina didominasi oleh masyarakat Cina Benteng. Meski
begitu masyarakat Cina Benteng yang berada di Kota Tangerang dengan masyarakat
Cina Benteng yang tinggal di Kampung Bojong Nangka atau Kampung Cina memiliki
perbedaan dan ceritanya sendiri.
Masyarakat
cina di Kampung Cina dengan yang di Kota Tangerang memiliki logat yang sama,
namun dibedakan berdasarkan lokasinya. Di Tangerang atau Benteng khusus di
disana, kalau di kampung cina dikampung.
“Oh
itu laen, tapi logat-logatnya sama. Cuma kalo di Benteng khusus di Benteng,
kalo disini namanya dikampungan, diudikan. Sama, disebutnya Cina Benteng juga,” ucap Ong Sun Kwi.
Kampung
Cina berlokasi di Kelurahan Bojong Nangka, Kabupaten Tangerang. Asal mulanya
dulu sebutannya bukanlah Kampung Cina, tapi Kampung Bojong Nangka. Nama Kampung
Cina berawal dari seseorang yang bernama Bung Wat. Sekitar tahun 90-an, Bung Wat
mengadakan pesta atau hajatan. Dia berpikir kalau semua warganya orang Cina
semua, maka ia membuat undangan dengan menyebutkan lokasi acaranya di Kampung Cina.
Akhirnya nama kampung cina menjadi terkenal diantara warga setempat dan warga
perumahan. Banyak perubahan yang terjadi, nama Bojong Nangka dijadikan nama
kelurahan. Kampung Bojong Nangka yang lama sekarang lebih dikenal dengan nama
Kampung Cina.
Kampung
Cina merupakan tanah turun-temurun yang memiliki sekitar 65 Kepala Keluarga
yang sudah resmi menjadi warga disana. Dulu hanya terdapat delapan rumah saja.
Delapan rumah itu diisi oleh delapan keluarga yang masih satu pohon atau satu
marga. Pemilik tanah itu bernama Kong Cong Bedok yang datang dari negeri Cina.
Lalu dia datang ke tanah Kampung Bojong Nangka dan membelinya. Tanah yang ia
beli itu di bagi-bagikan ke anak-anak dan cucu-cucunya. Saat ini sudah
keturunan yang ke tujuh. Delapan keluarga itu tinggal terpisah, tapi tetap di
lokasi yang sama di kampung cina. Keturunan-keturunannya sudah membaur dengan
pendatang melalui pernikahan.
“Jadi
yang delapan keluarga ini pisah-pisah. Jadi satu lokasi di Bojong Nangka ini.
Jadi sampe sekarang ya mungkin dari keluarga ini dapetin orang mana, orang
mana. Akhirnya jadi pada membaur disini,” lanjut Ong Sun Kwi.
Ong
Sun Kwi yang berusia 65 tahun merupakan ketua RT di Kampung Cina dan masih
keturunan pemilik tanah Kampung Cina.
“Kalo
namanya Ong, itu masih keturunan saya semua,” kata Ong Sun Kwi.
Terdapat
empat tempat yang menjual air bersih di wilayah kampung cina Gou Kim Hai, Wat
Ong, Ong Wat Eng, dan Efendi. Gou Kim Hai adalah orang yang pertama kali
membuka usaha menjual air. Ia merupakan pendatang yang sebelumnya tinggal di
Tangerang, lalu pindah kesini mengembangkan usaha air bersih.
“Oh
inget saya, yang pertama jual air disini namanya Gou Kim Hai. Pertama jual air
yang rumahnya di ujung sini,” kata Ong Sun Kwi sambil menunjuk ke arah lokasi
rumah Gou Kim Hai berada.
“Awalnya
dia yang jual air, orang sini mah nggak ada niat-niat. Sama dia yang
ngembangin, jadi semua pada ngikut,” lanjutnya.
Penghasilan
menjadi tukang air tidaklah banyak. Menjadi tukang air ini pekerjaan yang
membutuhkan tenaga yang cukup untuk mendorong gerobak dan memikul
jerigen-jerigen berisi air bersih. Selain warga kampung cina yang menjadi tukang air, ada juga
pendatang.
Musohib
pria berusia 40 tahun berasal dari Purworejo. Ia sudah berkeluarga dan memiliki
dua orang anak. Ia datang ke kampung cina untuk menjadi tukang air. Ia bisa
sampai ke kampung cina dan mengenal pekerjaan menjadi tukang air dari temannya.
Ia dan temannya merupakan anak buah Wat Ong. Temannya itu sekarang sudah tidak
menjadi tukang air lagi, karena dia kembali ke kampungnya dan bekerja disana. Karena
Musohib merantau dan jauh dari keluarga membuatnya rindu.
“Wah
kangen, namanya keluarga,” jawab Musohib sambil tertawa.
Bekerja
dengan bosnya, Musohib tinggal di sebuah bangunan rumah yang berukuran 2,5 x 2,5
meter. Tempat itu terletak di halaman rumah bosnya yang berdekatan dengan
sumur.
Keringat
mengalir diseluruh wajahnya dan juga membasahi baju yang ia kenakan. Mendorong
gerobak air dan memikul jerigen-jerigen yang berat berisi air menghasilkan
keringat-keringat penanda beban pekerjaannya yang sangat menguras tenaga. Tenaga
yang dikeluarkan demi mendapatkan uang untuk anak-anak dan istrinya di kampung.
“Dulu
kan dagang di Glodok sono terus kena gusuran, ya gimana lagi. Ya namanya orang,
roda berputar kan. Kalau saya apa adanya, yang penting ngapain pusing-pusing.
Hidup kalo ibarat kata, kalo saya happy-happy aja, nggak perlu gengsi. Yang
penting duit halal, orang lain mana ngasih apa, ngasih ini. Paling kalo sumbangan,
itu juga kalo punya,” kata Musohib yang sedang beristirahat di kontrakannya. Bagi Musohib, bekerja sebagai tukang air bukanlah pekerjaan yang memalukan.
Begitu
juga dengan Kode, hasil uang yang ia dapatkan dari menjadi tukang air dapat
membantu membiayai hidupnya dan istrinya. Karena anak-anak mereka sudah
berkeluarga semua.
“Kasih
ke istri, paling buat beli empan burung, sama rokok,” kata Kode.
Keberadaan
Kampung Cina di Bojong Nangka merupakan bukti nyata bahwa warganya dengan warga
perumahan dapat saling membantu. Dalam bentuk menyediakan air bersih yang
dibutuhkan warga perumahan dan air yang dibeli dapat menjadi penghasilan bagi
warga Kampung Cina dan pendatang.
No comments:
Post a Comment