Friday, 2 June 2017

AIR BERSIH DI KAMPUNG CINA BOJONG NANGKA




AIR BERSIH DI KAMPUNG CINA BOJONG NANGKA

(ANNISA MAULIDA / 00000012509)



         Sepuluh jerigen yang berwarna mulai dari biru muda hingga biru tua berisikan air bersih, diletakan digerobak dan siap diantar ke pembeli. Gerobak didorong oleh penjual air menuju ke tempat pemesan air. Pembeli yang termasuk juga para pelanggan merupakan warga perumahan Dasana Indah yang berbatasan langsung dengan Kampung Cina. Mereka membeli air karena tidak memiliki pasokan air bersih dirumahnya. Melihat peluang itu, beberapa penduduk di Kampung Cina menjual air mereka ke para warga perumahan. 


Para penjual air bersih gerobak sudah mulai mengisi jerigen-jerigen mereka dengan air bersih sejak pagi. Ditemani suara krenceng-krenceng yang berasal dari kaleng bekas yang tertarik tali yang diikatkan pada kaleng-kaleng itu mengeluarkan suara khas kaleng yang seperti dipukul-pukul. Kaleng-kaleng bekas itu diikatkan pada bambu-bambu tinggi dipiggir-pinggir sawah, yang diikat saling menghubungkan sudut-sudut sawah lainnya. Di tengah sawah ada gubuk tempat dimana petani yang memiliki sawah tinggal dan selalu mengontrol sawahnya dari hama burung yang sering mengganggu sawahnya. 

Sekitar jam enam pagi, Liem Bong Cuan atau yang lebih dikenal dengan nama Kode sudah mengantarkan air ke pelanggannya. Sebelumnya ia sudah menyiapkan sepuluh jerigen yang ditaruh digerobaknya, tempat dimana jerigen-jerigen itu seharusnya berada. Jerigen satu persatu diisi dengan air bersih yang mengalir dalam tanah, dibantu dengan pompa air. Air itu mengalir melalui selang yang diujungnya ada pipa berukuran kecil yang berbentuk huruf L terbalik. Selang itu digunakan untuk mempermudah mengisi air yang akan memenuhi ruang kosong di dalam jerigen. Satu jerigen sudah penuh, selang dikeluarkan lalu dipindahkan ke jerigen lain yang masih kosong. Ketika semua jerigen sudah terisi penuh, barulah ditutup dengan tutupnya. 

Tak lupa Kode membawa dua jerigen tambahan untuk berjaga-jaga jika salah satu pembeli memintanya untuk meninggalkan jerigen dan juga membawa corong besar untuk menuangkan air dari jerigen ke jerigen pembeli atau ke wadah yang memerlukan corong. Ada satu benda yang wajib dibawa oleh penjual air bersih gerobak, yaitu kayu pikul. Kayu pikul itu digunakan untuk membantu memindahkan jerigen dari gerobak ke bak mandi atau ke tempat yang ingin diisi air bersih. Pada kedua ujung kayu pikul terdapat ganjalan untuk mengikat tali tambang yang diujungnya ada kait dari besi untuk mengait jerigen. Sekali pikul bisa membawa dua jerigen berisi air. Setelah mengantarkan air ke pembeli, Kode kembali ke rumah untuk mengisi lagi jerigen-jerigennya.

Liem Bong Cuan memiliki kulit berwarna coklat, mata sipit seperti orang Chinese pada umumnya dan kepala yang botak plontos. Ia bukan warga asli Kampung Cina, melainkan warga Jakarta. Setelah menikah ia pindah dan menjadi warga Kampung Cina sejak tahun 1981. Sejak dulu ia bekerja serabutan atau tidak tetap. 

“Wah semraut, ngebecak, dagang tahu, apa aja pas kena disini. Kalo di Jakarta dagang siomay di daerah pluit,” tutur Kode sambil mengontrol jerigen yang sedang ia isi.

Namun pada sekitar tahun 1998-an, ia memilih berjualan air ke perumahan Dasana Indah. Perumahan yang berada di dekat atau berbatasan langsung dengan Kampung Cina. Melihat warga di perumahan kekurangan air bersih, Kode memutuskan untuk menjual air bersih yang ia punya. Daerah yang sering membeli air bersih dari Kampung Cina, yaitu blok SG, SF, SD, SE, dan terkadang sampai ke blok RF dimana blok itu sedikit lebih jauh. 

“Pelanggan ada 10 orang di blok RF, SF, SD,” kata Kode.

19 tahun sudah pria berumur 64 tahun ini menjadi penjual air bersih. Dulu dari harga segerobak Rp 5.000 hingga saat ini harga segerobaknya Rp 25.000. Kode dengan penjual lainnya terkadang juga mendapati pembeli yang hanya membeli dua jerigen atau sepikul saja. Jika sudah begitu biasanya ia akan berkeliling ke komplek perumahan untuk mencari pembeli yang mau membeli sisa airnya. Dengan umur yang sudah tidak muda lagi, Kode sering merasakan pegal-pegal di badannya karena memikul jerigen yang berat. Namun sakit itu tidak ia rasakan, karena menurutnya jika ia merasa itu sebuah penyakit yang harus dipikirkan saja maka akan terus merasa sakit.

“Nggak di rasain sama Kode. Ada sih keluhannya, cuma nggak dirasain. Begini ya, ni pagi-pagi ya kita bangun jam 4 aja, nyapu, apa. Jadi seger lagi kita. Kalo nurutin badan mah kita udah nggak kuat. Umur udah 64, udah setengah abad lebih, bonus itu,” obat yang menurutnya dapat mengatasi sakitnya yaitu dengan tidak memikirkan sakitnya itu.

Tidak selamanya air yang Kode miliki bening terus. Terkadang air yang dimiliki Kode keruh ketika musim hujan mendatang. Jika sudah begitu ia mendapatkan keluhan dari para pelanggannya. Untuk menyiasati keluhan-keluhan pelanggan, ia mengambil air dari tempat lain yang biasa ia ambil ketika air disumurnya sudah keruh. Disana ia dikenakan biaya Rp 5.000 untuk dibayarkan kepada pemilik sumur itu. Di Kampung Cina hampir semua rumah memiliki air bersih karena adanya sumber air bersih. 

“Maklum aja bu, air hujan,” alasan yang diberikan Kode ketika mendapatkan protes dari pelanggannya karena airnya keruh.

“Kalau yang bening kita ambil air belakang,” kata Kode.

Namun beberapa rumah di Kampung Cina ada yang tidak memiliki banyak air, karena sumur pompanya tidak terlalu dalam atau tidak pada titik sumbernya. Dibeberapa rumah juga ketika musim kemarau panjang airnya tidak bisa diambil banyak.

“Ada juga yang nggak, kalo yang depan juga kalo kemarau ni kekurangan juga. Sebagian suka beli juga. Saya juga malah kalo kemaraunnya panjang tekor air, walaupun nggak beli, cuma cukup, gitu,” kata Ong Sun Kwi, selaku RT 002 di Kampung Cina.

Sumber air bersih yang terdapat di Kampung Cina menjadi nilai lebih yang dimiliki warganya. Tanah yang terdapat di kampung cina merupakan tanah darat. Namun, lain bagi warga perumahan Dasana Indah yang sebagian warganya masih kekurangan air bersih untuk mandi dan minum. Tanah yang mereka tempati dan dibuat rumah merupakan tanah bekas persawahan. Hal itu lah yang membuat air mereka tidak banyak dan masih ada yang keruh tidak layak konsumsi.

“Kalo di perumahan kan karna emang pada bekas persawahan. Jadi airnya ada juga yang punya air, airnya nggak bagus, nggak layak minum. Ini yang dipake perumahan Bonang ni emang awalnya Bojong Nangka juga, itu sawah semua bukannya tanah darat, tanah sawah,” tutur Ong Sun Kwi.

Masyarakat yang tinggal di Kampung Cina didominasi oleh masyarakat Cina Benteng. Meski begitu masyarakat Cina Benteng yang berada di Kota Tangerang dengan masyarakat Cina Benteng yang tinggal di Kampung Bojong Nangka atau Kampung Cina memiliki perbedaan dan ceritanya sendiri. 

Masyarakat cina di Kampung Cina dengan yang di Kota Tangerang memiliki logat yang sama, namun dibedakan berdasarkan lokasinya. Di Tangerang atau Benteng khusus di disana, kalau di kampung cina dikampung.

“Oh itu laen, tapi logat-logatnya sama. Cuma kalo di Benteng khusus di Benteng, kalo disini namanya dikampungan, diudikan. Sama, disebutnya Cina Benteng juga,” ucap Ong Sun Kwi.

Kampung Cina berlokasi di Kelurahan Bojong Nangka, Kabupaten Tangerang. Asal mulanya dulu sebutannya bukanlah Kampung Cina, tapi Kampung Bojong Nangka. Nama Kampung Cina berawal dari seseorang yang bernama Bung Wat. Sekitar tahun 90-an, Bung Wat mengadakan pesta atau hajatan. Dia berpikir kalau semua warganya orang Cina semua, maka ia membuat undangan dengan menyebutkan lokasi acaranya di Kampung Cina. Akhirnya nama kampung cina menjadi terkenal diantara warga setempat dan warga perumahan. Banyak perubahan yang terjadi, nama Bojong Nangka dijadikan nama kelurahan. Kampung Bojong Nangka yang lama sekarang lebih dikenal dengan nama Kampung Cina. 

Kampung Cina merupakan tanah turun-temurun yang memiliki sekitar 65 Kepala Keluarga yang sudah resmi menjadi warga disana. Dulu hanya terdapat delapan rumah saja. Delapan rumah itu diisi oleh delapan keluarga yang masih satu pohon atau satu marga. Pemilik tanah itu bernama Kong Cong Bedok yang datang dari negeri Cina. Lalu dia datang ke tanah Kampung Bojong Nangka dan membelinya. Tanah yang ia beli itu di bagi-bagikan ke anak-anak dan cucu-cucunya. Saat ini sudah keturunan yang ke tujuh. Delapan keluarga itu tinggal terpisah, tapi tetap di lokasi yang sama di kampung cina. Keturunan-keturunannya sudah membaur dengan pendatang melalui pernikahan. 

“Jadi yang delapan keluarga ini pisah-pisah. Jadi satu lokasi di Bojong Nangka ini. Jadi sampe sekarang ya mungkin dari keluarga ini dapetin orang mana, orang mana. Akhirnya jadi pada membaur disini,” lanjut Ong Sun Kwi.

Ong Sun Kwi yang berusia 65 tahun merupakan ketua RT di Kampung Cina dan masih keturunan pemilik tanah Kampung Cina.

“Kalo namanya Ong, itu masih keturunan saya semua,” kata Ong Sun Kwi.
Terdapat empat tempat yang menjual air bersih di wilayah kampung cina Gou Kim Hai, Wat Ong, Ong Wat Eng, dan Efendi. Gou Kim Hai adalah orang yang pertama kali membuka usaha menjual air. Ia merupakan pendatang yang sebelumnya tinggal di Tangerang, lalu pindah kesini mengembangkan usaha air bersih.

“Oh inget saya, yang pertama jual air disini namanya Gou Kim Hai. Pertama jual air yang rumahnya di ujung sini,” kata Ong Sun Kwi sambil menunjuk ke arah lokasi rumah Gou Kim Hai berada.

“Awalnya dia yang jual air, orang sini mah nggak ada niat-niat. Sama dia yang ngembangin, jadi semua pada ngikut,” lanjutnya.

       Penghasilan menjadi tukang air tidaklah banyak. Menjadi tukang air ini pekerjaan yang membutuhkan tenaga yang cukup untuk mendorong gerobak dan memikul jerigen-jerigen berisi air bersih. Selain warga kampung cina yang menjadi tukang air, ada juga pendatang. 

Musohib pria berusia 40 tahun berasal dari Purworejo. Ia sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Ia datang ke kampung cina untuk menjadi tukang air. Ia bisa sampai ke kampung cina dan mengenal pekerjaan menjadi tukang air dari temannya. Ia dan temannya merupakan anak buah Wat Ong. Temannya itu sekarang sudah tidak menjadi tukang air lagi, karena dia kembali ke kampungnya dan bekerja disana. Karena Musohib merantau dan jauh dari keluarga membuatnya rindu.

“Wah kangen, namanya keluarga,” jawab Musohib sambil tertawa.

Bekerja dengan bosnya, Musohib tinggal di sebuah bangunan rumah yang berukuran 2,5 x 2,5 meter. Tempat itu terletak di halaman rumah bosnya yang berdekatan dengan sumur.

            Keringat mengalir diseluruh wajahnya dan juga membasahi baju yang ia kenakan. Mendorong gerobak air dan memikul jerigen-jerigen yang berat berisi air menghasilkan keringat-keringat penanda beban pekerjaannya yang sangat menguras tenaga. Tenaga yang dikeluarkan demi mendapatkan uang untuk anak-anak dan istrinya di kampung.

“Dulu kan dagang di Glodok sono terus kena gusuran, ya gimana lagi. Ya namanya orang, roda berputar kan. Kalau saya apa adanya, yang penting ngapain pusing-pusing. Hidup kalo ibarat kata, kalo saya happy-happy aja, nggak perlu gengsi. Yang penting duit halal, orang lain mana ngasih apa, ngasih ini. Paling kalo sumbangan, itu juga kalo punya,” kata Musohib yang sedang beristirahat di kontrakannya. Bagi Musohib, bekerja sebagai tukang air bukanlah pekerjaan yang memalukan.

Begitu juga dengan Kode, hasil uang yang ia dapatkan dari menjadi tukang air dapat membantu membiayai hidupnya dan istrinya. Karena anak-anak mereka sudah berkeluarga semua. 

“Kasih ke istri, paling buat beli empan burung, sama rokok,” kata Kode.

Keberadaan Kampung Cina di Bojong Nangka merupakan bukti nyata bahwa warganya dengan warga perumahan dapat saling membantu. Dalam bentuk menyediakan air bersih yang dibutuhkan warga perumahan dan air yang dibeli dapat menjadi penghasilan bagi warga Kampung Cina dan pendatang.



No comments:

Post a Comment