Adelia Puspita Yasmine
00000009166
Suasana yang terus
mencekam, awan terlihat gelap gulita, raut wajah cemas dan perasaan gelisah
terus merambati tubuh para pendengar dan pembaca berita wilayah jabodetabek
maupun non jabodetabek. Sebagian dari mereka terpaksa pergi ke negeri tetangga
untuk tetap bertahan hidup.
***
Multati adalah seorang
ibu rumah tangga yang memiliki suami berdarah tionghoa, yaitu Erdyanto. Multati
memiliki tiga orang anak, yaitu Daud (10), Puspa (5), dan Adelia (0).
Pagi hari, 2 Mei 1998.
Multati mengaitkan beberapa kantung plastik besar berisi sayuran, daging dan
keperluan bulanannya di kendaraan kayuh roda dua miliknya. Ia bersiap siap
untuk kembali ke rumahnya setelah selesai berbelanja untuk keperluan bulanan di
pusat perbelanjaan tradisional, Kuta bumi, Tangerang. Ia mulai menduduki sadel
sepeda dan mulai mengkayuh sepedanya menuju rumah di perumahan Vila Tomang
Baru, Tangerang, yang berjarak sekitar satu kilometer dari pasar
tradisional.
***
Pada waktu yang sama
pula, anak sulungnya Daud (10), saat itu tengah menimba ilmu di sekolah Kasih
Bangsa yang berjarak 300m dari rumahnya. Anak perempuannya Puspa (5) dan Adelia
(0) dititipkan kepada tetangga dan pada saat itu tengah tertidur lelap
dirumahnya.
***
Multati mulai
memperlambat kayuhannya, dengan raut wajah kebingungan melihat orang-orang
berlari ketakutan dan kendaraan roda empat maupun roda dua yang mempercepat
lajunya kendaraan. Ia menurunkan kedua kakinya dari pedal ke aspal jalan,
berdiri diatas besi sepeda sambil menggenggam erat kendali, dengan raut wajah
kebingungan bercampur rasa panik melihat orang-orang dan kendaraan berjalan ke
arah yang berlawanan. Multati memberhentikan seorang laki-laki yang mengendarai
kendaraan roda dua, laki-laki tersebut terlihat rapih dan siap untuk pergi bekerja
dengan wajah yang terlihat pucat pasi.
"Pak, emang ada
apa? Kok pada lari? Mobil angkot kok pada ke arah sini semua?"
"Iyaa, yang rusuh
udah sampai KM bu! Udah ngebakar-ngebakar!"
Raut wajah Multati
berubah pucat dan rasa panik mulai merayapi tubuhnya, memikirkan suami dan
anak-anaknya. Ia mengayuh kembali pedal sepeda dengan sekuat tenaga tetapi
kedua kakinya terasa sangat berat dam lemas. Perlahan air mata mulai membanjiri
pipinya dan beberapa kali terisak dalam tangisnya. Sekelompok orang membawa kayu,
pisau dan alat-alat tajam lainnya, membakar rumahnya, membunuh suaminya,
pikiran-pikiran negatif itu terus berkelabat di kepalanya.
Beberapa menit
kemudian, setelah berjuang mengkayuh pedal sepeda dengan sekuat tenaga, Multati
hampir tiba di rumahnya, hanya tinggal beberapa meter lagi ia tiba dan suara
tangisan Puspa mulai terdengar. Setelah membawa masuk dan memasang kaki sepeda,
agar sepeda tidak terjatuh, ia menghampiri Puspa yang mulai mereda tangisannya
setelah melihat ibunya kembali. Selang sesampainya Multati di rumah, sosok
wanita berdarah tionghoa yang merupakan tetangga Multati , yaitu Heni datang menghampirinya.
"Dia (Puspa) kebangun, terus nangis-nangis nyariin (Multati)," ucap Heni.
Multati membalikkan
tubuh ke arah tetangganya, "Enciii, yang rusuh udah sampai KM!!"
Raut wajah Heni tiba-tiba berubah menjadi kebingungan dan dengan perasaan yang mulai gelisah,
ia membalikkan tubuh dan berlari kembali kerumah, lalu beberapa detik kemudian,
ia kembali ke rumah Multati seolah-olah melupakan sesuatu. Dengan wajah panik ia
meminta Multati untuk meminjamkannya sebuah sajadah yang akan ia pajang di daun
pintu rumahnya. Multati berlari kecil mengambil sajadah yang berada di dalam
lemari kamarnya, lalu memberikannya kepada tetangganya.
Setelah Heni, tetangganya
meninggalkan rumah, beberapa saat kemudian Daud tiba di rumah, kembali dari
sekolah lebih cepat kerena sengaja dibubarkan. Multati segera mengunci pintu
dan jendela rumahnya, namun ia tiba-tiba teringat akan suaminya kembali. Ia
mengambil gagang telepon dan menekan beberapa tombol angka, memanggil
berkali-kali ke kantor tempat suaminya bekerja, tetapi tidak pernah ada
jawaban. Air matanya mulai meluncur kembali, membasahi kedua pipinya, takut hal
yang tidak diinginkan itu terjadi.
***
Pada pukul 12.30
siang, setelah memarkirkan mobil milik kantor di salah satu Masjid daerah
Parung, Erdyanto yang merupakan suami dari Multati harus pulang menaiki
angkutan umum karena takut terjadi penjarahan terhadap dirinya. Dengan tangan
kosong, rambut yang diacak asal dan mengenakan kemeja yang dikeluarkan dari
celana jeans, Erdyanto menaiki angkutan umum menuju bundaran BSD, Tangerang.
Sesampainya ia di
bundaran BSD, ia terpaksa berjalan karena tidak ada satu pun angkutan umum
terlihat di daerah itu. Ia berjalan terus menuju rumah, ketika perjalanannya
telah sampai di gerbang tol keluar Kebon Nanas, ia melihat segerombolan orang
yang menjarah tengah membongkar truk makanan Indomie. Tidak hanya makanan,
tetapi mereka juga mengambil alat dan mesin mobil untuk di jarah.
Erdyanto memutuskan
untuk terus melanjutkan perjalanan menuju rumah, walaupun di beberapa titik
perjalanannya, ia sempat melihat segerombolan orang membakar ban mobil. Ia
menghentikan langkah kakinya ketika dirinya telah sampai di depan Alfa
Perkulakan, cikokol. Sambil memperhatikan orang-orang yang tengah keluar masuk
membawa kulkas, beras, minyak, tape, TV dan lainnya. Seorang pemuda menarik
perhatian Erdyanto, pemuda itu membawa keluar TV 36inch dengan wajah yang
tergopoh-gopoh. Tidak sanggup untuk membawanya sendirian lebih jauh, pemuda itu
membanting TV 36inch ke aspal jalan dan masuk kembali ke dalam Alfa Perkulakan.
Selang 15 menit kemudian, Erdyanto melihat pemuda itu kembali keluar, tidak
dengan tangan kosong seperti pada sebelumnya ia masuk, namun ia membawa sebuah
trolley yang berisikan kulkas kecil dan memasukan TV 36inch yang ia banting
tadi ke dalam trolley.
Perhatian Erdyanto
terganti oleh pemuda lainnya yang menawarkan sebuah telepon genggam hasil
jarahan seharga lima hingga sepuluh ribu rupiah. Telepon genggam yang ditawari
oleh pemuda itu sangat populer pada zaman itu, yaitu Nokia 8110 atau disebut
juga Nokia pisang, Namun Erdyanto tetap memilih untuk menolak tawaran pemuda
tersebut.
Ia melanjutkan
perjalanannya kembali menuju rumah, terus melangkahkan kakinya hingga sampai di
daerah pasar baru. Angkutan umum juga masih tidak terlihat dan ia memutuskan
untuk menggunakan jasa ojek pangkalan di daerah sana. Tukang ojek tersebut
mengusulkan untuk lewat pedalaman dan tidak lewat jalan raya Moh. Toha, karena
toko serba guna Sabar Subur yang berada di jalan raya Moh. Toha sedang terjadi
penjarahan dan pembakaran, Erdyanto menyetujui permintaan sang tukang ojek.
Selama perjalanan, Erdyanto melihat sekeliling jalan yang terlihat sepi,
jarang-jarang kendaraan yang berlalu. Beberapa menit perjalanan sekitar jam
setengah tujuh malam, akhirnya ia sampai di depan rumah, setelah membayar jasa
ojek dengan uang sepuluh ribu dan lima ribu rupiah, ia mulai melangkahkan kaki
menuju ke dalam rumah. Multati yang melihat sang suami tiba, perasaannya terasa
lega dan mengucap syukur di dalam hatinya.
***
Selang beberapa menit
Erdyanto tiba di rumah, Ketua RW setempat, yaitu Kris, mengumpulkan semua
bapak-bapak untuk berjaga di depan komplek perumahan Vila Tomang Baru. Dengan
membawa parang, sebatang kayu, linggis, golok dan benda-benda yang dapat
melindungi mereka lainnya. Penjagaan terbagi menjadi beberapa bagian,
diantaranya adalah bagian depan komplek dan bagian belakang komplek. Penjagaan
tersebut dibatasi oleh pelang panjang menutupi jalan masuk komplek yang sudah
disiapkan oleh bapak-bapak, untuk mencegah kerusuhan masuk ke dalam wilayah
komplek perumahan Vila Tomang Baru.
***
Multati sudah
mempersiapkan semua keperluannya, dari koper yang berisikan pakaian dan uang,
hingga tas punggung yang berisikan dokumen, seperti dokumen rumah dan ijazah.
Tas punggung tersebut selalu ia kenakan, khawatir jikalau kerusuhan datang ia
akan langsung pergi meninggalkan tempat tinggalnya, dan koper yang telah ia
siapkan juga selalu ada di dekatnya.
"Matiin lampu!!
Matiin Lampu!!"
Teriak segerombolan
bapak-bapak sambil berlari mengitari komplek, menandakan bahwa kerusuhan sudah
dekat dengan komplek perumahannya. Serempak satu komplek rumah mematikan lampu
setelah mendengar teriakan segerombolan bapak-bapak tersebut. Suasana komplek
menjadi gelap gulita, perasaan panik, takut dan cemas, bercampur menjadi satu.
Segerombolan bapak-bapak tersebut langsung kembali ke depan dan belakang
komplek untuk berjaga lagi.
***
Terlihat di depan
komplek perumahan Vila Tomang baru, bapak-bapak yang berjumlah ratusan orang
itu mulai menggenggam erat benda-benda yang telah ia bawa, karena segerombolan
penjarah itu telah berada di hadapan mereka. Segerombolan penjarah itu
jumlahnya terlihat puluhan, beberapa dari mereka juga membawa kayu, bensin dan
korek api. Salah satu dari mereka memutuskan untuk berbicara, ia ingin menjarah
mini market Kartika karena orang Tionghoa yang berada di dalam wilayah komplek
perumahan Vila Tomang Baru, yang mereka ketahui itu banyak. Ustaz Wan, guru
agama laki-laki di daerah komplek Vila Tomang Baru, memutuskan untuk berbicara
juga, dengan ditemani oleh ketua RW Kris, dan beberapa bapak-bapak lainnya. Ustaz
Wan dan Kris tidak mengizinkan mereka untuk menjarah minimarket Kartika, “Di
sini emang banyak orang Tionghoa tapi kere-kere semua. Apa yang mau dijarah?” ucap
Kris untuk melindungi warga setempat.
Pada pukul delapan
malam, negosiasi yang berlangsung salama kurang lebih 1 jam tidak mengubah
keinginan mereka untuk menjarah mini market Kartika. Hingga negosiasi selesai
pun bapak-bapak komplek perumahan Vila Tomang Baru tidak berhasil untuk
menyuruh segerombolan penjarah itu pulang. Bahkan segerombolan penjarah itu
memutuskan untuk menunggu sambil terduduk di aspal depan komplek perumahan Vila
Tomang Baru.
Jarum jam menunjukan
pukul 00.00 WIB, rasa kesal masih menyelimuti raut wajah segerombolan penjarah
itu, melihat bapak-bapak dari luar komplek perumahan Vila Tomang Baru yang
terus menerus berdatangan untuk membantu penjagaan. Selang beberapa menit
kemudian, segerombolan penjarah itu akhirnya memutuskan untuk membubarkan diri,
namun itu belum menjadi kelegaan untuk bapak-bapak komplek perumahan Vila
Tomang Baru, tetapi menjadi sebuah penjagaan yang ketat karena takut para
penjarah memiliki rencana lain untuk tetap menjarah mini market Kartika.
Selama tiga hari dua
malam, bapak-bapak komplek terus berjaga, takut jikalau orang-orang itu kembali
dengan masa yang lebih banyak, namun ketakutan itu tidak terjadi. Karena
setelah tiga hari dua malam berjaga, mereka tidak pernah melihat batang hidung
para penjarah itu dan suasana komplek perumahan Vila Tomang Baru mulai kondusif
kembali.
***
Awal Mei 2017. Multati mulai mengenang kembali kejadian 19 tahun lalu,
bagaimana kekhawatirannya, raut wajah cemas dan perasaan gelisah yang merambati
tubuhnya itu terus teringat. Bahan makanan yang setelah kejadian itu menjadi
melejut serba mahal dan kondisi keuangan keluarganya yang mulai sulit, kembali
terkenang dalam benaknya.
“Nggak akan lupa, udah
lekat diingatan gabakalan lupa,” ujar Multati sambil tersenyum kecil.
***
Bersama Erdyanto dan Multati
Bersama Heni
Bersama ketua RW, Kris. Pada tahun 1998.
Depan komplek perumahan Vila Tomang Baru saat ini
No comments:
Post a Comment