CERIA BERSAMA KELUARGA
KEDUA
Grace Kartika Rosalin Sitorus
00000011957
Di dunia ini masing-masing orang terlahir dengan nasib yang
berbeda. Terlahir dengan serba ada dan selalu berkecukupan apa yang diinginkan
selalu tercapai adalah impian semua orang. Namun, bagaimana jika nasib berkata
lain ?
Perut semakin terasa lapar, rasanya perut ini sudah berteriak
untuk segera diisi, mulut dan tenggorokan semakin terasa kering mendekati jam
berbuka puasa. Sambil menunggu adzan magrib, sekumpulan anak-anak laki-laki dan
perempuan yang umurnya masih sekitar 9 tahun sedang asyik bermain engklek,
beberapa anak lainnya duduk dipinggiran untuk menunggu giliran bermain.
Harusnya saat ini sudah ramai , karena pesantren kilat budayanya sudah harus
dimulai jam 4 sore. Namun, masih beberapa anak saja yang datang. Di area bagian
dapur kakak-kakak pengurus sibuk menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa.
Terdengar sekali suara berisik gesekan dari penggorengan dan aroma yang sedap
tercium hingga keluar, membuat semakin tidak sabar untuk berbuka puasa.
Tak berapa lama satu persatu anak-anak mulai berdatangan. Dari
kejauhan sudah mulai terdengar suara yang khas, suara yang masih halus
dan ringan. Mereka bejalan sambil bercanda dan tertawa riang. Segerombolan
anak-anak datang menuju halaman dan menyapa anak-anak yang lain. Berbagai macam
karakter yang datang ada yang pendiam, ada juga yang datang langsung bermain
lari-larian. Walaupun sedang menjalankan ibadah puasa, wajah mereka masih
terlihat begitu ceria dan tetap bersemangat.
“Gue mah dari kemaren puasanya full, emangnya dia dia dia puasanya
udah bolong” anak laki-laki berusia delapan tahun menujuk teman yang lainnya.
Seusai menunaikan salat Azhar, bang Mi’ing yang menjadi salah satu pengurus
komunitas anak langit langsung memanggil anak-anak yang sudah datang dan dibagi
menjadi beberapa bagian kelas. Sekitar 8 anak perempuan yang mengenakan jilbab
berwarna putih di tunjuk unuk mengikuti kelas tari, Sandi, Icha dan
teman-temannya langsung berlari menuju ke bagian kelas biola. Syifa, Afif dan
teman temannya juga pergi ke kelas ukulele. yang lainnya ada yang menuju kelas
rebana. Dan sisanya mengikuti kelas menggambar.
“Hey..hey ayo semuanya, yang musik langsung ambil alatnya. Yang mengambar ambil
meja dan buku gambarnya!” katanya
Sambil menunggu para pengajar datang. Mereka yang bermain musik di
tempatkan di saung, setelat itu mulailah mereka mengambil dan membersihkan alat
musik mereka masing-masing. Ada yang sudah mulai memainkan biolanya juga
terdengar petikan ukulele dari sudut saung. Di sisi lain yaitu dalam ruangan
terdengar suara gebukan rebana, dan ada suara wanita yang sudah menyenandungkan
sebuah lagu. Anak-anak yang akan menggambar berjalan dari dalam ruangan untuk
mengambil dan membawa meja kecil dan menuju ke halaman depan.
Satu jam telah dilalui, anak-anak sudah dengan kesibukannya masing-masing. Di
pinggir lapangan para penari cilik mampu mengalihkan perhatian anak-anak yang
lain. Mereka yang menunggu giliran bermain gitar, pandangannya menuju kearah
anak-anak yang sedang menari. Begitupun yang sedang menggambar, perhatian
mereka berhasil teralihkan kepada penari itu. Memang kelas tari
menggunakan peneras suara, dan juga beada di halaman. Jadi, para penari mempu
menarik perhatian orang banyak.
Ditengah pesantren kilat budaya ini, bang Miing terus kesana kemari untuk
memantau setiap kegiatan yang ada. Bahkan ia terus mengomentari setiap anak
yang menurutnya belum pas berada di kelas tersebut. Dia melihat, anak yang ada
di seni tari, anak itu terlihat belum cekatan dalam bernari.
“Eh itu si Sitha kayaknya dia ga cocok di nari deh. Besok mesti di pindahin ke
kelas lain deh ya” katanya sambil melihat ke ara para penari
“Beginilah setiap hari kegiatannya, lumayan ribet kan yah ngurusinnya. Karena
harus terus di panta, jadi anak-anak dilihat dia cocoknya kemana.” Bang Mi’ingberjalan
menuju saung dan duduk.
“Masing-masing anak beda-beda karakternya, ada yang baik banget, ada yang
rajin, ada juga tuh yang jago berantem. Jadi kalau ada anak yang sukanya jahil,
saya suruh aja si Kidung yang nanganin, dia bisa saya suruh berantem sama orang
walaupun masalahnya bukan sama dia” tambahnya
Di ujung saung, dimana tempat bermain biola. Kak Hanse yang seorang pengajar
biola, terlihat sangat lihai dan sabar sekali mengajarkan sekitar tujuh orang
anak bermain biola. Langkah demi langkah Hanse ajarkan. Mulai dari posisi
tangan, hingga cara menggesekan biola. dalam kelas biola hanya ada satu anak
laki-laki disana, Sandi namanya. Sandi sejak sore tadi terlihat sangat
bersemangat, ceria dan sangat berantusias sekali saat bermain dan belajar
bermain biola. Ia sudah sedikit bisa bermain biola sampai empat ketukan. Di
tengah keceriannya, tiba-tiba Sandi termenung, wajahnya ditutupi oleh rambut
lusuhnya yang sudah mulai memanjang. Bibirnya agak dimajukan dan tatapannya
sinis. Sepertinya dia sedang tidak senang dengan salah satu anak yang ada
disana.
“Gak suka, disini ada orang sombong.” Katanya dengan kesal
Sandi salah satu anak yang ramah. Dan dilihat dari wajahnya yang polos, ia
merupakan anak yang jujur. Karena kejujurannya ini, terkadang teman-temannya
malah menjauhi dia. Kehidupan selalu sama setiap harinya, tidak ada yang
berbeda dari hari ke hari. Sebelum ada komunitas anak langit ini Sandi
menghabiskan waktunya di jalanan. Untungnya Sandi masih dapat merasakan bangku
sekolah. Saat ini kehidupannya berubah, meskipun rutinitasnya hanya itu itu
saja. Pagi hari Sandi pergi kesekolah, siangnya ia bermain di jalanan bersama
dengan teman-teman yang lain. Sorenya baru ia jalan kaki menuju ke tempat anak
langit untuk menambah pengetahuan dan bermain biola.
Sandi mengaku sangat senang berada di anak langit ini, Karena disini dia lebih
di perhatikan, mendapat banyak ilmu dan bisa bermain bersama banyak teman-teman
yang lain. Meskipun dia sering merasa kesal dengan perilaku teman-temannya yang
malah mennggangu dan menjahilinya. Sandi sangat menyukai biola, setiap hari
kelas yang ia ikuti hanyalah kelas biola saja. Sesekali ia pindah ke kelas
ukulele, tetapi dia tetap kembali lagi ke kelas biola.
“Sekarang aku main biola sudah hampir sampai empat ketukan “ sandi kembali
memainkan biolanya.
“Aku mau main terus sampe lancar, terus bisa mainin lagu” tambahnya.
Tidak semua orang di dunia ini dilahirkan dengan kehidupan yang baik. Ada orang
yang lahir dengan tidak memiliki salah satu bagian tubuh, ada juga yang lahir
tanpa orang tua hal itu tentu saja tidak diinginkan oleh orang tersebut.
Sore itu Windy bersama dengan Risa menyiapkan Takjil untuk berbuka puasa.
Setelah meniriskan pisang goreng dari penggorengan, mereka menuju ke depan
saung untuk menuangkan teh panas ke dalam gelas plastik. Satu per satu gelas di
isi sama rata, setelah diisi dengan air teh mereka memasukan es batu
kedalamnya. Dari raut wajahnya Windy terlihat sangat cekatan, dan ia sangat
menuruti apa yang di perintahkan oleh bang Mi’ing. Windy tinggal di daerah
kampung Cisadane. Windy, gadis berusia 16 tahun ini sudah lama berada di
komunitas anak langit. Ia belajar dan berkarya di anak langir ini. Seharusnya
saat ini sudah duduk di bangku SMA. Tapi nasib berkata lain, dia harus berhenti
sekolah. Setelah penggurusuran lokasi belajar anak langit digusur, Windy
berhenti sekolah. Ia memberi tahu bahwa dirinya sudah menunggak uang sekolah
senilai 20 juta rupiah. Bang Mi’ing pun dibuat kebingungan akan hal itu. Jujur
saja ia tidak punya uang sejumlah itu untuk menutupi uang sekolahnya. Akhirnya
Windy terpaksa putus sekolah, dan harus meningalkan bangku SMAnya.
“Orang tua gabisa bayar uang bulanan sekolah. Sampe sekarang sudah sampe 20
juta” katanya dengan yakin.
Sejak penggusuran tempat anak langit yang terletak di tanah Gocap
Tangerang, semua terasa berbeda. Bang Mi’ing dan kordinator anak langit lainnya
harus mencari tempat baru, karena mereka tidak mau anak-anak berhenti
belajar dan berkarya hanya karena tempat mereka di gusur. Bangunan yang
berada di pinghiran sungai Cisadane tempat mereka bermain, bertemu teman-teman,
belajar dan tempat untuk berkarya itu di gusur, dikarenakan tanah yang mereka
tempati itu bukan milik anak langit. Jadi, para pengurus pun tidak punya
kekuatan apapun untuk mempertahankan bangunan anak langit itu. Sekarang tempat
itu sudah rata dengan tanah. Tidak terlihat lagi bangunan yang penuh dengan
hiasan karya anak-anak langit. Hanya ada bulldozer besar
berwarna kuning yang ada di atas tanah itu.
Sebenarnya bukan hanya kawasan anak langit saja yang di gusur.
Namun, rumah-rumah warga yang ada di sekitarnya juga ikut di gusur. Rumah
kecil berbahan dasarkan kayu ikut larut dalam tanah. Anak-anak langit yang
tinggal di rumah itu tidak diketahui keberadaannya, dan tidak diketahui
sekarang ini mereka tinggal dimana. Dengan adanya komunitas anak langit, para
anak-anak kecil yang kurang mampu khususnya anak jalanan memiliki hidup yang
lebih baik, dan mereka pun memiliki harapan disini.
Untuk mempertahankan anak-anak tersebut untuk tetap belajar dan
meneruskan karya-karya mereka para pegurus mencari tempat baru untuk menampung
anak-anak tersebut. Kebetulan bang Mi’ing sebelum menjadi pengurus anak langit
pasca penggusuran, ia mempunyai komunitas yang berfokus kepada kebudayaan dan
musik. Letaknya di Jalan Perintis Kemerdekaan. Tempatnya memang lebih kecil,
bangunanya hanya menggunakan bangunan bekas tempat penyiaran radio. Setiap
ruangannya terihat sumpak dan sesak untuk menampung puluhan anak-anak.
“Ini juga bukan bangunan milik kita, cepat atau lambat kita pasti
disuruh keluar dari tempat ini.” kata bang Mi’ing.
Komunitas belajar anak langit ini mengajarkan banyak hal. Selain
mengajarkan pelajaran, disini mereka diajarkan bagaimana menciptakan karya dan
mengembangkan kreativitas hingga mereka di ajarkan untuk bercocok tanam. Untuk
mempertahankan kehidupan di anak langit ini. Para pengurus mengaku bahwa mereka
tidak menerima yang namanya sumbangan. Lalu, bagaimana mereka bisa mendapatkan
uang ? Disini mereka juga diajarkan untuk usaha, untuk mendapatkan uang mereka
membuka usaha pembuatan kaos dan mereka melakukan penyablonan dengan tangan
mereka sendiri.
Dengan usaha mereka sendiri, mereka mampu menghidupi diri sendiri
dan juga menghidupi kebutuhan anak langit. Menurut Mi’ing dengan adanya
komunitas anak langit ini agar anak-anak terutama anak jalanan menjadi anak
yang cerdas, kreatif, mandiri dan tidak manja.
“Disini itu gaboleh ada yang manja, semuanya harus mandiri!” Tegas
Mi’ing.
Meskipun tidak memiliki
tempat yang memadai seperti tempat yang dulu di gusur, mereka harus tetap
membuktikan bahwa anak-anak jalanan bisa menciptakan karya yang dapat dilihat
oleh semua orang. Sehingga orang tidak melihat anak jalanan dari sisi
kriminalitas dan keliarannya saja. Tapi disini, mereka mampu membuktikan mereka
bisa berkarya dengan kekurangan yang mereka miliki. Dan mereka masih memiliki
harapan untuk masa depannya yang lebih cerah.
Akhirnya hamper tiba jam berbuka puasa, semua anak-anak
menyimpan alat-alat yang mereka pegang dan langsung berkumpul di tengah
lapangan. Menit-menit sebelum berbuka puasa mereka melantunkan Sholawat sampai
tiba jam berbuka puasa. Suara bedug berkumandang, semua mengucapkan “Alhamdullilah!”
lalu membaca doa sebelum menyantap takjil. Es teh manis yang menyegarkan dahaga
dan pisang goreng yang masih hangat terlihat sangat lezat. Anak-anak dan
kakak-kakak pengurus pun langsung menyantap dengan lahap sambil saling
mengobrol dan tertawa riang.
No comments:
Post a Comment