Friday, 2 June 2017

CERIA BERSAMA KELUARGA KEDUA

CERIA BERSAMA KELUARGA KEDUA
Grace Kartika Rosalin Sitorus
00000011957

Di dunia ini masing-masing orang terlahir dengan nasib yang berbeda. Terlahir dengan serba ada dan selalu berkecukupan apa yang diinginkan selalu tercapai adalah impian semua orang. Namun, bagaimana jika nasib berkata lain ?

Perut semakin terasa lapar, rasanya perut ini sudah berteriak untuk segera diisi, mulut dan tenggorokan semakin terasa kering mendekati jam berbuka puasa. Sambil menunggu adzan magrib, sekumpulan anak-anak laki-laki dan perempuan yang umurnya masih sekitar 9 tahun sedang asyik bermain engklek, beberapa anak lainnya duduk dipinggiran untuk menunggu giliran bermain. Harusnya saat ini sudah ramai , karena pesantren kilat budayanya sudah harus dimulai jam 4 sore. Namun, masih beberapa anak saja yang datang. Di area bagian dapur kakak-kakak pengurus sibuk menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa. Terdengar sekali suara berisik gesekan dari penggorengan dan aroma yang sedap tercium hingga keluar, membuat semakin tidak sabar untuk berbuka puasa.
Tak berapa lama satu persatu anak-anak mulai berdatangan. Dari kejauhan sudah mulai terdengar suara yang khas,  suara yang masih halus dan ringan. Mereka bejalan sambil bercanda dan tertawa riang. Segerombolan anak-anak datang menuju halaman dan menyapa anak-anak yang lain. Berbagai macam karakter yang datang ada yang pendiam, ada juga yang datang langsung bermain lari-larian. Walaupun sedang menjalankan ibadah puasa, wajah mereka masih terlihat begitu ceria dan tetap bersemangat.
“Gue mah dari kemaren puasanya full, emangnya dia dia dia puasanya udah bolong” anak laki-laki berusia delapan tahun menujuk teman yang lainnya.
            Seusai menunaikan salat Azhar, bang Mi’ing yang menjadi salah satu pengurus komunitas anak langit langsung memanggil anak-anak yang sudah datang dan dibagi menjadi beberapa bagian kelas. Sekitar 8 anak perempuan yang mengenakan jilbab berwarna putih di tunjuk unuk mengikuti kelas tari, Sandi,  Icha dan teman-temannya langsung berlari menuju ke bagian kelas biola. Syifa, Afif dan teman temannya juga pergi ke kelas ukulele. yang lainnya ada yang menuju kelas rebana. Dan sisanya mengikuti kelas menggambar.
            “Hey..hey ayo semuanya, yang musik langsung ambil alatnya. Yang mengambar ambil meja dan buku gambarnya!” katanya
Sambil menunggu para pengajar datang. Mereka yang bermain musik di tempatkan di saung, setelat itu mulailah mereka mengambil dan membersihkan alat musik mereka masing-masing. Ada yang sudah mulai memainkan biolanya juga terdengar petikan ukulele dari sudut saung. Di sisi lain yaitu dalam ruangan terdengar suara gebukan rebana, dan ada suara wanita yang sudah menyenandungkan sebuah lagu. Anak-anak yang akan menggambar berjalan dari dalam ruangan untuk mengambil dan membawa meja kecil dan menuju ke halaman depan.
            Satu jam telah dilalui, anak-anak sudah dengan kesibukannya masing-masing. Di pinggir lapangan para penari cilik mampu mengalihkan perhatian anak-anak yang lain. Mereka yang menunggu giliran bermain gitar, pandangannya menuju kearah anak-anak yang sedang menari. Begitupun yang sedang menggambar, perhatian mereka berhasil teralihkan kepada penari itu.  Memang kelas tari menggunakan peneras suara, dan juga beada di halaman. Jadi, para penari mempu menarik perhatian orang banyak.
            Ditengah pesantren kilat budaya ini, bang Miing terus kesana kemari untuk memantau setiap kegiatan yang ada. Bahkan ia terus mengomentari setiap anak yang menurutnya belum pas berada di kelas tersebut. Dia melihat, anak yang ada di seni tari, anak itu terlihat belum cekatan dalam bernari.
            “Eh itu si Sitha kayaknya dia ga cocok di nari deh. Besok mesti di pindahin ke kelas lain deh ya” katanya sambil melihat ke ara para penari
            “Beginilah setiap hari kegiatannya, lumayan ribet kan yah ngurusinnya. Karena harus terus di panta, jadi anak-anak dilihat dia cocoknya kemana.” Bang Mi’ingberjalan menuju saung dan duduk.
            “Masing-masing anak beda-beda karakternya, ada yang baik banget, ada yang rajin, ada juga tuh yang jago berantem. Jadi kalau ada anak yang sukanya jahil, saya suruh aja si Kidung yang nanganin, dia bisa saya suruh berantem sama orang walaupun masalahnya bukan sama dia” tambahnya
            Di ujung saung, dimana tempat bermain biola. Kak Hanse yang seorang pengajar biola, terlihat sangat lihai dan sabar sekali mengajarkan sekitar tujuh orang anak bermain biola. Langkah demi langkah Hanse ajarkan. Mulai dari posisi tangan, hingga cara menggesekan biola. dalam kelas biola hanya ada satu anak laki-laki disana, Sandi namanya. Sandi sejak sore tadi terlihat sangat bersemangat, ceria dan sangat berantusias sekali saat bermain dan belajar bermain biola. Ia sudah sedikit bisa bermain biola sampai empat ketukan. Di tengah keceriannya, tiba-tiba Sandi termenung, wajahnya ditutupi oleh rambut lusuhnya yang sudah mulai memanjang. Bibirnya agak dimajukan dan tatapannya sinis. Sepertinya dia sedang tidak senang dengan salah satu anak yang ada disana.
            “Gak suka, disini ada orang sombong.” Katanya dengan kesal
            Sandi salah satu anak yang ramah. Dan dilihat dari wajahnya yang polos, ia merupakan anak yang jujur. Karena kejujurannya ini, terkadang teman-temannya malah menjauhi dia. Kehidupan selalu sama setiap harinya, tidak ada yang berbeda dari hari ke hari. Sebelum ada komunitas anak langit ini Sandi menghabiskan waktunya di jalanan. Untungnya Sandi masih dapat merasakan bangku sekolah. Saat ini kehidupannya berubah, meskipun rutinitasnya hanya itu itu saja. Pagi hari Sandi pergi kesekolah, siangnya ia bermain di jalanan bersama dengan teman-teman yang lain. Sorenya baru ia jalan kaki menuju ke tempat anak langit untuk menambah pengetahuan dan bermain biola.
            Sandi mengaku sangat senang berada di anak langit ini, Karena disini dia lebih di perhatikan, mendapat banyak ilmu dan bisa bermain bersama banyak teman-teman yang lain. Meskipun dia sering merasa kesal dengan perilaku teman-temannya yang malah mennggangu dan menjahilinya. Sandi sangat menyukai biola, setiap hari kelas yang ia ikuti hanyalah kelas biola saja. Sesekali ia pindah ke kelas ukulele, tetapi dia tetap kembali lagi ke kelas biola.
            “Sekarang aku main biola sudah hampir sampai empat ketukan “ sandi kembali memainkan biolanya.
            “Aku mau main terus sampe lancar, terus bisa mainin lagu” tambahnya.
            Tidak semua orang di dunia ini dilahirkan dengan kehidupan yang baik. Ada orang yang lahir dengan tidak memiliki salah satu bagian tubuh, ada juga yang lahir tanpa orang tua hal itu tentu saja tidak diinginkan oleh orang tersebut.
            Sore itu Windy bersama dengan Risa menyiapkan Takjil untuk berbuka puasa. Setelah meniriskan pisang goreng dari penggorengan, mereka menuju ke depan saung untuk menuangkan teh panas ke dalam gelas plastik. Satu per satu gelas di isi sama rata, setelah diisi dengan air teh mereka memasukan es batu kedalamnya. Dari raut wajahnya Windy terlihat sangat cekatan, dan ia sangat menuruti apa yang di perintahkan oleh bang Mi’ing. Windy tinggal di daerah kampung Cisadane.  Windy, gadis berusia 16 tahun ini sudah lama berada di komunitas anak langit. Ia belajar dan berkarya di anak langir ini. Seharusnya saat ini sudah duduk di bangku SMA. Tapi nasib berkata lain, dia harus berhenti sekolah. Setelah penggurusuran lokasi belajar anak langit digusur, Windy berhenti sekolah. Ia memberi tahu bahwa dirinya sudah menunggak uang sekolah senilai 20 juta rupiah. Bang Mi’ing pun dibuat kebingungan akan hal itu. Jujur saja ia tidak punya uang sejumlah itu untuk menutupi uang sekolahnya. Akhirnya Windy terpaksa putus sekolah, dan harus meningalkan bangku SMAnya.
            “Orang tua gabisa bayar uang bulanan sekolah. Sampe sekarang sudah sampe 20 juta” katanya dengan yakin.
Sejak penggusuran tempat anak langit yang terletak di tanah Gocap Tangerang, semua terasa berbeda. Bang Mi’ing dan kordinator anak langit lainnya harus mencari tempat baru,  karena mereka tidak mau anak-anak berhenti belajar dan berkarya hanya karena tempat mereka di gusur.  Bangunan yang berada di pinghiran sungai Cisadane tempat mereka bermain, bertemu teman-teman, belajar dan tempat untuk berkarya itu di gusur, dikarenakan tanah yang mereka tempati itu bukan milik anak langit. Jadi, para pengurus pun tidak punya kekuatan apapun untuk mempertahankan bangunan anak langit itu. Sekarang tempat itu sudah rata dengan tanah. Tidak terlihat lagi bangunan yang penuh dengan hiasan karya anak-anak langit. Hanya ada bulldozer  besar berwarna kuning yang ada di atas tanah itu. 
Sebenarnya bukan hanya kawasan anak langit saja yang di gusur. Namun,  rumah-rumah warga yang ada di sekitarnya juga ikut di gusur. Rumah kecil berbahan dasarkan kayu ikut larut dalam tanah. Anak-anak langit yang tinggal di rumah itu tidak diketahui keberadaannya, dan tidak diketahui sekarang ini mereka tinggal dimana. Dengan adanya komunitas anak langit, para anak-anak kecil yang kurang mampu khususnya anak jalanan memiliki hidup yang lebih baik, dan mereka pun memiliki harapan disini.
Untuk mempertahankan anak-anak tersebut untuk tetap belajar dan meneruskan karya-karya mereka para pegurus mencari tempat baru untuk menampung anak-anak tersebut. Kebetulan bang Mi’ing sebelum menjadi pengurus anak langit pasca penggusuran, ia mempunyai komunitas yang berfokus kepada kebudayaan dan musik. Letaknya di Jalan Perintis Kemerdekaan. Tempatnya memang lebih kecil, bangunanya hanya menggunakan bangunan bekas tempat penyiaran radio. Setiap ruangannya terihat sumpak dan sesak untuk menampung puluhan anak-anak.
“Ini juga bukan bangunan milik kita, cepat atau lambat kita pasti disuruh keluar dari tempat ini.” kata bang Mi’ing.
Komunitas belajar anak langit ini mengajarkan banyak hal. Selain mengajarkan pelajaran, disini mereka diajarkan bagaimana menciptakan karya dan mengembangkan kreativitas hingga mereka di ajarkan untuk bercocok tanam. Untuk mempertahankan kehidupan di anak langit ini. Para pengurus mengaku bahwa mereka tidak menerima yang namanya sumbangan. Lalu, bagaimana mereka bisa mendapatkan uang ? Disini mereka juga diajarkan untuk usaha, untuk mendapatkan uang mereka membuka usaha pembuatan kaos dan mereka melakukan penyablonan dengan tangan mereka sendiri.
Dengan usaha mereka sendiri, mereka mampu menghidupi diri sendiri dan juga menghidupi kebutuhan anak langit. Menurut Mi’ing dengan adanya komunitas anak langit ini agar anak-anak terutama anak jalanan menjadi anak yang cerdas, kreatif, mandiri dan tidak manja.
“Disini itu gaboleh ada yang manja, semuanya harus mandiri!” Tegas Mi’ing.
Meskipun tidak memiliki tempat yang memadai seperti tempat yang dulu di gusur, mereka harus tetap membuktikan bahwa anak-anak jalanan bisa menciptakan karya yang dapat dilihat oleh semua orang. Sehingga orang tidak melihat anak jalanan dari sisi kriminalitas dan keliarannya saja. Tapi disini, mereka mampu membuktikan mereka bisa berkarya dengan kekurangan yang mereka miliki. Dan mereka masih memiliki harapan untuk masa depannya yang lebih cerah. 
            Akhirnya hamper tiba jam berbuka puasa, semua anak-anak menyimpan alat-alat yang mereka pegang dan langsung berkumpul di tengah lapangan. Menit-menit sebelum berbuka puasa mereka melantunkan Sholawat sampai tiba jam berbuka puasa. Suara bedug berkumandang, semua mengucapkan “Alhamdullilah!” lalu membaca doa sebelum menyantap takjil. Es teh manis yang menyegarkan dahaga dan pisang goreng yang masih hangat terlihat sangat lezat. Anak-anak dan kakak-kakak pengurus pun langsung menyantap dengan lahap sambil saling mengobrol dan tertawa riang.


No comments:

Post a Comment