Friday, 2 June 2017

Kemiskinan Dibalik Kemerdekaan

          Kemiskinan Dibalik Kemerdekaan.                                                            Pemukiman kumuh adalah sebuah kenyatan sulit dihilangkan,                                                dimana kemiskinan menjadi faktor utamanya.
                Oleh : Chintya carlin / 00000010649


Indonesia sudah 71 tahun merdeka, dengan teks proklamasi sebagai tanda sahnya kemerdekaan. Negeri ini sudah terbebaskan dari penjajahan, namun sebagian masyarakat Indonesia sedang mencari dan memperjuangkan kemerdekaannya. Bukan kemerdekaan secara hukum, melainkan kenyataan yang ada. Kemiskinan, keterbelakangan daerah dan ketidakadilan menjadi hal yang harus diterima sebagian masyarakat Indonesia.
Membahas kemiskinan pasti akan membawa orang berpikir dimana kemerdekaan mereka. Hal itu karena kemiskinan dan kemerdekaan merupakan hal yang berhubungan. Dengan sepanjang sejarah dalam kurun waktu 350 tahun, negara ini harus merasakan kemiskinan dibawah penjajahan kolonial, walaupun sumber daya alam yang negara ini miliki melimpah. Namun, setelah melalui masa itu dan mencapai kemerdekaan, rakyat saat ini masih menuntut kemerdekaan yang harusnya mereka rasakan.
  “Merdeka dari penjajahan, sudah. Namun, merdeka dalam negeri jajahan ini belum. Rakyat Indonesia memang sudah terbebaskan oleh penjajah asing, tetapi belum terbebaskan dari penjajah dalam negeri ini”. Itulah hal yang sering didengar jika membahas kemerdekaan. Rakyat sedang mencari – cari dimana letak kemerdekaan dalam negeri ini, maksud dari kemerdekaan yang dicari bukan hanya merdeka secara hukum, melainkan merdeka dalam segala hal, merdeka berarti meraih kebebasan . 
Kemerdekaan yang ada saat ini tentu bukan berarti sudah terbebaskan dari segala penindasan dan kemiskinan. Masyarakat belum sepenuhnya merasa terbebaskan  dalam melakukan kegiatan yang memenuhi hajat hidupnyadan mnencapai kesjahteraan secara ekonomi serta terbebaskan dari belenggu kemiskinan saaat ini. Negara yang merdeka seharusnya mampu mensejahterakan rakyatnya, karena tidak ada lagi pemaksaan dari negara penjajah dan negara bebas dalam menentukan kebijakan yang pro rakyatnya sehingga rakyat terbebas dari belenggu kemiskinan yang membelitnya.
Hal yang memperlihatkan bahwa rakyat masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, yaitu dengan masih banyanya pemukiman jumuh yang tidak layak dan pemerintah yang dianggap tidak pro terhadap rakyatnya. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya merdeka dari penjajah. Penjajah dari negara asing tidak menggunakan alat perang, melainkan kebijakan ekonomi yang ditetapkannya. Penjajah dari negara asing membuat negara juga melakukan penjajahan terhadap rakyatnya. Dan siklus ini berakhir dengan kondisi rakyat yang tidak prnah terlepas dari jeratan ekonomi kapitalis yang membentuk kemiskinan struktural, sehingga rakyat sampai akhir hayatnya berada dalam lingkaran kemiskinan.



Tinggal dipemukiman kumuh dengan tidak ada bantuan dan solusi dari pemerintah menjadi gambaran bahwa kemerdekaan tidak dirasakan dan kemiskinan semakin terlihat dengan jelas.
                 Jalanan sempit dengan beberapa titik yang tergenang air laut menjadi satu – satunya alternatif  utama untuk masuk menyusuri daerah ini, yaitu Kampung Dadap, yang tepatnya pemukiman para nelayan. Kampung nelayan ini, berada tepat di pinggiran laut yang tidak dibatasi oleh pembatas apapun, sehingga air bisa masuk kapan saja daan menggenangi rumah mereka.
            Dari sebrang kali yang memanjang mengarah ke laut, pemukiman para nelayan akan jelas terlihat. Dengan perahu - perahu nelayan yang berjejer dipinggiran laut atau tepat didepan rumah mereka. Air laut di daerah ini tak lagi berwara biru, melainkan hitam dengan aroma yang tak sedap dan bau amis yang menyengat, semakin memperjelas daerah ini tidak layak untuk ditempati.
            Rumah - rumah nelayan ada yang dibangun dengan pondasi kayu dan bambu untuk   menahannya  tetap kokoh berada diatas air laut. Dan,  adapula rumah warga  yang dibangun dengan bahan dasar batu, semen dan pasir, dimana ketika air pasang dan hujan turun, kawasan itu menjadi tergenang air laut yang bisa masuk ke dalam rumah mereka. Untuk menghindari hal tersebut, ada beberapa warga yang sudah mengantisipasi masuknya air laut dengan membanngun semen tinggi dipintu masuk rumah mereka. Namun, air pasang terkadangan akan lebih tinggi dari tafsiran mereka.
“ iya, kita kasih pembatas sendiri biar air ga masuk kalau lagi pasang atau hujan deras”, tutur Rahni sebagai salah satu warga kampung nelayan.
            Sampah – sampah plastik, botol dan yang lainnya bertebaran dimana –mana, jalanan tanah yang dilalui sudah terurai dengan sampah. Ketika musim hujan tanah akan menjadi seperti lumpur dan licin untuk dilalui. Anak – anak yang tinggal di tempat seperti itu juga akan lebih mudah terkena penyakit, karena kurangnya kebersihan.
            Setelah mengitari Kampung Nleayan ini, saya melihat ada seorang nelayan bersama istrinya sedang mengupas kulit ikan ayam – ayam yang akan mereka jual kembali. Mereka adalah Ibu Darsam dan Bapak Karim, merupakan salah satu warga yang sudah lama ada di daerah ini, sekitar 13 tahun dan mereka juga orang perantauan.
            Warga yang tinggal di daerah ini rata- rata merupakan seorang nelayan yang memiliki penghasilan tidak menentu dan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Salah satuny adalah kelurga Pak Karim, pedapatan yang terbatas dan biaya kebutuhan yang lebih besar dari pendapatan menjadi masalah yang harus bisa mereka selesaikan setiap harinya. Anggapannya, pendapatan yang didapatkan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri saja tidak cukup, apalagi mereka adalah seorang ayah dan ibu yang harus bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih sekolah.
            Bagi para nelayan kampung ini cuaca adalah hal yang terpenting. Karena ketika musim hujan datang, mereka akan kesulitan untuk mencari nafkah dan tempat tinggal mereka menjadi tempat semakin sulit untuk dilalui kemana saja dan mempersulit kehidupan mereka sehari-harinya. Tidak hanya itu, rumah warga yang berdiri diatas laut  juga tidak memiliki saluran air bersih untuk tiap – tiap rumahnya. Warga biasanya membeli air di ketua RW kampung ini, dengan biaya yang haru dibayar Rp 10.000/jam. Dikampung ini juga disediakan  toilet umum yang sengaja dibangun untuk warga yang biasanya membutuhkan air dan toilet dengan biaya Rp 2000,- per orangnya.
            Dengan tempat  tinggal yang tidak mendukung, kemiskinan dan kekurangan membuat mereka semakin kesulitan dalam menjalani hidupnya. Kemiskinan akan begiutu terasa di daerah ini dengan lingkungan yang tidak layak, penghasilan yang tidak mencukupi dan tidak adanya bantuan pemerintah untuk membantu kelayakan hidup warga di daerah ini.


Pemukiman kumuh dan kurang perhatian dari pemerintah jadi sesuatu yang sudah biasa daerah ini. Sakit hati, kecewa dan lebih berhati – hati menjadi tiga hal yang terus mereka rasakan terhadap pemerintah.
            Masih berada dibawah garis kemiskinan, yah itulah yang terus dirasakan. Ketika disinggung mengenai harapannya kepada pemerintah, ketua RT dan warga daerah ini hanya bisa menyampaikan keputusasaan mereka. Tak ada lagi yang ingin mereka sampaikan kepada pemerintah. Hanya satu keinginan mereka yaitu,  membiarkan mereka menjalani hidup dengan kepasrahan mereka terhadap pemerintah, tak ingin diusik dan diganggu oleh petinggi -  petinggi di  negara ini.
            Ingin dibantu? Yah, mereka sempat berharap untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat, dengan mengajukan beberapa surat dan suara mereka. Mendapatkan bantuan sembako dan mengadakan raskin ( beras miskin ) saja sudah cukup untuk mereka. Tidak muluk – muluk kenginan yang mereka sampaikan, dengan beras miskin saja sudah cukup untuk mensejahterahkandan membantu  warga di daerah ini.  
Warga mengaku selama hidup di daerah ini dari yang dahulunya hutan hingga menjadi tempat yang kumuh saat ini, pemerintah hanya pernah memberikan bantuan kepada mereka satu kali saja. Warga perantauan yang tinggal lebih dari sepuluh tahun di Kampung Nelayan sampai saat ini, juga mengatakn tidak ada perubahan yang lebih baik atau maju dari pada dulu, dan hanya satu kali bantuan yang pernah mereka dapatkan.
               Kampung nelayan di Dadap juga sudah tidak seperti Kampung nelayan di Muara Angke. Nelayang yang hidup di daerah ini hanya bisa menjual tangkapan mereka kepada langganan yang memesan dan ke daerah lain untuk mejual tangkapannya. Tidak ada lagi tempat pelelangan di daerah ini. Pelelangan yang menjadi tempat mereka untuk mengubah hasil tanggkapan menjadi uang, saat ini sudah mati karena tidak ada yang mengurusnya.
Tidak hanya pelelangan saja yang hilang, kampung nelayan daerah ini hampir saja menghilang karena adanya kebijakan penertiban dan penggusuran ditahun 2016. Untuk mempertahankan daerah Kampung nelayan, sempat terjadi keributan dan tembakan gas air mata didaerah ini. Warga mengaku, mereka tentu tidak akan menolak penggusuran  ini bila mereka juga diberikan tempat yang layak sebgai kompensasinya.
“ Kambing saja ada rumahnya, masa kita yang uda punya bangunan digusur tanpa adanya kompensasi bangunan baru untuk ditempati. Mau tinggal dimana kita kalau digusur ?”  tutur Bu Radyah, sebagai salah satu warga.  
Memang tempat yang mereka tempati tidak layak dan membuat pemukiman menjadi kumuh. Tapi, apabila warga yang dibilang tidak sedikit jumlahnya ini digusur tanpa ada kompensasi tempat tinggal baru, maka  warga akan menjadi lebih sulit dan bisa saja ada pemukiman kumuh baru yang dibentuk oleh mereka.
            Warga yang sempat mengalami kerusuhan dengan adanya penggusuran tahun lalu, menjadi trauma karena takut tempat tinggal yang meskipun tidak layak ini digusur. Mereka menjadi lebih berhati – hati dan sedikit tertutup  dengan orang asing yang berkunjung ke pemukiman mereka, karena takut terulangnya kejadian seperti itu.
            Bukan hanya trauma, para nelayan dan warga di daerah ini hanya bisa pasrah dengan keadaan dan menerima semuanya, karena mereka menganggap pendapat mereka tak akan didengar dan enggan berbicara banyak jika tidak memiliki apa- - apa.
“Kita mah bukan apa – apa, jadi kita gamau banyak suara karena bakalan percuma” tutur Radyah.
            Dan sedikit kata dari warga daerah ini, yang memiliki makna dan pelajaran yang sangat besar artinya dizaman seperti ini, yaitu kami hanya rakyat kecil yang jarang didengar suaranya dan kami disini tidak akan dihargai dan hanya akan ditindas oleh mereka yang memiliki lebih. Kami tidak akan dipedulikan tetapi, ketika suara kami yang diperlukan maka kami akan dicari, diperlakukan dengan baik dan berbicara dengan janji yang manis kepada kami.
Merdeka? Ya, sudah! Tiap tahun kemerdekaan Indonesia diperingati oleh warga daerah ini. Mereka tau Indonesia sudah merdeka, namun mereka masih mencari dimana kemerdekaan yang seharusnya mereka dapatkan. Merdeka dengan suara yang mereka sampaikan, merdeka dengan tidak ada kemiskinan, merdeka dengan kesejahteraan , merdeka dengan hidup yang layak , dan merdeka dari jajahan petinggi negeri ini.
“Merdeka tapi merasa tak merdeka


No comments:

Post a Comment