PANAH
KEBUNGKAMAN PASUKAN ORANYE
Maria
Mercy Apriani Wungubelen
00000009563
Tak memiliki kekuasaan
apapun , Tinah pasrah mengikuti permainan yang dibuat oleh orang di atasnya .
Seseorang yang harusnya melindunginya sebagai warga . Yang diinginkannya
hanyalah sebuah pekerjaan untuk bertahan hidup .
Jalanan Jakarta pagi itu
ramai seperti biasanya . Jalanan yang dilewati kendaraan roda dua, empat, dan
enam . Ada juga beberapa pejalan kaki yang melewati jalan itu . Bersama
beberapa orang , Tinah , wanita kelahiran 1962 itu duduk termenung di bawah
sinar matahari yang sudah mulai menghangat. Secara perlahan ia menoleh ke
sebelah kirinya . Di sana terlihat seorang anak muda dengan pakaian casual namun tetap terlihat rapi yang
sedari tadi terus melihat jam tangannya . “Sepertinya dia mahasiswa” gumam Tinah.
Ia berganti menoleh ke sebelah kanan, di situ terlihat seorang ibu paruh baya
dengan bakul besar berisi botol-botol jamu . Orang-orang sibuk dengan urusan
mereka masing-masing . Beginilah Tinah menghabiskan paginya setelah beberapa
waktu yang lalu ia di pecat dari pekerjaannya sebagai pegawai PSSU (Pasukan
Oranye) daerah Senayan.
Setelah cukup lama ia
duduk di halte tersebut, Tinah berjalan kaki ke arah pasar. Tinah membeli dua
buah ubi. Ubi itu akan direbusnya dan menjadi santapan berbuka puasa nanti sore
bersama suaminya , Tohir yang lebih muda 7 tahun darinya . “Alhamdulillah”
gumam Tinah . Sudah genap 6 bulan sejak ia dipecat dari pekerjaannya yang telah
ia tekuni selama 12 tahun tersebut . Saat ini Tinah harus benar-benar menghemat
pengeluaran mereka. Tohir adalah satu-satunya sumber penghasilan rumah tangga
mereka saat ini . Bukan hanya masalah berkurangnya pendapatan saja yang membuat
Tinah sedih kehilangan pekerjaannya . Namun, karena Tinah adalah seorang wanita
pekerja keras, sehingga menganggur dan tidak melakukan apapun sangat membuat Tinah
tidak betah . Ia masih berharap bisa bekerja lagi . Sejak ia muda dulu , segala
macam pekerjaan kotor dan berat telah ia lakukan . Bahkan ia pernah mengalami
kecelakaan kerja pada tahun 1983 , di sebuah pabrik karung tempat ia bekerja.
Kecelakan itu harus merenggut 5 jari tangan kanan Tinah . Saat itu ada dua
orang yang yang menjadi korban kecelakaan kerja tersebut, yaitu Tinah dan
seorang temannya lagi . Tinah mengucap syukur karena baginya , kehilangan 5
jari tangan kanannya itu masih lebih baik . Hal ini dikarenakan teman Tinah
yang juga menjadi korban kecelakaan kerja tersebut harus kehilangan satu
tangannya . Dikarenakan Tinah waktu itu baru 2 tahun bekerja di pabrik tersebut
, ia tidak mau meminta tanggung jawab dari pabrik. Tapi , pabrik tetap
mengambil tanggung jawab dengan membiayai seluruh pengobatan rumah sakit untuk
kedua pekerjanya .
Tinah tinggal hanya berdua bersama suaminya
Tohir di sebuah kontrakan kecil dekat stasiun kereta api Palmerah . Tinah
memiliki seorang putri yang diadopsinya kurang lebih 30 tahun yang lalu . Kala
itu Tinah masih tinggal bersama suami pertamanya . Tohir merupakan suami kedua
Tinah . Tinah mengadopsi anak perempuan yang diberi nama Ika itu karena tidak
tahan melihat penderitaan anak malang itu . Waktu itu Ika sebagai seorang bayi
yang polos dan tidak tahu apa-apa , harus menanggung penderitaan akibat ulah
kedua orang tua kandungnya . Tinah mengadopsi Ika ketika Ika berumur 6 bulan.
Ika menjadi bayi yang sehat dalam perawatan dan kasih sayang orang tua barunya.
Bu Tinah memberikan ASI untuk Ika selama 1 tahun 5 bulan . Bagi seorang bayi,
ASI merupakan hal terpenting . ASI adalah sumber asupan utama untuk bayi . Ika
tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria . Namun , saat Ika menginjak usia 4
tahun , Tinah harus mengalami peristiwa menyakitkan dengan kehilangan sang
suami. Tinah bukanlah seorang wanita yang lemah. Ia tidak mau berlama-lama
bersedih. Tinah menjadi semakin bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya dan
kebutuhan putrinya. Apalagi putrinya kala itu baru masuk Taman Kanak-Kanak
tahun pertama. Bekerja keras seorang diri selama 3 tahun, akhirnya Tinah
bertemu Tohir yang merupakan rekan kerjanya di PT. Mereka pun mensahkan
hubungan mereka menjadi pasangan suami dan istri. Kehadiran Tohir sangat
membantu ekonomi keluarganya meski pendapatan mereka berdua sama.
Setelah bekerja keras
bertahun-tahun akhirnya Tinah dan Tohir diterima kerja sebagai karyawan anggota
Pasukan Putih . Hal ini sangat disyukuri oleh Tinah dan suaminya . Sebab ,
pendapatan sebagai Pasukan Putih lebih besar dibanding pekerjaan sebelumnya .
Gaji perbulan yang didapat Tinah sebagai pekerja Pasukan Putih sebesar Rp
400.000,00 per bulannya . Beberapa tahun kemudian Tinah dan Tohir dipindahkan
ke kelompok Pasukan Oranye . Tepatnya pada tahun 2016, PPSU atau yang lebih
dikenal dengan Pasukan Oranye ini mulai aktif. Pasukan ini dibentuk untuk
menangani berbagai permasalahan yang ada di pemukiman masyarakat. Tugas-tugas
Pasukan Oranye antara lain; membersihkan selokan, membetulkan lampu penerangan
yang rusak, hingga memangkas pohon agar DKI Jakarta terlihat lebih bersih,
rapi, dan indah. Setiap kelurahan ditempatkan 70 anggota Pasukan Oranye. Tinah
dan Tohir ditempatkan di Kelurahan Gelora, Senayan, Jakarta Pusat. Gaji yang
diperoleh Tinah pun sangat tinggi baginya dibandingkan pendapatan dari
pekerjaan-pekerjaan sebelumnya. Kali ini Tinah sebagai anggota Pasukan Oranye
digaji sebesar Rp 3.300.000,00 per bulan berdasarkan nilai UMP DKI 2017. Dengan
gaji Rp 3.300.000,00 membuat banyak warga yang
melamar untuk bekerja sebagai karyawan PPSU Pasukan Oranye. Bahkan
banyak dari mereka yang meninggalkan pekerjaanya seperti hansip hingga pemilik
warteg . Pada Desember 2016 seiring
dengan , Lurah Gelora Mediawati membuka pendaftaran untuk periode 2017, baik
bagi yang baru maupun bagi pegawai lama. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya,
pendaftaran kali ini jauh lebih sulit. Para pendaftar harus melewati berbagai
macam tes seperti tes administrasi, tes akademik, tes wawancara, tes psikotes,
dan tes kesehatan. “Bersihin got kok pake tes akademik, wawancara segala”
ungkap seorang pegawai Pasukan Oranye yang waktu itu sedang istirahat makan
siang di sebuah warteg. Tinah dan Tohir yang tidak pernah menginjak halaman
sekolah ini pun bingung, apa yang harus mereka lakukan .
Tinah dan Tohir tidak lolos pada tes pertama
mereka yaitu , tes administrasi . Hal ini disebabkan oleh pasangan suami istri
ini tidak memiliki ijazah dan tidak bisa membaca dan menulis. Tinah dan Tohir
sangat terluka mengetahui kenyataan bahwa mereka diberhentikan . Tinah mengisi
hari-harinya sebagai pengangguran dengan duduk–duduk di trotoar maupun halte .
Dengan pakaian hansip hijaunya ia duduk termenung diam tak melakukan apapun .
Hal ini menarik perhatian masyarakat yang melewatinya . Hingga suatu ketika
seorang wartawan Kompas menyampirinya dan mengajak Tinah berbincang . Tinah
menceritakan apa yang ia alami secara keseluruhan . Ternyata kisah Tinah ini
pun dimuat di Kompas . Tak lama setelah itu semakin banyak wartawan-wartawan
dari berbagai macam media mulai dari cetak, TV, online , dan radio mendatangi
Tinah dan mewawancarainya . Tinah pun menjadi bahan perbincangan dan menarik
banyak perhatian masyarakat . Berbagai macam bantuan dan sumbangan datang
kepadanya . Sebagian besar bantuan tersebut berupa pakaian karena,di berita
manapun, dan hampir di setiap foto, Tinah selalu mengenakan baju hansip yang
entah didapatnya darimana. Pakaian-pakaian yang masih terbungkus rapi didalam
kantung plastic itu disimpannya di dalam kamar kontrakannya dan tidak ia sentuh
sama sekali. Ia tetap setiap mengenakan baju hansip hijaunya. “Ini orang-orang
kenapa kasih saya baju? Saya mah ga butuh baju, saya butuh kerja” ungkap Tinah
sembari memandangi tumpukan baju sumbangan yang ada di kamarnya.
Dengan viralnya Tinah,
Kelurahan Gelora tempat ia bekerja juga menjadi viral. Lurah Gelora, Mediawati
juga dicari dan diwawancarai oleh para jurnalis. Pertanyaan yang paling sering
diajukan pada Mediawati adalah alasan Tinah di pecat. Tinah dan Tohir ditawari
untuk memasukan lamaran lagi . Tinah dan Tohir harus mengurus beberapa
administrasi dan harus mengirim email
. Tinah yang buta huruf dan tidak tahu menahu mengenai email itu pun bertanya pada temannya. “ Email mah gampang, Cuma modal kuota doang ” seperti itulah jawaban
yang diterima Tinah . Namun , kenyataan berkata lain. Ketika Tinah memintai
seorang kenalan untuk mengirimkan email
, Tinah dan Tohir harus membayar Rp 300.000,00 per email . Tinah tidak bisa menolak , ia benar-benar ingin bekerja
lagi. Tinah dan Tohir juga disuruh menggunakan pakaian dan sepatu yang rapi dan
bagus . Tinah dan Tohir diharuskan menggunakan dresscode putih hitam oleh kelurahan. Tinah dan Tohir pun
mengeluarkan uang mereka lagi untuk membeli pakaian yang ditentukan oleh
kelurahan . Pada hari pengumuman , ternyata Tinah tidak lolos . Hanya suaminya
Tohir yang diterima .Tohir diterima bekerja lagi dengan pertimbangan bahwa,
Tohir sebagai kepala keluarga yang akan menafkahi keluarganya. Beban Tinah
sedikit berkurang , karena setidaknya salah satu dari mereka harus bekerja
untuk kelangsungan hidup mereka. Meskipun Tinah masih sedih dengan
pemberhentiannya dari Pasukan Oranye. “Setau saya dulu pernah dibilang sama
wakil lurah tuh, katanya ga butuh ijazah kalau mau jadi anggota Pasukan Oranye.
Yang dibutuhin tuh cuma surat pengalaman kerja” curhat Tinah. “Lagian saya kan udah kerja 12 tahun disitu ,
saya juga ga pernah bolos kerja. Saya selalu hadir. Setidaknya kasih saya
tunjangan apa kek” lanjutnya sambil berurai air mata. Tinah selalu meneteskan
air matanya setiap kali ia menceritakan nasibnya.
Sore itu , Tinah sedang
duduk bersama beberapa temannya. Kemudian seorang temannya datang dan
menceritakan sesuatu yang membuat Tinah geram. Temannya bercerita mengenai
beberapa orang yang menyogok agar bisa lolos seleksi Pasukan Oranye Kelurahan
Gelora. Dengan gaji Rp 3.000.000,00 ada beberapa orang yang rela menyogok agar
bisa bekerja sebagai PPSU Pasukan Oranye. Menurut yang Tinah dengar dari
temannya yang juga merupakan pekerja PPSU Pasukan Oranye itu, jumlah uang
sogokan yang diberikan sebesar Rp 800.000,00 per orang. Tinah semakin kecewa
mendengar kabar ini . Namun, apalah daya Tinah yang tidak memiliki kekuasaan
apapun . Ia tidak dapat melakukan apa-apa dan hanya pasrah pada nasib .
No comments:
Post a Comment