KEINDAHAN YANG LUNTUR
PADA GEDUNG KESENIAN TANGERANG
(Aleksandra Ekhe
Wahyu – 00000008853)
Kondisi Function Hall Gedung Kesenian Tangerang.
“Aaaaargghh! ggrrr.. yaaaakk!!” sambil
memukul-mukul dada dan kepalanya. Lakon salah satu pemain teater Nebula yang
berperan sebagai seorang anak autis ini, mampu membuat para penonton
tercengang. Di bawah gedung semi outdoor tak
beratap utuh dilengkapi dinginnya lantai gedung karena cuaca mendung, ratusan
penonton mengkerutkan dahi mereka tanda antusias menonton acara ‘BIGBANG’ dari Teater Nebula.
Acara kecil nan meriah
ini diadakan di salah satu gedung yang menjadi tumpuan para seniman di
Tangerang. Ya, Gedung Kesenian Tangerang. Berada tak jauh dari keramaian kota
tepatnya di depan RSUD Tangerang , Kelapa Indah, Tangerang City, Banten. Tanah
seluas satu hektar disiapkan oleh pemerintah untuk dijadikan gedung seni. Di
atas tanah tersebut dibangun tiga buah
bangunan, ada function hall berukuran
12 m x 15 m, gedung untuk Dewan Kesenian Kota Tangerang (DKT), dan sekretariat
Ikatan Pencak Silat (IPSI) Kota Tangerang. Lahan yang tersisa dijadikan sebagai
tempat parkir dan orang berjualan. Gedung Kesenian Tangerang yang selalu
menjadi harapan bagi para seniman Tangerang akhirnya dapat berdiri pada tahun
2002.
Namun kini kondisi
gedung tersebut sangat miris. Bagian langit-langit function hall sudah banyak yang jebol, tertahan dengan setengah
bagian lepas dari kerangkanya, atau bahkan sudah ada yang berjatuhan. Atap yang
sedari awal dibangun tidak pernah direnovasi membuat air dikala hujan melanda
masuk ke celah-celah genting dan
bocor sampai ke dalam function hall. Tidak
hanya itu, lantai pun sangat jarang dibersihkan sehingga sampah daun-daun ataupun buah-buah kecil dari
pepohonan berserakan di atas lantai.
“Kadang suka takut kalo
mau pasang macem-macem, soalnya udah pada rapuh. Atapnya apalagi, nanti kalo
jebol, makin banyak bocornya,” ujar Juki
yang juga ikut menjaga gedung.
Tujuan awal dari gedung
kesenian ini seakan hilang begitu saja karena kondisi gedung yang sudah tidak
memungkinkan. Saat ini, lahan gedung kesenian dipakai untuk lahan parkir motor
para pengunjung RSUD. Parkir itu juga masih dikenakan tarif dua ribu rupiah per
motor. Lalu, di siang hari kala tidak sedang ada latihan di gedung seni, function hall dipakai para pengunjung
RSUD untuk beristirahat, duduk-duduk, makan, bahkan tidur di lantai hall.
Tidak hanya bagian dari
function hall saja yang kondisinya
memprihatinkan, tapi Kantor DKT juga tiada beda. Dijendela dan pintu kantor,
banyak tertempel poster-poster dan sticker-sticker acara kesenian sejak tahun
2010 lalu. Poster dan sticker tersebut tertumpuk tak beraturan. Dari celah-celah
kaca bening pintu kantor terlihat kondisi ruangan kantor sangat tidak kondusif.
Terdapat sisa-sisa bungkusan makanan, ada juga kasur, kipas angin , dll.
Suasana di dalam tidak menunjukkan bahwa itu adalah sebuah ruangan kantor,
pantas saja sangat jarang pengurus DKT datang, seperti yang diungkapkan oleh Juki,
“orang DKTnya mah jarang datang, angot-angotan,”
jelasnya.
Teater Nebula adalah
salah satu dari sekian banyak kelompok teater yang sering memakai gedung ini,
baik untuk latihan atau pun melakukan suatu pementasan. Sangat disayangkan
karena pemerintah tidak mampu menyediakan lahan lain untuk teater-teater yang
ada, sehingga mereka terpaksa memakai gedung seni yang bisa dikatakan sudah
tidak layak.
“Acara 1 Mei kemarin
banyak banget yang dateng, tapi ya apa daya cuma bisa diadain di sini gara-gara
gak ada tempat lagi. Tapi antusias
penonton masih tetap meriah kok,” kata
Daiman (26), salah satu panitia acara Bigbang. Daiman memiliki sebuah sanggar
teater bernama teater seribu yang juga berlatih di gedung seni tersebut.
Daiman menceritakan
bahwa sudah banyak prestasi yang berasal dari gedung seni tersebut. Segala
macam perlombaan seni di Tangerang mayoritas diadakan di gedung seni. Teater
yang Daiman bentuk pernah menjuarai Festival Teater Jakarta pada tahun 2016
lalu.
“Semua awalnya ya dari
sini, nongkrong di sini, latihan, pentas. Jadi kalo juara ya pasti asalnya dari
sini,” ujarnya.
Sejak usia Daiman 10
tahun, ia sudah bermain di gedung seni kesayangannya tersebut. “Tempat ini
ibarat kata tuh udah jadi rumah kedua
buat saya,” katanya sambil tersenyum.
Acara yang diadakan
kian menumpuk, minat masyarakat Kota Tangerang terhadap seni juga semakin
meningkat. Hal ini dibuktikan dengan adanya 38 sanggar teater yang sempat
berlatih di gedung seni tersebut. Mereka berlatih sampai ke lahan-lahan parkir
karena hall yang ada kurang memadai.
Tidak ada yang bisa
diharapkan. Penjaga gedung juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Saya di sini
menjaga tempat ini ya dengan sukarela, dapetlah sedikit-sedikit dari pak ketu,
tapi ya gak pasti juga,” ungkap Juki.
Walau begitu, berbagai
cara ditempuh untuk tetap menyelamatkan keberadaan gedung ini. Namun, tanggapan
dari pemerintah membuat para seniman kesal serta kehabisan cara.
Pemerintah daerah Kota
Tangerang belum pernah datang untuk mengunjungi gedung seni itu. “Selama saya
di sini, belum pernah dateng pemerintah. Makanya bingung,” ungkap Daiman,
kecewa.
DKT melihat adanya
antusias yang tinggi dari para remaja Tangerang terhadap seni dan budaya di
kota ini. Dapat dilihat dari jumlah penonton yang hadir saat teater Big Bang
lalu, yang diadakan selama tiga hari berturut-turut. “Sangat tidak menyangka
kalau akan sebanyak ini yang datang, walaupun tempat yang ada sangat kurang
mendukung,” ujar Ketua DKT, Drs. H. Sujarwo.
Tentunya Sujarwo tidak
diam saja. Pihak DKT telah mengajukan pembangunan kembali Gedung Kesenian
Tangerang terhadap Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banten. Namun,
ajuan itu tetap tersangkut dan tidak ada aksi nyata dari pemerintah. Sujarwo
mengaku akan tetap mendukung segala kegiatan seni yang ada dan terus
mengembangkannya. “Walaupun harus gotong royong cari dana sana sini, tetap
harus didukung kesenian di tempat ini. Ini jadi salah satu wadah juga dan kegiatan
positif, kan?” kata Sujarwo.
Dulu, DKT bersama para
seniman Tangeran sempat membuat tim pembangunan untuk Gedung Kesenian
Tangerang. Tidak bertahan lama dan juga tidak ada arahan yang jelas.
Keterbatasan biaya lagi-lagi menjadi pemicu gagalnya tim ini.
Pada Februari 2016, DKT
menggelar rapat untuk memutuskan dibongkarnya Gedung Kesenian Tangerang. Kabarnya,
Gedung Kesenian Tangerang akan dibongkar dan diluluhlantakan. Lahan gedung ini
akan dipakai untuk membantu segala kegiatan RSUD Kota Tangerang. Tapi tidak
hanya pembongkaran yang akan terjadi, melainkan DKT mendesak pemerintah untuk
segera membangun gedung kesenian baru sebagai gantinya. Kabarnya, gedung itu
akan dibangun di depan Pusat Pemerintahan Kota (Puspemkot) Tangerang. Bukan
berarti Sujarwo ‘cuci tangan’, ia mengungkapkan bahwa kegiatan seni dan budaya
tidak hanya dapat dilakukan pada satu tempat saja, “ya kalau ini sudah tidak
layak, mungkin bisa pindah ke tempat lain. Kayak taman-taman baru yang sudah
dibuat oleh pemda.” Menurut dirinya dengan begitu tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ketidaktersediaan
tempat seharusnya tidak menyurutkan semangat para seniman di Tangerang.
Gedung Kesenian
Tangerang yang awalnya dibangun dengan biaya hampir satu milyar rupiah, kini
harus menelan kerapuhan kondisi bangunannya. Gedung ini sudah diisukan akan
pindah tempat sejak tahun 2015 lalu, namun tak ada aksi pasti dari pemerintah.
Tahun 2016 juga sempat terdengar kabar bahwa akan dilakukan renovasi ulang pada
gedung seni. Namun, nihil hasilnya. Sampai saat ini, Gedung Kesenian Tangerang
masih sama dengan gedung yang pertama kali dibuat dulu. Itu berarti 15 tahun
sudah, tidak ada upaya konkrit dari pemerintah dalam mengurus gedung ini.
Ajuan-ajuan yang
dikirim oleh DKT, masuk ke bagian pelaporan dan evaluasi dari Disbudpar Banten.
Kepala Subbagian (Kasubag) Program, Evaluasi dan Pelaporan Disbudpar Banten,
Yedi Rusyadi mengatakan bahwa tidak semudah itu untuk memproses laporan atau
ajuan yang ada. “Yang lapor ke kita bukan DKT aja, banyak,” ujar Yedi.
Ternyata pemerintah
sudah menyiapkan adanya Taman Budaya atau Taman Seni Tangerang, namun belum ada
lahannya. “Kami kan sudah bilang, kalau akan dibangun sebuah taman, cuma belum
ada lahannya aja,” jelas Yedi. Tidak hanya sekedar kehabisan lahan kosong,
pembangunan taman belum terlaksana karena adanya kendala ekonomi. Alasan yang
paling besar adalah soal biaya yang tidak mencukupi untuk pembangunan. Karena
banyaknya laporan dan ajuan, maka banyak juga biaya yang harus dikeluarkan
untuk membenahi dan memenuhi ajuan tersebut. Yedi lagi-lagi menjelaskan bahwa
banyak yang harus dibenahi, jadi satu per satu, karena biaya yang diberikan
oleh Pemerintah Kota (pemkot) Tangerang juga tidak banyak.
“Skala prioritas aja,
yang mana yang penting ya yang itu kita dahulukan,” ungkapnya. Biaya yang ada sementara
ini akan dialokasikan untuk hal lain dibanding memperbaiki ‘rumah kedua’ para seniman
Tangerang. Pembangunan homestay dan
hotel-hotel ternama kebih diprioritaskan oleh Disbudpar Banten. Pembangunan itu
dikatakan lebih berguna untuk meningkatkan aspek pariwisata di Tangerang.
Promosi tentang wisata di Banten sedang gencar-gencarnya, agar banyak turis
maupun masyarakat yang mau mengunjungi Banten.
“Wisata alam juga perlu
banyak dana untuk segera dipercantik lagi, jadi gak cuma gedung seni aja,”
jelas Yedi.
Lagi-lagi dinas tidak
bisa membantu terkait Gedung Kesenian Tangerang. Mungkin apabila itu
terealisasi, entah berapa lama lagi waktu yang diperlukan. Menurut salah satu
pengunjung RSUD, Deden, ia cukup nyaman untuk beristirahat di gedung kesenian
ini. “Enak yah, di sini kan ada angin-angin gitu, jadi sejuklah, gak panas,”
ungkap Deden. Ia juga ikut prihatin melihat kondisi gedung yang sudah
compang-camping. Tapi ia juga kagum karena hampir setiap sore, puluhan remaja
datang untuk berlatih di gedung ini. “Saya sering lihat itu pada nari, silat, sama dramaan. Keren sih,
anak-anak muda berbakat,” ujar Deden. “Daripada ini gak keurus sih mending
dibongkar terus bangun lagi gedung RSUD, kan rumah sakit butuh banyak ruangan,”
lanjutnya.
Segala
upaya sudah dilakukan untuk satu-satunya gedung kesenian di Tangerang. DKT,
seniman, dan pecinta seni sudah bersatu untuk tetap mempertahankan tempat
mereka berkarya. Tangerang telah menghasilkan banyak bibit-bibit seniman dan
prestasi seni, kebanyakan tak lain dari berlatih di gedung ini. Gedung ini
bukan hanya tempat berkumpul, bukan hanya tempat berlatih, tapi sebuah wadah. Wadah
yang mengizinkan para seniman untuk berkarya bagi kotanya tercinta, Tangerang.
“Ya, namanya juga kita
rakyat kecil, cuma seniman yang gak ada duitnya. Ada tempat syukur, gak ada ya
kita di jalan juga jadi,” ujar Daiman, pasrah. “Gedung dengan sejuta prestasi
masa bisa kalah sama gedung sejuta bintang?” lanjutnya.
No comments:
Post a Comment