Wednesday, 31 May 2017

Perjalanan Gedung Gereja Mula Mula Banten



PERJALANAN GEDUNG GERAJA MULA-MULA BANTEN

Oleh : Steifen Andrian

NIM : 00000012687 

GKP Rangkasbitung
Disini memang tempat yang paling kondusif dan toleran dalam berkehidupan antar etnis, agama, suku dan ras disbanding wilayah sekitar Banten. Semuanya berjalan beriringan tanpa ada gesekan, kalaupun ada, biasanya itu dari pendatang luar dan bukan orang asli sini”.
Itulah gambaran keadaan sosial masyarakat Rangkasbitung, kota transit zaman Belanda, menurut salah satu penduduk Rangkas, Ikhsan, yang sudah tinggal di Rangkas(sebutan oleh penduduk asli rangkasbitung) sejak tahun 1942.

Perjalanan ke kota transit ini memakan waktu kurang lebih 3 jam dengan menaiki mobil dari Jakarta. Sesampainya disana, sambutan pertama adalah gapuran bertuliskan “Kota Rangkasbitung”. Sedikit melewati gapura tersebut, terdapat kekontrasan yang terlihat jelas. Di sisi kanan kiri jalan terdapat rumah yang saling bergantian. Rumah yang sangat besar, sebelahnya rumah sangat seadanya, selalu berselang seling seperti itu.
Singkat tentang Rangkasbitung, penduduk disini belum tidak sesukses penduduk di wilayah banten lainnya seperti Serpong, Tangerang, Pandeglang, hal ini dikarenakan Rangkasbitung sudah tidak lagi menjadi jalur utama dalam perjalanan bahan makanan pokok. Sebagian besar penduduk di Rangkasbitung bekerja sebagai buruh bangunan, buruh penjualan dan petani. Buah-buahan yang dijual dipasar pun diambil dari luar wilayah rangkasbitung, padahal sepanjang perjalanan menuju ke rangkasbitung, dikiri kanan jalan terdapat banyak sekali perkebunan dan sawah. Selain sebagai buruh, banyak penduduk lintas etnis yang membuka toko di wilayah Sunan Kalijaga, karena daerah ini merupakan wilayah pecinan di Rangkasbitung, dan salah satu tempat yang paling ramai dikunjungi disini.
Ibukota kabupaten Lebak ini, terkenal dengan sejarahnya saat dipakai Belanda sebagai kota satelit yang menghubungkan Jakarta dan Merak, sebelum adanya jalan tol Jkt-Merak sekarang ini.Dulu, sarana transportasi yang digunkan pada masa penjajahan Belanda adalah transportasi air. Sehingga sungai menjadi salah satu jalur transportasi di Banten. Jika Jakarta memiliki sungai ciliwung, Banten memiliki sungai Cisemet yang digunakan oleh koloni Belanda kala itu. Berbicara mengenai pemerintahan Belanda, tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan agama Nasrani di Banten. Dimana sungai Cisemet memiliki andil dalam penyebaran agama berlambang salib itu.
Salah satu bangunan tua yang ada di Rangkasbitung adalah Gedung gereja GKP Rangkasbitung yang terletak di jalan Sunan Kalijaga. Kawasan pecinan di kala pemerintahan Belanda. Bangunan itu telah berdiri sejak tahun 1902 dan bentuk aslinya masih dipertahankan hingga sekarang, hanya ada beberapa perbaikan dan penambahan luas bangunan gedung. Penggalian informasi tentang gedung gereja tersebut tidak mudah, karena dokumen yang tidak lengkap dan tidak ada keterangan tahun berdirinya gedung tersebut.
Melalui wawancara akhirnya ditemukan bahwa GKP Rangkasbitung memang salah satu bangunan gereja tua di Banten, namun bukan yang paling tua. Menelisik kembali ke sejarah pemerintahan Belanda, jika sekarang kita mengikuti aluran air cisemet dari pesisir Baduy, maka akan melewati daerah yang sekarang ini dinamakan Lebak Gedong. Wilayah yang berada 47km dari Rangkasbitung itu merupakan pusat pemerintahan daerah Rangkasbitung dan sekitarnya pada masa colonial Belanda.
Di wilayah Lebak Gedong, terdapat pondasi gedung gereja pertama yang berada di Banten, yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Belanda, tidak ada hubungan harmonis antara gereja dan pemerintahan Belanda. Stigma masyarakat yang mengatakan bahwa kekristenan merupakan hasil dari colonial Belanda itu salah. Paling tidak itu yang dikatakan Pdt. Suluh, salah seorang Ketua Majelis GKP Rangkasbitung. Karena Belanda merupakan hambatan terbesar dalam penyebaran agama nasrani di Banten kala itu.
Para Zending yang tergabung dalam NZV (Nederlandsche Zendelings Vereeniging) atau perkumpulan para penginjil Belanda, mendapat hambatan yang luarbiasa dari pemerintah Belanda. Awalnya pergerakan ini diprakarsai oleh Mr. F.L. Anthing pada sekitar tahun 1850an. Beliau merupakan Zending pertama yang menyebarkan penginjilan, dengan konsep menginjili orang pribumi oleh penginjil pribumi. Jadi tidak secara langsung atau direct, namun menggunakan perantara masyarakat pribumi lainnya. Disaat yang sama juga, pemerintah belanda tidak memberikan izin atas penyebaran injil, mereka tidak perduli sama sekali. Yang mereka fokuskan pada saat itu adalah bagaimana menjalankan pemerintahan dengan baik tanpa ada perlawanan yang berarti dari masyarakat setempat.
Setelah melakukan lobi lobi dengan pemerintah Belanda, akhirnya para Zending (Penyebar injil dari belanda) mendapatkan izin untuk membangun gereja pertama di Lebak Gedong. Bangunan yang kini hanya tinggal pondasi tersebut, dulunya dibangun dekat dengan gedung gedung pemerintahan, karena lobi lobi yang berhasil dilakukan. Lebak Gedong sendiri tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kota, namun desa yang dipergunakan sebagai pusat pemerintahan di era Belanda.
Lalu pada tahun 1901, pemerintah Belanda menggeser kiblatnya kearah pusat kota di Rangkasbitung dan akhirnya bangunan gereja tersebut dihancurkan dan yang tersisa hanya pondasinya. Dikatakan bahwa masyarakat di Lebak Gedongpun mengakui sisa pondasi tersebut sebagai bangunan gereja dan tidak ada yang berani mengotak-atik hingga sekarang, karena ada kepercayaan yang berkembang, jika kita mengubah atau mengambil apa yang bukan milik mereka, mereka akan terkena sial.
GKP sendiri merupakan singkatan dari Gereja Kristen Pasundan. Konotasi pasundan adalah daerah di Jawa Barat, karena sebenarnya jemaat mula mula GKP ini berada di daereah Jawa Barat, lalu menyebar ke penjuru jawa, dan akhirnya di bentuk GKP Pasundan, berdasarkan gabungan dari jemaat yang pindah dari Jawa Barat ke Banten. Cikal bakal nya berada di Jawa Barat. Itulah mengapa namanya Gereaja Kristen Pasundan.
Di tahun berikutnya, dibangunlah GKP Rangkasbitung. Bangunan bewarna putih dengan lambang salib di bagian depan bangunan yang paling tinggi ini, berada di bagian akhir jalan sunan kalijaga, tepatnya di sebelah SD Mardi Utomo, dimana SD tersebut dulunya merupakan bagian dari gereja GKP Rangkasbitung. Gaya arsitektur yang digunakan bukanlah gaya Belanda, namun gaya Batak, persis seperti yang digambarkan anak-anak jika disuru menggambarkan sebuah gedung gereja.
Atap berbentuk segitiga dengan menara yang mencuat sedikit lebih tinggi di atas atap dan lambang salib di bagian atap tersebut. Bangunannya sederhana, hanya berbentuk persegi panjang dengan pintu yang kayu yang cukup besar di bagian depan sebagai pintu masuk utama.
Di bagian belakang gereja, terdapat empat rumah berjejer, rumah paling kiri merupakan rumah dari ketua majelis umum GKP Rangkasbitung, sebelahnya bangunan sudah rusak, dilanjutkan dengan salah satu rumah bergaya Belanda yang dimiliki oleh jemaat GKP Rangkasbitung yang sudah turun temurun, yang terakhir adalah rumah pastori paling baru yang baru dibangun di tahun 2006. Semuanya bangunan tersebut, termasuk SD Mardi Utomo berada dalam suat komplek kecil. Namun Hanya bangunan gereja saja yang dikelilingi pagar. Sedangkan antara bangunan sekolah dan rumah tersebut tidak dibatasi apapun. Sebagai gambaran, wilayah bermain anak anak SD Mardi Utomo merupakan pekarangan dari empat rumah tersebut.
Sebagai bangunan gereja pertama dengan penduduk yang mayoritas Muslim, di wilayah lain seringkali terjadi penolakan terhadap minoritas, namun tidak di Rangkasbitung. Pada zaman belanda, penginjilan masyarakat tidak dilakukan secara terang-terangan. Penginjilan di kala tahun 1800 akhir menggunakan cara cara baru dan unik, contohnya salah satu Zending Belanda, Van Eendenbrug, membeli sebuah tanah berukuran 5x3m, dibangun, menjadi sebuah penjara, dan diisi lebih dari 10 orang, disitulah Van Eendenbrug menginjili mereka, ini merupakan salah satu cara untuk menghormati kaum mayoritas. Jemaat mula-mula GKP Rangkasbitung di tahun 1902 hanya berjumlah kurang dari 15 orang, itupun merupakan gabungan dari wilayah cikuya dan hasil penginjilan di wilayah lain di Jawa, namun seiring berjalannya waktu, sampai di tahun 2017, sudah terdaftar sebanyak 397 anggota jemaat GKP  Rangkasbitung.
Ironinya, jemaat awal di Cikuya hanya berjumlah dua orang, namun kedua orang tersebut merupakan cikal bakal berdirinya GKP Rangkasbitung. Namun dikatakan oleh Pdt. Suluh, di tengah perkembangannya ada kejadian yang bernama ‘Gedor’. Dimana para penganut agama nasrani, pada suatu subuh digedor rumahnya dan diusir dari wilayah Cikuya. Peristiwa Gedor ini berbeda dengan peristiwa Gedoran yang terjadi di Depok. Gereja yang dulunya sudah dibangun disana, akhirnya dihancurkan oleh masyarakat setempat.
Dalam perjalanann gereja GKP Rangkasbitung ini tidak semulus yang dibayangkan, walaupun sudah ada perjanjian dengan pemerintah Belanda, ketika zaman berganti, memasuki zaman penjajahan Jepang di tahun 1942, Bangunan ini dialih fungsikan menjadi gudang penyimpanan bahan makana. Berupa gula, beras dan lain lain.
Setelah Indonesia merdeka semua berangsur-angsur normal dan bangunan GKP Rangkasbitung dikembalikan fungsinya sebagai gereja. Di antara tahun 1965 hingga 1970 terjadi sebuah kasus G30S/PKI yang meresahkan masyarakat Rangkasbitung. Pada masa tersebut, GKP Rangkasbitung hampir dibakar oleh para pendatang yang melakukan sweeping semua atribut yang berbau PKI, namun tidak disangka, penduduk Rangkasbitung yang berlatar belakang etnis yang berbeda, saling membantu melindungi, hingga akhirnya tidak jadi dibakar.
Seringkali terjadi penolakan yang dianggap biasa oleh para jemaat dan ketua majelis GKP. Namun biasanya penolakan yang terjadi dilakukan oleh para pendatang. Tidak dijelaskan secara rinci oleh Pdt.Suluh,oleh siapa dan bagaimana penolakan tersebut berlangsung. Namun diceritakan oleh beliau banyak cerita para pendatang yang meresahkan, contohnya para pendatang etnis Batak baru yang mengambil jalan pintas sebagai rentenir, memberi kekhawatiran pada penduduk Batak yang sudah lama tinggal di Rangkasbitung. Mereka takut masadepan etnis mereka rusak karena banyak penduduk Batak baru yang tidak mengedepankan etos kerja keras dalam berusaha, namun selalu mencari jalan singkat untuk mendapatkan keuntungan.
Ikhsan yang merupakan pemilik dari toko Wijaya, sebuah minmarket di deretan GKP Rangkasbitung, merupakan keturunan etnis Tionghoa, yang pada saat terjadinya G30S-PKI dilindungi oleh masyarakat pribumi di Rangkasbitung. Dikatakan olehny, ketika akan disweeping rumahnya, penduduk sekitar malah membela Ikhsan dan melindunginya. Disini ada toleransi yang sangat besar antar penduduk dengan latar belakang yang berbeda.
Dalam menjaga kerukunan antar umat dan antar etnis, dikatakan oleh Lina tidak ada hal special yang dilakukan. GKP Rangkasbitung memilih untuk memiliki hubungan natural kepada tetangga yang berada disekitaran gereja. Karena para penduduk asli juga sudah sangat mengenal gerja tersebut, dimana GKP Rangkasbitung sudah menjadi bagian sejarah mereka. Tidak ada usaha untuk pencitraan dengan membagi-bagi makanan gratis atau hal hal yang dirasa berlebihan. GKP Rangkasbitung lebih memilih mengadakan bazar untuk masyarakat sekitar, yang dijual berbagai macam kebutuhan pokok dengan harga yang sangat miring. Hal ini dilakukan karena mereka juga ingin mendidik masyarakat, bahwa dalam memperoleh sesuatu semua harus dilakukan dengan usaha.
Di dalam kehidupan sosial, tidak hanya GKP Rangkasbitung yang memiliki hubungan harmonis lintas budaya dan agama, kurang lebih 300 meter sebelum GKP Rangkasbitung ada sebuah bangunan Vihara yang telah berdiri sejak tahun 1930an, disitulah tempat Ikhsan beribadah. Pria berumur 75 tahun ini menceritakan bagaimana mereka dapat menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar hingga tidak ada lagi intoleransi yang digaungkan di Rangkasbitung.

 Dokumentasi : 
Gapura Kedatangan kota Rangkasbitung
SD Mardiutomo yang terletak persis di sebelah GKP Rangkasbitung

Bersama Narasumber , Pdt. Suluh Sutia, S.Si
Toko Wijaya, dimilik oleh Narasumber, Bpk Ikhsan, di deretan GKP Rangkasbitung

No comments:

Post a Comment