Kemiskinan
Dibalik Kemerdekaan. Pemukiman
kumuh adalah sebuah kenyatan sulit dihilangkan, dimana kemiskinan menjadi faktor utamanya.
Oleh : Chintya carlin / 00000010649
Indonesia sudah 71 tahun merdeka,
dengan teks proklamasi sebagai tanda sahnya kemerdekaan. Negeri ini sudah
terbebaskan dari penjajahan, namun sebagian masyarakat Indonesia sedang mencari
dan memperjuangkan kemerdekaannya. Bukan kemerdekaan secara hukum, melainkan
kenyataan yang ada. Kemiskinan, keterbelakangan daerah dan ketidakadilan
menjadi hal yang harus diterima sebagian masyarakat Indonesia.
Membahas
kemiskinan pasti akan membawa orang berpikir dimana kemerdekaan mereka. Hal itu
karena kemiskinan dan kemerdekaan merupakan hal yang berhubungan. Dengan
sepanjang sejarah dalam kurun waktu 350 tahun, negara ini harus merasakan
kemiskinan dibawah penjajahan kolonial, walaupun sumber daya alam yang negara
ini miliki melimpah. Namun, setelah melalui masa itu dan mencapai kemerdekaan,
rakyat saat ini masih menuntut kemerdekaan yang harusnya mereka rasakan.
“Merdeka dari penjajahan, sudah. Namun,
merdeka dalam negeri jajahan ini belum. Rakyat Indonesia memang sudah
terbebaskan oleh penjajah asing, tetapi belum terbebaskan dari penjajah dalam
negeri ini”. Itulah hal yang sering didengar jika membahas kemerdekaan. Rakyat
sedang mencari – cari dimana letak kemerdekaan dalam negeri ini, maksud dari
kemerdekaan yang dicari bukan hanya merdeka secara hukum, melainkan merdeka
dalam segala hal, merdeka berarti meraih kebebasan .
Kemerdekaan
yang ada saat ini tentu bukan berarti sudah terbebaskan dari segala penindasan
dan kemiskinan. Masyarakat belum sepenuhnya merasa terbebaskan dalam melakukan kegiatan yang memenuhi hajat
hidupnyadan mnencapai kesjahteraan secara ekonomi serta terbebaskan dari
belenggu kemiskinan saaat ini. Negara yang merdeka seharusnya mampu
mensejahterakan rakyatnya, karena tidak ada lagi pemaksaan dari negara penjajah
dan negara bebas dalam menentukan kebijakan yang pro rakyatnya sehingga rakyat
terbebas dari belenggu kemiskinan yang membelitnya.
Hal yang memperlihatkan bahwa rakyat masih
banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, yaitu dengan masih banyanya
pemukiman jumuh yang tidak layak dan pemerintah yang dianggap tidak pro
terhadap rakyatnya. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya
merdeka dari penjajah. Penjajah dari negara asing tidak menggunakan alat
perang, melainkan kebijakan ekonomi yang ditetapkannya. Penjajah dari negara
asing membuat negara juga melakukan penjajahan terhadap rakyatnya. Dan siklus
ini berakhir dengan kondisi rakyat yang tidak prnah terlepas dari jeratan
ekonomi kapitalis yang membentuk kemiskinan struktural, sehingga rakyat sampai
akhir hayatnya berada dalam lingkaran kemiskinan.
Tinggal dipemukiman kumuh dengan tidak
ada bantuan dan solusi dari pemerintah menjadi gambaran bahwa kemerdekaan tidak
dirasakan dan kemiskinan semakin terlihat dengan jelas.
Jalanan sempit dengan
beberapa titik yang tergenang air laut menjadi satu – satunya alternatif utama untuk masuk menyusuri daerah ini, yaitu
Kampung Dadap, yang tepatnya pemukiman para nelayan. Kampung nelayan ini,
berada tepat di pinggiran laut yang tidak dibatasi oleh pembatas apapun,
sehingga air bisa masuk kapan saja daan menggenangi rumah mereka.
Dari sebrang kali yang memanjang
mengarah ke laut, pemukiman para nelayan akan jelas terlihat. Dengan perahu -
perahu nelayan yang berjejer dipinggiran laut atau tepat didepan rumah mereka.
Air laut di daerah ini tak lagi berwara biru, melainkan hitam dengan aroma yang
tak sedap dan bau amis yang menyengat, semakin memperjelas daerah ini tidak
layak untuk ditempati.
Rumah - rumah nelayan ada yang
dibangun dengan pondasi kayu dan bambu untuk
menahannya tetap kokoh berada
diatas air laut. Dan, adapula rumah
warga yang dibangun dengan bahan dasar
batu, semen dan pasir, dimana ketika air pasang dan hujan turun, kawasan itu
menjadi tergenang air laut yang bisa masuk ke dalam rumah mereka. Untuk
menghindari hal tersebut, ada beberapa warga yang sudah mengantisipasi masuknya
air laut dengan membanngun semen tinggi dipintu masuk rumah mereka. Namun, air
pasang terkadangan akan lebih tinggi dari tafsiran mereka.
“
iya, kita kasih pembatas sendiri biar air ga masuk kalau lagi pasang atau hujan
deras”, tutur Rahni sebagai salah satu warga kampung nelayan.
Sampah – sampah plastik, botol dan
yang lainnya bertebaran dimana –mana, jalanan tanah yang dilalui sudah terurai
dengan sampah. Ketika musim hujan tanah akan menjadi seperti lumpur dan licin
untuk dilalui. Anak – anak yang tinggal di tempat seperti itu juga akan lebih
mudah terkena penyakit, karena kurangnya kebersihan.
Setelah mengitari Kampung Nleayan
ini, saya melihat ada seorang nelayan bersama istrinya sedang mengupas kulit
ikan ayam – ayam yang akan mereka jual kembali. Mereka adalah Ibu Darsam dan
Bapak Karim, merupakan salah satu warga yang sudah lama ada di daerah ini,
sekitar 13 tahun dan mereka juga orang perantauan.
Warga yang tinggal di daerah ini
rata- rata merupakan seorang nelayan yang memiliki penghasilan tidak menentu
dan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Salah satuny adalah
kelurga Pak Karim, pedapatan yang terbatas dan biaya kebutuhan yang lebih besar
dari pendapatan menjadi masalah yang harus bisa mereka selesaikan setiap harinya.
Anggapannya, pendapatan yang didapatkan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri
saja tidak cukup, apalagi mereka adalah seorang ayah dan ibu yang harus bisa
memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih sekolah.
Bagi para nelayan kampung ini cuaca
adalah hal yang terpenting. Karena ketika musim hujan datang, mereka akan
kesulitan untuk mencari nafkah dan tempat tinggal mereka menjadi tempat semakin
sulit untuk dilalui kemana saja dan mempersulit kehidupan mereka
sehari-harinya. Tidak hanya itu, rumah warga yang berdiri diatas laut juga tidak memiliki saluran air bersih untuk
tiap – tiap rumahnya. Warga biasanya membeli air di ketua RW kampung ini,
dengan biaya yang haru dibayar Rp 10.000/jam. Dikampung ini juga disediakan toilet umum yang sengaja dibangun untuk warga yang
biasanya membutuhkan air dan toilet dengan biaya Rp 2000,- per orangnya.
Dengan
tempat tinggal yang tidak mendukung, kemiskinan
dan kekurangan membuat mereka semakin kesulitan dalam menjalani hidupnya. Kemiskinan
akan begiutu terasa di daerah ini dengan lingkungan yang tidak layak,
penghasilan yang tidak mencukupi dan tidak adanya bantuan pemerintah untuk
membantu kelayakan hidup warga di daerah ini.
Pemukiman kumuh dan kurang
perhatian dari pemerintah jadi sesuatu yang sudah biasa daerah ini. Sakit hati,
kecewa dan lebih berhati – hati menjadi tiga hal yang terus mereka rasakan
terhadap pemerintah.
Masih berada dibawah garis
kemiskinan, yah itulah yang terus dirasakan. Ketika disinggung mengenai
harapannya kepada pemerintah, ketua RT dan warga daerah ini hanya bisa
menyampaikan keputusasaan mereka. Tak ada lagi yang ingin mereka sampaikan
kepada pemerintah. Hanya satu keinginan mereka yaitu, membiarkan mereka menjalani hidup dengan
kepasrahan mereka terhadap pemerintah, tak ingin diusik dan diganggu oleh
petinggi - petinggi di negara ini.
Ingin dibantu? Yah, mereka sempat
berharap untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat, dengan mengajukan
beberapa surat dan suara mereka. Mendapatkan bantuan sembako dan mengadakan
raskin ( beras miskin ) saja sudah cukup untuk mereka. Tidak muluk – muluk
kenginan yang mereka sampaikan, dengan beras miskin saja sudah cukup untuk
mensejahterahkandan membantu warga di
daerah ini.
Warga
mengaku selama hidup di daerah ini dari yang dahulunya hutan hingga menjadi
tempat yang kumuh saat ini, pemerintah hanya pernah memberikan bantuan kepada
mereka satu kali saja. Warga perantauan yang tinggal lebih dari sepuluh tahun
di Kampung Nelayan sampai saat ini, juga mengatakn tidak ada perubahan yang
lebih baik atau maju dari pada dulu, dan hanya satu kali bantuan yang pernah
mereka dapatkan.
Kampung
nelayan di Dadap juga sudah tidak seperti Kampung nelayan di Muara Angke. Nelayang
yang hidup di daerah ini hanya bisa menjual tangkapan mereka kepada langganan
yang memesan dan ke daerah lain untuk mejual tangkapannya. Tidak ada lagi
tempat pelelangan di daerah ini. Pelelangan yang menjadi tempat mereka untuk mengubah
hasil tanggkapan menjadi uang, saat ini sudah mati karena tidak ada yang
mengurusnya.
Tidak
hanya pelelangan saja yang hilang, kampung nelayan daerah ini hampir saja
menghilang karena adanya kebijakan penertiban dan penggusuran ditahun 2016. Untuk
mempertahankan daerah Kampung nelayan, sempat terjadi keributan dan tembakan
gas air mata didaerah ini. Warga mengaku, mereka tentu tidak akan menolak
penggusuran ini bila mereka juga
diberikan tempat yang layak sebgai kompensasinya.
“
Kambing saja ada rumahnya, masa kita yang uda punya bangunan digusur tanpa
adanya kompensasi bangunan baru untuk ditempati. Mau tinggal dimana kita kalau
digusur ?” tutur Bu Radyah, sebagai salah
satu warga.
Memang
tempat yang mereka tempati tidak layak dan membuat pemukiman menjadi kumuh.
Tapi, apabila warga yang dibilang tidak sedikit jumlahnya ini digusur tanpa ada
kompensasi tempat tinggal baru, maka warga akan menjadi lebih sulit dan bisa saja
ada pemukiman kumuh baru yang dibentuk oleh mereka.
Warga yang sempat mengalami
kerusuhan dengan adanya penggusuran tahun lalu, menjadi trauma karena takut
tempat tinggal yang meskipun tidak layak ini digusur. Mereka menjadi lebih
berhati – hati dan sedikit tertutup dengan orang asing yang berkunjung ke
pemukiman mereka, karena takut terulangnya kejadian seperti itu.
Bukan hanya trauma, para nelayan dan
warga di daerah ini hanya bisa pasrah dengan keadaan dan menerima semuanya,
karena mereka menganggap pendapat mereka tak akan didengar dan enggan berbicara
banyak jika tidak memiliki apa- - apa.
“Kita
mah bukan apa – apa, jadi kita gamau banyak suara karena bakalan percuma” tutur
Radyah.
Dan sedikit kata dari warga daerah
ini, yang memiliki makna dan pelajaran yang sangat besar artinya dizaman
seperti ini, yaitu kami hanya rakyat kecil yang jarang didengar suaranya dan
kami disini tidak akan dihargai dan hanya akan ditindas oleh mereka yang
memiliki lebih. Kami tidak akan dipedulikan tetapi, ketika suara kami yang
diperlukan maka kami akan dicari, diperlakukan dengan baik dan berbicara dengan
janji yang manis kepada kami.
Merdeka?
Ya, sudah! Tiap tahun kemerdekaan Indonesia diperingati oleh warga daerah ini. Mereka
tau Indonesia sudah merdeka, namun mereka masih mencari dimana kemerdekaan yang
seharusnya mereka dapatkan. Merdeka dengan suara yang mereka sampaikan, merdeka
dengan tidak ada kemiskinan, merdeka dengan kesejahteraan , merdeka dengan
hidup yang layak , dan merdeka dari jajahan petinggi negeri ini.
“Merdeka tapi merasa tak merdeka”
No comments:
Post a Comment