Saturday, 3 June 2017

Menolak Lupa

Adelia Puspita Yasmine
00000009166


Suasana yang terus mencekam, awan terlihat gelap gulita, raut wajah cemas dan perasaan gelisah terus merambati tubuh para pendengar dan pembaca berita wilayah jabodetabek maupun non jabodetabek. Sebagian dari mereka terpaksa pergi ke negeri tetangga untuk tetap bertahan hidup.

***
Multati adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki suami berdarah tionghoa, yaitu Erdyanto. Multati memiliki tiga orang anak, yaitu Daud (10), Puspa (5), dan Adelia (0). 
Pagi hari, 2 Mei 1998. Multati mengaitkan beberapa kantung plastik besar berisi sayuran, daging dan keperluan bulanannya di kendaraan kayuh roda dua miliknya. Ia bersiap siap untuk kembali ke rumahnya setelah selesai berbelanja untuk keperluan bulanan di pusat perbelanjaan tradisional, Kuta bumi, Tangerang. Ia mulai menduduki sadel sepeda dan mulai mengkayuh sepedanya menuju rumah di perumahan Vila Tomang Baru, Tangerang, yang berjarak sekitar satu kilometer dari pasar tradisional. 

***
Pada waktu yang sama pula, anak sulungnya Daud (10), saat itu tengah menimba ilmu di sekolah Kasih Bangsa yang berjarak 300m dari rumahnya. Anak perempuannya Puspa (5) dan Adelia (0) dititipkan kepada tetangga dan pada saat itu tengah tertidur lelap dirumahnya.

***
Multati mulai memperlambat kayuhannya, dengan raut wajah kebingungan melihat orang-orang berlari ketakutan dan kendaraan roda empat maupun roda dua yang mempercepat lajunya kendaraan. Ia menurunkan kedua kakinya dari pedal ke aspal jalan, berdiri diatas besi sepeda sambil menggenggam erat kendali, dengan raut wajah kebingungan bercampur rasa panik melihat orang-orang dan kendaraan berjalan ke arah yang berlawanan. Multati memberhentikan seorang laki-laki yang mengendarai kendaraan roda dua, laki-laki tersebut terlihat rapih dan siap untuk pergi bekerja dengan wajah yang terlihat pucat pasi.
"Pak, emang ada apa? Kok pada lari? Mobil angkot kok pada ke arah sini semua?"
"Iyaa, yang rusuh udah sampai KM bu! Udah ngebakar-ngebakar!"
Raut wajah Multati berubah pucat dan rasa panik mulai merayapi tubuhnya, memikirkan suami dan anak-anaknya. Ia mengayuh kembali pedal sepeda dengan sekuat tenaga tetapi kedua kakinya terasa sangat berat dam lemas. Perlahan air mata mulai membanjiri pipinya dan beberapa kali terisak dalam tangisnya. Sekelompok orang membawa kayu, pisau dan alat-alat tajam lainnya, membakar rumahnya, membunuh suaminya, pikiran-pikiran negatif itu terus berkelabat di kepalanya.
Beberapa menit kemudian, setelah berjuang mengkayuh pedal sepeda dengan sekuat tenaga, Multati hampir tiba di rumahnya, hanya tinggal beberapa meter lagi ia tiba dan suara tangisan Puspa mulai terdengar. Setelah membawa masuk dan memasang kaki sepeda, agar sepeda tidak terjatuh, ia menghampiri Puspa yang mulai mereda tangisannya setelah melihat ibunya kembali. Selang sesampainya Multati di rumah, sosok wanita berdarah tionghoa yang merupakan tetangga Multati , yaitu Heni datang menghampirinya.
"Dia (Puspa) kebangun, terus nangis-nangis nyariin (Multati)," ucap Heni.
Multati membalikkan tubuh ke arah tetangganya, "Enciii, yang rusuh udah sampai KM!!"
Raut wajah Heni tiba-tiba berubah menjadi kebingungan dan dengan perasaan yang mulai gelisah, ia membalikkan tubuh dan berlari kembali kerumah, lalu beberapa detik kemudian, ia kembali ke rumah Multati seolah-olah melupakan sesuatu. Dengan wajah panik ia meminta Multati untuk meminjamkannya sebuah sajadah yang akan ia pajang di daun pintu rumahnya. Multati berlari kecil mengambil sajadah yang berada di dalam lemari kamarnya, lalu memberikannya kepada tetangganya.
Setelah Heni, tetangganya meninggalkan rumah, beberapa saat kemudian Daud tiba di rumah, kembali dari sekolah lebih cepat kerena sengaja dibubarkan. Multati segera mengunci pintu dan jendela rumahnya, namun ia tiba-tiba teringat akan suaminya kembali. Ia mengambil gagang telepon dan menekan beberapa tombol angka, memanggil berkali-kali ke kantor tempat suaminya bekerja, tetapi tidak pernah ada jawaban. Air matanya mulai meluncur kembali, membasahi kedua pipinya, takut hal yang tidak diinginkan itu terjadi.

***
Pada pukul 12.30 siang, setelah memarkirkan mobil milik kantor di salah satu Masjid daerah Parung, Erdyanto yang merupakan suami dari Multati harus pulang menaiki angkutan umum karena takut terjadi penjarahan terhadap dirinya. Dengan tangan kosong, rambut yang diacak asal dan mengenakan kemeja yang dikeluarkan dari celana jeans, Erdyanto menaiki angkutan umum menuju bundaran BSD, Tangerang.
Sesampainya ia di bundaran BSD, ia terpaksa berjalan karena tidak ada satu pun angkutan umum terlihat di daerah itu. Ia berjalan terus menuju rumah, ketika perjalanannya telah sampai di gerbang tol keluar Kebon Nanas, ia melihat segerombolan orang yang menjarah tengah membongkar truk makanan Indomie. Tidak hanya makanan, tetapi mereka juga mengambil alat dan mesin mobil untuk di jarah.
Erdyanto memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan menuju rumah, walaupun di beberapa titik perjalanannya, ia sempat melihat segerombolan orang membakar ban mobil. Ia menghentikan langkah kakinya ketika dirinya telah sampai di depan Alfa Perkulakan, cikokol. Sambil memperhatikan orang-orang yang tengah keluar masuk membawa kulkas, beras, minyak, tape, TV dan lainnya. Seorang pemuda menarik perhatian Erdyanto, pemuda itu membawa keluar TV 36inch dengan wajah yang tergopoh-gopoh. Tidak sanggup untuk membawanya sendirian lebih jauh, pemuda itu membanting TV 36inch ke aspal jalan dan masuk kembali ke dalam Alfa Perkulakan. Selang 15 menit kemudian, Erdyanto melihat pemuda itu kembali keluar, tidak dengan tangan kosong seperti pada sebelumnya ia masuk, namun ia membawa sebuah trolley yang berisikan kulkas kecil dan memasukan TV 36inch yang ia banting tadi ke dalam trolley.
Perhatian Erdyanto terganti oleh pemuda lainnya yang menawarkan sebuah telepon genggam hasil jarahan seharga lima hingga sepuluh ribu rupiah. Telepon genggam yang ditawari oleh pemuda itu sangat populer pada zaman itu, yaitu Nokia 8110 atau disebut juga Nokia pisang, Namun Erdyanto tetap memilih untuk menolak tawaran pemuda tersebut.
Ia melanjutkan perjalanannya kembali menuju rumah, terus melangkahkan kakinya hingga sampai di daerah pasar baru. Angkutan umum juga masih tidak terlihat dan ia memutuskan untuk menggunakan jasa ojek pangkalan di daerah sana. Tukang ojek tersebut mengusulkan untuk lewat pedalaman dan tidak lewat jalan raya Moh. Toha, karena toko serba guna Sabar Subur yang berada di jalan raya Moh. Toha sedang terjadi penjarahan dan pembakaran, Erdyanto menyetujui permintaan sang tukang ojek. Selama perjalanan, Erdyanto melihat sekeliling jalan yang terlihat sepi, jarang-jarang kendaraan yang berlalu. Beberapa menit perjalanan sekitar jam setengah tujuh malam, akhirnya ia sampai di depan rumah, setelah membayar jasa ojek dengan uang sepuluh ribu dan lima ribu rupiah, ia mulai melangkahkan kaki menuju ke dalam rumah. Multati yang melihat sang suami tiba, perasaannya terasa lega dan mengucap syukur di dalam hatinya.

***
Selang beberapa menit Erdyanto tiba di rumah, Ketua RW setempat, yaitu Kris, mengumpulkan semua bapak-bapak untuk berjaga di depan komplek perumahan Vila Tomang Baru. Dengan membawa parang, sebatang kayu, linggis, golok dan benda-benda yang dapat melindungi mereka lainnya. Penjagaan terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya adalah bagian depan komplek dan bagian belakang komplek. Penjagaan tersebut dibatasi oleh pelang panjang menutupi jalan masuk komplek yang sudah disiapkan oleh bapak-bapak, untuk mencegah kerusuhan masuk ke dalam wilayah komplek perumahan Vila Tomang Baru.

***
Multati sudah mempersiapkan semua keperluannya, dari koper yang berisikan pakaian dan uang, hingga tas punggung yang berisikan dokumen, seperti dokumen rumah dan ijazah. Tas punggung tersebut selalu ia kenakan, khawatir jikalau kerusuhan datang ia akan langsung pergi meninggalkan tempat tinggalnya, dan koper yang telah ia siapkan juga selalu ada di dekatnya.
"Matiin lampu!! Matiin Lampu!!"
Teriak segerombolan bapak-bapak sambil berlari mengitari komplek, menandakan bahwa kerusuhan sudah dekat dengan komplek perumahannya. Serempak satu komplek rumah mematikan lampu setelah mendengar teriakan segerombolan bapak-bapak tersebut. Suasana komplek menjadi gelap gulita, perasaan panik, takut dan cemas, bercampur menjadi satu. Segerombolan bapak-bapak tersebut langsung kembali ke depan dan belakang komplek untuk berjaga lagi.

***
Terlihat di depan komplek perumahan Vila Tomang baru, bapak-bapak yang berjumlah ratusan orang itu mulai menggenggam erat benda-benda yang telah ia bawa, karena segerombolan penjarah itu telah berada di hadapan mereka. Segerombolan penjarah itu jumlahnya terlihat puluhan, beberapa dari mereka juga membawa kayu, bensin dan korek api. Salah satu dari mereka memutuskan untuk berbicara, ia ingin menjarah mini market Kartika karena orang Tionghoa yang berada di dalam wilayah komplek perumahan Vila Tomang Baru, yang mereka ketahui itu banyak. Ustaz Wan, guru agama laki-laki di daerah komplek Vila Tomang Baru, memutuskan untuk berbicara juga, dengan ditemani oleh ketua RW Kris, dan beberapa bapak-bapak lainnya. Ustaz Wan dan Kris tidak mengizinkan mereka untuk menjarah  minimarket Kartika, “Di sini emang banyak orang Tionghoa tapi kere-kere semua. Apa yang mau dijarah?” ucap Kris untuk melindungi warga setempat.
Pada pukul delapan malam, negosiasi yang berlangsung salama kurang lebih 1 jam tidak mengubah keinginan mereka untuk menjarah mini market Kartika. Hingga negosiasi selesai pun bapak-bapak komplek perumahan Vila Tomang Baru tidak berhasil untuk menyuruh segerombolan penjarah itu pulang. Bahkan segerombolan penjarah itu memutuskan untuk menunggu sambil terduduk di aspal depan komplek perumahan Vila Tomang Baru.
Jarum jam menunjukan pukul 00.00 WIB, rasa kesal masih menyelimuti raut wajah segerombolan penjarah itu, melihat bapak-bapak dari luar komplek perumahan Vila Tomang Baru yang terus menerus berdatangan untuk membantu penjagaan. Selang beberapa menit kemudian, segerombolan penjarah itu akhirnya memutuskan untuk membubarkan diri, namun itu belum menjadi kelegaan untuk bapak-bapak komplek perumahan Vila Tomang Baru, tetapi menjadi sebuah penjagaan yang ketat karena takut para penjarah memiliki rencana lain untuk tetap menjarah mini market Kartika.
Selama tiga hari dua malam, bapak-bapak komplek terus berjaga, takut jikalau orang-orang itu kembali dengan masa yang lebih banyak, namun ketakutan itu tidak terjadi. Karena setelah tiga hari dua malam berjaga, mereka tidak pernah melihat batang hidung para penjarah itu dan suasana komplek perumahan Vila Tomang Baru mulai kondusif kembali.

***
            Awal Mei 2017. Multati mulai mengenang kembali kejadian 19 tahun lalu, bagaimana kekhawatirannya, raut wajah cemas dan perasaan gelisah yang merambati tubuhnya itu terus teringat. Bahan makanan yang setelah kejadian itu menjadi melejut serba mahal dan kondisi keuangan keluarganya yang mulai sulit, kembali terkenang dalam benaknya.

“Nggak akan lupa, udah lekat diingatan gabakalan lupa,” ujar Multati sambil tersenyum kecil.

***

 Dokumentasi:

Bersama Erdyanto dan Multati


Bersama Heni


Bersama ketua RW, Kris. Pada tahun 1998.


Depan komplek perumahan Vila Tomang Baru saat ini

No comments:

Post a Comment