PERJALANAN GEDUNG GERAJA MULA-MULA BANTEN
Oleh : Steifen Andrian
NIM : 00000012687
GKP Rangkasbitung |
“Disini memang
tempat yang paling kondusif dan toleran dalam berkehidupan antar etnis, agama,
suku dan ras disbanding wilayah sekitar Banten. Semuanya berjalan beriringan
tanpa ada gesekan, kalaupun ada, biasanya itu dari pendatang luar dan bukan
orang asli sini”.
Itulah gambaran keadaan sosial masyarakat Rangkasbitung, kota transit zaman Belanda, menurut salah satu penduduk Rangkas, Ikhsan, yang sudah tinggal di Rangkas(sebutan oleh penduduk asli rangkasbitung) sejak tahun 1942.
Itulah gambaran keadaan sosial masyarakat Rangkasbitung, kota transit zaman Belanda, menurut salah satu penduduk Rangkas, Ikhsan, yang sudah tinggal di Rangkas(sebutan oleh penduduk asli rangkasbitung) sejak tahun 1942.
Perjalanan ke kota transit ini memakan waktu kurang
lebih 3 jam dengan menaiki mobil dari Jakarta. Sesampainya disana, sambutan
pertama adalah gapuran bertuliskan “Kota Rangkasbitung”. Sedikit melewati
gapura tersebut, terdapat kekontrasan yang terlihat jelas. Di sisi kanan kiri
jalan terdapat rumah yang saling bergantian. Rumah yang sangat besar,
sebelahnya rumah sangat seadanya, selalu berselang seling seperti itu.
Singkat tentang Rangkasbitung, penduduk disini belum
tidak sesukses penduduk di wilayah banten lainnya seperti Serpong, Tangerang,
Pandeglang, hal ini dikarenakan Rangkasbitung sudah tidak lagi menjadi jalur
utama dalam perjalanan bahan makanan pokok. Sebagian besar penduduk di
Rangkasbitung bekerja sebagai buruh bangunan, buruh penjualan dan petani.
Buah-buahan yang dijual dipasar pun diambil dari luar wilayah rangkasbitung,
padahal sepanjang perjalanan menuju ke rangkasbitung, dikiri kanan jalan
terdapat banyak sekali perkebunan dan sawah. Selain sebagai buruh, banyak
penduduk lintas etnis yang membuka toko di wilayah Sunan Kalijaga, karena
daerah ini merupakan wilayah pecinan di Rangkasbitung, dan salah satu tempat
yang paling ramai dikunjungi disini.
Ibukota kabupaten Lebak ini, terkenal dengan
sejarahnya saat dipakai Belanda sebagai kota satelit yang menghubungkan Jakarta
dan Merak, sebelum adanya jalan tol Jkt-Merak sekarang ini.Dulu, sarana
transportasi yang digunkan pada masa penjajahan Belanda adalah transportasi
air. Sehingga sungai menjadi salah satu jalur transportasi di Banten. Jika
Jakarta memiliki sungai ciliwung, Banten memiliki sungai Cisemet yang digunakan
oleh koloni Belanda kala itu. Berbicara mengenai pemerintahan Belanda, tidak
bisa dilepaskan dengan perkembangan agama Nasrani di Banten. Dimana sungai
Cisemet memiliki andil dalam penyebaran agama berlambang salib itu.
Salah satu bangunan tua yang ada di Rangkasbitung
adalah Gedung gereja GKP Rangkasbitung yang terletak di jalan Sunan Kalijaga.
Kawasan pecinan di kala pemerintahan Belanda. Bangunan itu telah berdiri sejak
tahun 1902 dan bentuk aslinya masih dipertahankan hingga sekarang, hanya ada
beberapa perbaikan dan penambahan luas bangunan gedung. Penggalian informasi
tentang gedung gereja tersebut tidak mudah, karena dokumen yang tidak lengkap
dan tidak ada keterangan tahun berdirinya gedung tersebut.
Melalui wawancara akhirnya ditemukan bahwa GKP Rangkasbitung memang salah satu bangunan gereja tua di Banten, namun bukan yang
paling tua. Menelisik kembali ke sejarah pemerintahan Belanda, jika sekarang
kita mengikuti aluran air cisemet dari pesisir Baduy, maka akan melewati daerah
yang sekarang ini dinamakan Lebak Gedong. Wilayah yang berada 47km dari
Rangkasbitung itu merupakan pusat pemerintahan daerah Rangkasbitung dan
sekitarnya pada masa colonial Belanda.
Di wilayah Lebak Gedong, terdapat pondasi gedung
gereja pertama yang berada di Banten, yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa
pemerintahan Belanda, tidak ada hubungan harmonis antara gereja dan
pemerintahan Belanda. Stigma masyarakat yang mengatakan bahwa kekristenan
merupakan hasil dari colonial Belanda itu salah. Paling tidak itu yang
dikatakan Pdt. Suluh, salah seorang Ketua Majelis GKP Rangkasbitung. Karena Belanda
merupakan hambatan terbesar dalam penyebaran agama nasrani di Banten kala itu.
Para Zending yang
tergabung dalam NZV (Nederlandsche
Zendelings Vereeniging) atau perkumpulan para penginjil
Belanda, mendapat hambatan yang
luarbiasa dari pemerintah Belanda. Awalnya pergerakan ini diprakarsai oleh Mr.
F.L. Anthing pada sekitar tahun 1850an. Beliau merupakan Zending pertama yang menyebarkan penginjilan, dengan konsep
menginjili orang pribumi oleh penginjil pribumi. Jadi tidak secara langsung
atau direct, namun menggunakan
perantara masyarakat pribumi lainnya. Disaat yang sama juga, pemerintah belanda
tidak memberikan izin atas penyebaran injil, mereka tidak perduli sama sekali.
Yang mereka fokuskan pada saat itu adalah bagaimana menjalankan pemerintahan
dengan baik tanpa ada perlawanan yang berarti dari masyarakat setempat.
Setelah melakukan lobi lobi dengan pemerintah Belanda,
akhirnya para Zending (Penyebar injil
dari belanda) mendapatkan izin untuk membangun gereja pertama di Lebak Gedong.
Bangunan yang kini hanya tinggal pondasi tersebut, dulunya dibangun dekat
dengan gedung gedung pemerintahan, karena lobi lobi yang berhasil dilakukan.
Lebak Gedong sendiri tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kota, namun desa yang
dipergunakan sebagai pusat pemerintahan di era Belanda.
Lalu pada tahun 1901, pemerintah Belanda menggeser
kiblatnya kearah pusat kota di Rangkasbitung dan akhirnya bangunan gereja
tersebut dihancurkan dan yang tersisa hanya pondasinya. Dikatakan bahwa
masyarakat di Lebak Gedongpun mengakui sisa pondasi tersebut sebagai bangunan
gereja dan tidak ada yang berani mengotak-atik hingga sekarang, karena ada
kepercayaan yang berkembang, jika kita mengubah atau mengambil apa yang bukan
milik mereka, mereka akan terkena sial.
GKP sendiri merupakan singkatan dari Gereja Kristen Pasundan. Konotasi pasundan adalah daerah di Jawa Barat, karena sebenarnya jemaat mula mula GKP ini berada di daereah Jawa Barat, lalu menyebar ke penjuru jawa, dan akhirnya di bentuk GKP Pasundan, berdasarkan gabungan dari jemaat yang pindah dari Jawa Barat ke Banten. Cikal bakal nya berada di Jawa Barat. Itulah mengapa namanya Gereaja Kristen Pasundan.
Di tahun berikutnya, dibangunlah GKP Rangkasbitung.
Bangunan bewarna putih dengan lambang salib di bagian depan bangunan yang
paling tinggi ini, berada di bagian akhir jalan sunan kalijaga, tepatnya di
sebelah SD Mardi Utomo, dimana SD tersebut dulunya merupakan bagian dari gereja
GKP Rangkasbitung. Gaya arsitektur yang digunakan bukanlah gaya Belanda, namun gaya
Batak, persis seperti yang digambarkan anak-anak jika disuru menggambarkan
sebuah gedung gereja.
Atap berbentuk segitiga dengan menara yang mencuat
sedikit lebih tinggi di atas atap dan lambang salib di bagian atap tersebut.
Bangunannya sederhana, hanya berbentuk persegi panjang dengan pintu yang kayu
yang cukup besar di bagian depan sebagai pintu masuk utama.
Di bagian belakang gereja, terdapat empat rumah
berjejer, rumah paling kiri merupakan rumah dari ketua majelis umum GKP Rangkasbitung, sebelahnya bangunan sudah rusak, dilanjutkan dengan salah satu rumah
bergaya Belanda yang dimiliki oleh jemaat GKP Rangkasbitung yang sudah turun
temurun, yang terakhir adalah rumah pastori paling baru yang baru dibangun di
tahun 2006. Semuanya bangunan tersebut, termasuk SD Mardi Utomo berada dalam
suat komplek kecil. Namun Hanya bangunan gereja saja yang dikelilingi pagar.
Sedangkan antara bangunan sekolah dan rumah tersebut tidak dibatasi apapun.
Sebagai gambaran, wilayah bermain anak anak SD Mardi Utomo merupakan pekarangan
dari empat rumah tersebut.
Sebagai bangunan gereja pertama dengan penduduk yang
mayoritas Muslim, di wilayah lain seringkali terjadi penolakan terhadap
minoritas, namun tidak di Rangkasbitung. Pada zaman belanda, penginjilan
masyarakat tidak dilakukan secara terang-terangan. Penginjilan di kala tahun
1800 akhir menggunakan cara cara baru dan unik, contohnya salah satu Zending Belanda, Van Eendenbrug, membeli
sebuah tanah berukuran 5x3m, dibangun, menjadi sebuah penjara, dan diisi lebih
dari 10 orang, disitulah Van Eendenbrug menginjili mereka, ini merupakan salah
satu cara untuk menghormati kaum mayoritas. Jemaat mula-mula GKP Rangkasbitung di
tahun 1902 hanya berjumlah kurang dari 15 orang, itupun merupakan gabungan dari
wilayah cikuya dan hasil penginjilan di wilayah lain di Jawa, namun seiring
berjalannya waktu, sampai di tahun 2017, sudah terdaftar sebanyak 397 anggota
jemaat GKP Rangkasbitung.
Ironinya, jemaat awal di Cikuya hanya berjumlah dua
orang, namun kedua orang tersebut merupakan cikal bakal berdirinya GKP Rangkasbitung. Namun dikatakan oleh Pdt. Suluh, di tengah perkembangannya ada
kejadian yang bernama ‘Gedor’. Dimana para penganut agama nasrani, pada suatu
subuh digedor rumahnya dan diusir dari wilayah Cikuya. Peristiwa Gedor ini
berbeda dengan peristiwa Gedoran yang terjadi di Depok. Gereja yang dulunya
sudah dibangun disana, akhirnya dihancurkan oleh masyarakat setempat.
Dalam perjalanann gereja GKP Rangkasbitung ini tidak
semulus yang dibayangkan, walaupun sudah ada perjanjian dengan pemerintah
Belanda, ketika zaman berganti, memasuki zaman penjajahan Jepang di tahun 1942,
Bangunan ini dialih fungsikan menjadi gudang penyimpanan bahan
makana. Berupa gula, beras dan lain lain.
Setelah Indonesia merdeka semua berangsur-angsur
normal dan bangunan GKP Rangkasbitung dikembalikan fungsinya sebagai gereja. Di
antara tahun 1965 hingga 1970 terjadi sebuah kasus G30S/PKI yang meresahkan
masyarakat Rangkasbitung. Pada masa tersebut, GKP Rangkasbitung hampir dibakar oleh
para pendatang yang melakukan sweeping semua
atribut yang berbau PKI, namun tidak disangka, penduduk Rangkasbitung yang
berlatar belakang etnis yang berbeda, saling membantu melindungi, hingga
akhirnya tidak jadi dibakar.
Seringkali terjadi penolakan yang dianggap biasa oleh
para jemaat dan ketua majelis GKP. Namun biasanya penolakan yang terjadi
dilakukan oleh para pendatang. Tidak dijelaskan secara rinci oleh Pdt.Suluh,oleh
siapa dan bagaimana penolakan tersebut berlangsung. Namun diceritakan oleh
beliau banyak cerita para pendatang yang meresahkan, contohnya para pendatang
etnis Batak baru yang mengambil jalan pintas sebagai rentenir, memberi
kekhawatiran pada penduduk Batak yang sudah lama tinggal di Rangkasbitung.
Mereka takut masadepan etnis mereka rusak karena banyak penduduk Batak baru
yang tidak mengedepankan etos kerja keras dalam berusaha, namun selalu mencari
jalan singkat untuk mendapatkan keuntungan.
Ikhsan yang merupakan pemilik dari toko Wijaya, sebuah
minmarket di deretan GKP Rangkasbitung, merupakan keturunan etnis Tionghoa, yang
pada saat terjadinya G30S-PKI dilindungi oleh masyarakat pribumi di
Rangkasbitung. Dikatakan olehny, ketika akan disweeping rumahnya, penduduk
sekitar malah membela Ikhsan dan melindunginya. Disini ada toleransi yang
sangat besar antar penduduk dengan latar belakang yang berbeda.
Dalam menjaga kerukunan antar umat dan antar etnis,
dikatakan oleh Lina tidak ada hal special yang dilakukan. GKP Rangkasbitung memilih
untuk memiliki hubungan natural kepada tetangga yang berada disekitaran gereja.
Karena para penduduk asli juga sudah sangat mengenal gerja tersebut, dimana GKP
Rangkasbitung sudah menjadi bagian sejarah mereka. Tidak ada usaha untuk pencitraan
dengan membagi-bagi makanan gratis atau hal hal yang dirasa berlebihan. GKP Rangkasbitung lebih memilih mengadakan bazar untuk masyarakat sekitar, yang dijual
berbagai macam kebutuhan pokok dengan harga yang sangat miring. Hal ini
dilakukan karena mereka juga ingin mendidik masyarakat, bahwa dalam memperoleh
sesuatu semua harus dilakukan dengan usaha.
Di dalam kehidupan sosial, tidak hanya GKP Rangkasbitung yang memiliki hubungan harmonis lintas budaya dan agama, kurang lebih 300 meter
sebelum GKP Rangkasbitung ada sebuah bangunan Vihara yang telah berdiri sejak tahun
1930an, disitulah tempat Ikhsan beribadah. Pria berumur 75 tahun ini
menceritakan bagaimana mereka dapat menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar
hingga tidak ada lagi intoleransi yang digaungkan di Rangkasbitung.
Dokumentasi :
Gapura Kedatangan kota Rangkasbitung |
SD Mardiutomo yang terletak persis di sebelah GKP Rangkasbitung |
Bersama Narasumber , Pdt. Suluh Sutia, S.Si |
Toko Wijaya, dimilik oleh Narasumber, Bpk Ikhsan, di deretan GKP Rangkasbitung |
No comments:
Post a Comment